Anarkis-Feminisme: Makhluk Apa Lagi Itu?

oleh Peggy Kornegger

Sebelas tahun yang lalu, ketika saya masih di sebuah sekolah menengah di kota kecil di Illinois, saya belum pernah mendengar kata “anarkisme” -sama sekali. Yang paling dekat dengan saya adalah mengetahui bahwa anarki berarti “kekacauan”. Mengenai sosialisme dan komunisme, kelas sejarah saya entah bagaimana menyampaikan pesan bahwa tidak ada perbedaan antara mereka dan fasisme, sebuah kata yang mengingatkan Hitler, kamp konsentrasi, dan segala macam hal mengerikan yang tidak pernah terjadi di negara bebas seperti kita. Secara halus saya diajarkan untuk menelan mentah-mentah secara hambar politik tradisional Amerika: moderasi, kompromi, pembatasan, Chuck Percy sebagai anak yang ajaib. Saya belajar dengan baik: butuh waktu bertahun-tahun untuk mengenali bias dan distorsi yang telah membentuk seluruh “pendidikan” saya. “Kisah-Nya” tentang umat manusia (kulit putih) hanya punya arti sebagai berikut; sebagai seorang perempuan, saya terdegradasi sebagai sebuah keberadaan dari tangan kedua. Sebagai seorang anarkis, saya tidak memiliki eksistensi sama sekali. Seluruh bagian dari masa lalu (dan dengan demikian kemungkinan untuk masa depan) telah disembunyikan dari saya. Baru belakangan ini saya menemukan bahwa banyak dari impuls politik saya yang terputus dan kecenderungannya untuk berbagi kerangka umum -yaitu, tradisi pemikiran anarkis atau libertarian. Saya seperti tiba-tiba melihat merah setelah bertahun-tahun mengalami buta warna. Continue reading “Anarkis-Feminisme: Makhluk Apa Lagi Itu?”

Pervertfobia dalam Gerakan Feminis

oleh Narayana Utara

Beberapa waktu lalu, saya mengikuti aksi Women’s March yang serentak diadakan di beberapa kota di Indonesia. Ada banyak poster dan spanduk yang dibentangkan dalam aksi tersebut, khususnya penolakan terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) berbasis gender. Selain itu ada poster penolakan atas kekerasan seksual, pelecehan seksual, otoritas terhadap tubuh, dan masih banyak lagi poster-poster yang mengangkat isu tentang seksualisme. Namun, ada beberapa poster yang membuat saya berpikir dua kali, atau bahkan lebih. Misalnya poster bertuliskan “bukan baju gua yang porno, tapi otak loe.” Poster tersebut menuduh bahwa otak cabul yang menjadi penyebab terjadinya pelecehan seksual. Ada juga poster yang bertuliskan “baju gue lu urusin, birahi loe dibiarin, yang secara tersirat menyatakan kemarahan karena pakaian perempuan yang disalahkan, sementara birahi laki-laki sudah dapat pemakluman atas terjadinya pelecehan seksual. Atau dengan yang satu ini: “buanglah pikiran kotor pada tempatnya.” Aduh, sayang. Tidak. Jangan. Tidak seharusnya juga kita menghindari pikiran-pikiran kotor yang secara alamiah timbul, tanpa kita memintanya. Biarkan saja dia tumbuh menjadi liar, nikmati saja kemanusiaan ini. Dan satu lagi tak ketinggalan, “jangan jadikan aku bahan coli.” Terus apa yang harus laki-laki bayangkan? “Kuda?” protes salah satu kawanku dari Jogja. Perempuan yang masturbasi pun membayangkan kontol. Terus bagaimana kalau laki-laki yang bilang, “jangan jadikan aku bahan masturbasi.” Lalu kamu mau bayangkan apa? Kontol kuda? Halah, kuda lagi. Sapi kek. Mungkin, karena masih sedikit perempuan yang melakukan masturbasi (atau sebenarnya banyak, hanya saja mereka malu untuk mengungkapkan itu), jadi yang terkenal meluapkan hasrat seksual terhadap dirinya dan imajinasinya hanya laki-laki. Karena laki-laki melakukan masturbasi (dan ini sudah sangat wajar dilakukan laki-laki, dan telah mendapat pemakluman publik), dan sebaliknya tidak bagi perempuan, lalu pada titik inilah para “feminis” menyerang. Continue reading “Pervertfobia dalam Gerakan Feminis”

Feminisme Melawan Patriarkat dan Patriot

oleh Bima Satria Putra

Paling tidak sejak Perang Vietnam, sudah lama rasanya gerakan perempuan secara global tidak tampak anti-patriotik seperti hari ini. Sepanjang bulan Juli ini saja, peran gerakan perempuan dalam penghapusan Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) di Amerika sangat besar. Para aktivis perempuan hadir dalam berbagai protes menentang deportasi, menolak pembangunan tembok perbatasan Trump, terlibat dalam berbagai pertempuran jalanan bersama anarkis dan anti-otoritarian lain dalam melawan ultra-kanan, memprotes Islamofobia, serta melakukan aksi langsung di banyak tempat publik, khususnya pendudukan kantor-kantor ICE di berbagai kota besar di perbatasan Amerika-Mexico. Continue reading “Feminisme Melawan Patriarkat dan Patriot”

Cinta dan Ikatan

oleh Christian Adi Candra

“Saat cemburu

yang membelenggu, cepat berlalu

 Jatuh cinta itu biasa saja”

ERK – Jatuh Cinta Itu Biasa Saja

Sore itu saya dibuat heran dengan video yang teman saya perlihatkan, tentang perempuan yang dicaci-maki seorang istri karena dituduh menggoda suaminya. Masyarakat saat ini biasa menyebutnya pelakor, akronim dari “pencuri laki orang”. Agak lucu bagi saya, dan memuakan sebenarnya. Lalu teman saya bertanya, “siapakah yang salah di kasus ini?” Dengan yakin saya jawab bahwa hubungan percintaan yang mengikatlah yang salah. Continue reading “Cinta dan Ikatan”

Emma Goldman: Perempuan yang Paling Berbahaya

oleh Peter Marshall

Emma Goldman tampil lebih sebagai aktivis ketimbang pemikir. Bagi teori anarkisme, ia telah memberikan kontribusi yang abadi. Ia menegaskan dimensi feminis yang sebelumnya hanya tersirat pada pemikiran Godwin dan Bakunin. Goldman tidak hanya menekankan aspek psikologi pada subordinasi perempuan, namun juga membuat sintesa yang kreatif dari individualisme personal dan komunisme ekonomi. Sebagai orator anarkisme, agitator bagi kebebasan berbicara, pelopor dalam masalah kontrol kelahiran, kritikus bagi Bolshevik dan seorang pembela Revolusi Spanyol, Goldman disebut sebagai satu dari perempuan yang dianggap paling berbahaya pada masanya. Bahkan setelah kematiannya, reputasinya tidak pernah dilupakan orang. Continue reading “Emma Goldman: Perempuan yang Paling Berbahaya”

Tarian Cinta dan Revolusi Emma Goldman

Ini Bukan Revolusiku (Kumpulan Esai Anarko-Feminisme)
Emma Goldman (Penerjemah: Bima Satria Putra)
Pustaka Catut, 2017

Cinta bebas? Seolah cinta adalah sesuatu yang tidak bebas! Manusia telah membeli otak, tetapi jutaan orang di dunia telah gagal membeli cinta. Manusia telah ditundukkan oleh tubuh, tetapi semua kekuatan di bumi belum mampu menaklukkan cinta. Manusia telah menaklukkan seluruh bangsa, tetapi semua pasukannya tidak bisa menaklukkan cinta. Manusia telah dirantai dan terbelenggu semangatnya, ia menjadi benar-benar tak berdaya sebelum cinta mendatanginya. Tinggi di atas takhta dengan semua kemegahan dan kemewahannya untuk dapat memerintah, manusia tetaplah miskin dan terpencil, kecuali jika cinta melewatinya. Dan jika cinta menetap, gubuk termiskin akan bersinar dengan kehangatan, kehidupan, dan warna. Dengan demikian, cinta memiliki kekuatan sihir yang membuat seorang raja menjadi pengemis. Ya, cinta itu bebas, ia dapat tinggal tidak di dalam atmosfer lainnya. Dalam kebebasan, cinta memberikan semuanya sendiri tanpa syarat, berlimpah, dan sungguh-sungguh![1]

Continue reading “Tarian Cinta dan Revolusi Emma Goldman”

Anarko-Feminisme: Menjadi Anarkis Saja Tidak Cukup

oleh Afra Suci

Feminisme dikenal sebagai paham dan gerakan yang memperjuangkan kesetaraan dan hak perempuan dalam berbagai aspek kehidupan (politik, ekonomi, sosial, lingkungan, seksualitas, dan lain-lain). Feminisme meyakini sistem masyarakat yang patriarkal merupakan sumber dari berbagai bentuk penindasan bagi perempuan dan kelompok marjinal lainnya. Patriarki telah menjadi dasar bagi sistem kekuasaan, kontrol, otoritas moral, dan eksploitasi yang berlaku di masyarakat. Sistem tersebut memberikan ruang bagi laki-laki dan suatu kelompok tertentu untuk mendominasi perempuan dan kelompok lainnya. Dominasi inilah yang dilanggengkan dalam berbagai pranata mulai dari negara, agama, ekonomi, adat, hingga keluarga. Continue reading “Anarko-Feminisme: Menjadi Anarkis Saja Tidak Cukup”

Hak Pilih Perempuan

oleh Emma Goldman

Kita membanggakan zaman teknologi, ilmu pengetahuan, dan kemajuan. Tapi apakah tidak aneh jika kemudian kita masih percaya dengan fetish?[1] Benar, fetish kita memiliki bentuk dan substansi yang berbeda, namun kekuasaan mereka atas pikiran manusia masih dianggap sebagai bencana bagi orang-orang yang tua. Continue reading “Hak Pilih Perempuan”

Kuasa dan Birahi

oleh Bima Satria Putra

Waktu baca: 25 menit.

Bagian I

Sebuah ajaran dari perkumpulan radikal pernah tersebar menghantui kekuasaan tuan tanah dan gereja pada abad pertengahan. Salah satu hal yang menjadi ciri khas dari perkumpulan ini adalah kebiasaan mereka memakai pakaian lusuh, atau terkadang malah bertelanjang, sebab menurut mereka, seseorang seharusnya tak perlu malu terhadap sesuatu yang alami. Mereka mengatakan bahwa, “orang yang bebas berhak melakukan apapun untuk menyenangkan mereka. Aku berasal dari kemerdekaan yang alami, dan apa yang dinginkan oleh kealamianku harus kupuaskan… seks adalah berkah dari surga; dan berkah dari surga tidak akan menjadi dosa.[1]” Mereka menyebut ajarannya jiwa bebas (free spirit). Continue reading “Kuasa dan Birahi”

Tragedi Emansipasi Perempuan

oleh Emma Goldman

Saya mulai dengan sebuah pengakuan: terlepas dari semua teori politik dan ekonomi, mengobati perbedaan mendasar antara berbagai kelompok dalam umat manusia, terlepas dari perbedaan kelas dan ras, terlepas dari semua garis batas buatan antara hak perempuan dan hak laki-laki, saya percaya bahwa ada titik dimana perbedaan ini dapat bertemu dan tumbuh menjadi satu kesatuan yang sempurna.

Dengan ini saya tidak bermaksud untuk mengusulkan perjanjian damai. Antagonisme sosial umum yang telah mengakar dalam seluruh kehidupan masyarakat kita hari ini, dibawa melalui kekuatan lawan dan kepentingan yang bertentangan, akan hancur berkeping-keping saat reorganisasi kehidupan sosial kita berdasarkan prinsip-prinsip keadilan ekonomi telah menjadi kenyataan. Continue reading “Tragedi Emansipasi Perempuan”