Komunike Terakhir IRPGF

Solidaritas perempuan IRPGF dengan Ni una menos, gerakan perempuan di Argentina. Tertulis: “Perempuan, Kehidupan, Kebebasan. Tanpa revolusi perempuan, tidak ada revolusi. #niunamenos”

Sudah hampir dua tahun sejak pembentukan IRPGF di Rojava. Sejak pembentukannya hingga hari ini, anggota IRPGF telah berjuang tanpa henti, bahu-membahu dengan semua kekuatan revolusioner dan orang-orang Rojava untuk mempertahankan revolusi.

Dalam pernyataan formasi kami, kami menyatakan bahwa peran kami adalah menjadi kekuatan bersenjata untuk pertahanan revolusi sosial di Rojava dan di seluruh dunia, dan berjuang melawan semua bentuk kekuasaan di mana pun mereka berada. Hari ini, peran ini belum berubah. Bahkan, kami menjunjung tinggi peran ini dan prinsip-prinsip kami dengan lebih banyak tekad dan ketahanan.

Tetapi apa yang berubah adalah perspektif kami tentang strategi perjuangan bersenjata dan cara pengorganisasian. Dalam praksis, pemikiran kami di jalur revolusioner dan bagaimana kita menempatkan diri dalam perjuangan melawan negara, kapitalisme dan patriarki telah matang.

Untuk mencerminkan lintasan kolektif kami di jalur revolusioner, kami dengan ini secara resmi mengumumkan pembubaran IRPGF. IRPGF akan berhenti berfungsi sebagai unit tempur; namun, anggota kami akan terus aktif berpartisipasi dalam pembelaan revolusi sosial di Rojava dan juga terlibat dalam kerja revolusioner di seluruh dunia.

Sejak awal, IRPGF telah menjadi inspirasi bagi banyak kaum revolusioner anarkis dan libertarian dari semua benua. Kami melihat momentum dan energi yang dihasilkan secara global dengan antusiasme yang besar.

Tetapi adalah keinginan kolektif kami untuk mengatur warisan IRPGF di masa lalu. Kami merasa bahwa nama IRPGF telah melayani fungsi historisnya dan sekarang saatnya untuk memungkinkan generasi militan yang lebih beragam, dinamis dan tersebar untuk berhasil.

Kami menyerukan dan mendorong semua kawan untuk beralih dari narasi dan citra IRPGF dan untuk mengembangkan gerakan militan mereka sendiri yang khusus untuk kawannya masing-masing untuk tidak meninggalkan perjuangan melawan hierarki dalam segala bentuknya, untuk terus maju dalam praksis dan terus mengorganisasi secara revolusioner.

Era baru perlawanan telah tiba. Dan kita tidak akan berhenti berjuang sampai menang!

Panjang umur ketahanan rakyat di Rojava dan seterusnya!

IRPGF
Rojava, 24 September 2018

Informasi lebih lanjut:
Twitter IRPGF: @IRPGF

Solidaritas untuk Bu Nuril

Baiq Nuril Maknun, mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram (yang juga dipecat) divonis enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta oleh MA karena dianggap melanggar Pasal 27 ayat (1) UU ITE dengan menyebarkan informasi elektronik yang mengandung muatan kesusilaan. Bu Nuril adalah korban pelecehan verbal baik secara tatap muka atau melalui panggilan telepon oleh kepala sekolahnya. Ia merekam pembicaraan tersebut, tetapi tidak menyebarkannya. Salah satu rekan Bu Nuril, kemudian menyebarkan rekaman tersebut kepada Dinas Pendidikan Kota Mataram dan lainnya. Kepala sekolahpun dimutasi dari jabatannya sebagai kepala sekolah karena kejadian ini dan melaporkan Bu Nuril. Jaksa penuntut umum kemudian mengajukan kasasi ke MA, hingga akhirnya keluarlah putusan di atas.

Ini bukan pertamakalinya negara menjerat korban pelecehan seksual. Sebelumnya, kawan Anindya juga dikriminalisasi dengan UU yang sama setelah menuliskan serangkaian protes dan kronologi pelecehan seksual yang dialaminya. Pelecehan dilakukan aparatur kepolisian saat pembubaran paksa diskusi di asrama mahasiswa Papua di Surabaya.

Informasi lebih lanjut, baca laporan Tirto.id : “Baiq Nuril, Korban Pelecehan Seksual yang Dipidana Gara-gara UU ITE

Bantu dengan berdonasi untuk membayar denda dan membantu keluarga Bu Nuril. Klik disini.

Isi juga petisi di Change.org. Klik disini.

Baik Senat Maupun Hukum tidak akan Membebaskan Kita: Pernyataan ASL

Kami mereproduksi pernyataan dari rekan-rekan kami di Argentina, Acción Socialista Libertaria (ASL)[1], tentang perjuangan untuk hak aborsi saat ini. Diperkirakan 500.000 aborsi ilegal terjadi setiap tahun di Argentina.[2] Sekitar 80.000 orang setiap tahun dirawat di rumah sakit terkait dengan komplikasi pasca-aborsi dan sering berhadapan dengan hukum sebagai akibatnya. Praktik aborsi tetap ilegal di Argentina kecuali dalam kasus perkosaan atau ketika kehidupan atau kesehatan perempuan terancam tetapi bahkan dalam keadaan tersebut layanan aborsi tetap sulit diperoleh. Pada bulan Juni hingga Agustus 2018 Kongres Argentina mempertimbangkan RUU yang akan melegalkan aborsi hingga 14 minggu usia kehamilan dengan selisih suara yang tipis lolos dalam Majelis Rendah (Chamber of Deputies) tetapi kalah suara di Senat pada 9 Agustus yang lalu. Pernyataan ini sebagai tanggapan terhadap pemungutan suara. #NiUnaMenos Continue reading “Baik Senat Maupun Hukum tidak akan Membebaskan Kita: Pernyataan ASL”

Pengumpulan Dana dan Bantuan untuk Kulonprogo

Kawan-kawan di Salatiga dan sekitarnya sedang mengumpulkan bantuan untuk perjuangan petani Temon, Kulonprogo. Beberapa bantuan yang bisa diserahkan antara lain:

  • Masker, kondisi lapangan sangat berdebu;
  • Pembalut menstruasi, jangan sampai kebutuhan perempuan terlupakan, kita harus memulai kondisi darurat dan bencana yang ramah gender;
  • Obat-obatan, jenis apapun dan yang biasa menyerang secara umum dan dapat diakses di apotik atau farmasi terdekat;
  • Bahan makanan, khususnya yang instan;
  • Uang tunai, yang dapat dibelanjakan untuk keperluan apapun yang mendesak selama warga dan relawan di lapangan membutuhkannya.

Barang bantuan juga bisa disalurkan ke Chigue Caffe di alamat Jl. Kartini No.1 (ruko lampu merah) paling lambat hari ini, Minggu 22 Juli 2018 pukul 12.00 WIB.

Solidaritas AFFC untuk Petani Temon Kulonprogo

Pada pukul 08.00 WIB, Kamis, 28 Juni 2018, ratusan aparat gabungan Polri, TNI dan Satpol PP, mengawal sembilan alat berat yang meratakan lahan pertanian dan pemukiman warga Dusun Sidorejo, Desa Glagah, Kecamatan Temon, Kulonprogo, Yogyakarta. Sasaran penggusuran dilakukan kepada warga yang menolak pembangunan proyek New Yogyakarta International Airport (NYIA) tanpa syarat. Artinya, warga membela haknya sebagai pemilik sah tanah, meskipun ada penawaran ganti rugi dan pemaksaan Angkasa Pura (AP) 1 yang membeli lewat perantara pengadilan/konsinyasi.

Para warga Temon, khususnya petani perempuan Temon, telah menunjukkan perjuangan yang paling gigih dalam mempertahan ruang hidupnya, terhitung sejak 25 Januari 2011, hingga hari ini. Perampasan lahan tanpa kesepakatan petani, beserta berbagai proyek infrastruktur skala nasional lain yang tersebar di berbagai tempat di Indonesia menunjukkan perampasan ruang hidup yang massif dan sistematis, mencabut memori kolektif warga atas tanah yang mereka pijak, dan penghancuran hubungan perempuan dengan alam tempat mereka hidup.

AFFC dengan ini menyatakan secara terbuka dukungan dan solidaritas terhadap Petani Temon Kulonprogo dalam menolak proyek NYIA. AFFC juga menyerukan aksi langsung di Temon, Kulonprogo dan solidaritas yang lebih luas lagi secara nasional dan internasional untuk memperkuat perjuangan petani Temon, yang hingga sekarang, masih menghadapi alat berat yang beroperasi di bawah kawalan aparatur negara.

Hancurkan negara dan kapitalisme!

Rajut solidaritas perjuangan perempuan!

Seruan FML untuk Aksi Langsung Kekerasan

Dalam Women’s March 2018 di Salatiga, Federasi Mahasiswa Libertarian (FML) menyerukan digunakannya aksi langsung kekerasan terhadap segala macam bentuk represi seksual di Indonesia. Hal ini merupakan respon atas RKUHP yang dinilai akan merugikan kelompok perempuan dan kelompok gender termarjinalkan lainnya. Selain itu, seruan ini juga merupakan respon atas kebangkitan kelompok ultra-nasionalis dan fundamentalis Islam yang menjadi polisi moral atas segala kegiatan seksual, juga bentuk otonomi dan solidaritas terhadap penanganan kasus-kasus kekerasan seksual di luar campur tangan hukum dan kepolisian.

FML’s call for direct violence
In Women’s March 2018 in Salatiga, the Libertarian Student Federation (FML) called for the direct use of violence against all forms of sexual repression in Indonesia. This is a response to the RKUHP which is considered to be detrimental to the women’s group and other marginalized gender groups. In addition, this call is also a response to the rise of ultra-nationalist and Islamic fundamentalists who became the moral police for all sexual activities, as well as a form of autonomy and solidarity with regard to the handling of cases of sexual violence outside the intervention of law and police.