Emma Goldman: Perempuan yang Paling Berbahaya

oleh Peter Marshall

Emma Goldman tampil lebih sebagai aktivis ketimbang pemikir. Bagi teori anarkisme, ia telah memberikan kontribusi yang abadi. Ia menegaskan dimensi feminis yang sebelumnya hanya tersirat pada pemikiran Godwin dan Bakunin. Goldman tidak hanya menekankan aspek psikologi pada subordinasi perempuan, namun juga membuat sintesa yang kreatif dari individualisme personal dan komunisme ekonomi. Sebagai orator anarkisme, agitator bagi kebebasan berbicara, pelopor dalam masalah kontrol kelahiran, kritikus bagi Bolshevik dan seorang pembela Revolusi Spanyol, Goldman disebut sebagai satu dari perempuan yang dianggap paling berbahaya pada masanya. Bahkan setelah kematiannya, reputasinya tidak pernah dilupakan orang.

Lahir pada 1869 di pemukiman Yahudi di Rusia, Goldman adalah anak yang tidak diharapkan dari perkawinan yang kedua dari ayahnya. Dia tumbuh di desa terpencil di Popelan, dimana orang tuanya memiliki sebuah penginapan kecil. Belakangan dia mengenangkan bahwa dirinya selalu merasa memberontak terhadap kehidupannya. Gadis kecil ini, secara naluriah, merasa jijik melihat perbudakan dan terkejut dengan kenyataan bahwa percintaan antara Yahudi dan Gentile (non-Yahudi) dianggap sebagai dosa. Ketika dia berusia tiga belas tahun, keluarganya pindah ke kawasan pemukiman Yahudi di St. Petersburg pada 1882. Mereka datang ketika Alexander II baru saja dibunuh, itulah masa-masa represi politis sedang galak-galaknya, sehingga komunitas Yahudi di Rusia sangat menderita akibat gelombang gerakan pembantaian terorganisir untuk menghancurkan mereka. Pada masa itu juga, krisis ekonomi sedang menyebar dengan sangat parah. Karena kemiskinan keluarganya, Goldman harus meninggalkan bangku sekolahnya di St. Petersburg yang baru dijalaninya enam bulan dan ia terpaksa mulai bekerja di pabrik.

Bergabung dengan para pelajar radikal, Goldman berkenalan dengan tulisan Turgenev yang berjudul Fathers and Sons (1862). Ia tergugah dengan definisi nihilis sebagai “seseorang yang menolak patuh pada otoritas apapun, seseorang yang tidak mengambil prinsip apa pun dalam keyakinannya, setinggi apa pun nilai yang terkandung dalam prinsip tersebut”. Hal yang lebih penting lagi dari perkembangan dirinya selanjutnya adalah ketika dia menyimpan satu kopi dari karya Nikolai Chernyshevsky berjudul What is to be Done? (1863). Karya ini menggambarkan tokohnya, seorang perempuan pemberani bernama Vera, sebagai perwujudan nihilisme yang tinggal di sebuah dunia yang memiliki hubungan yang sederhana antar gender dan keriangan kerja bebas yang kooperatif. Buku tersebut tidak hanya menawarkan sketsa embrionik tentang anarkismenya di kemudian hari, tetapi juga memperkuat determinasinya untuk menjalani hidup sesuai dengan apa yang dia inginkan[1].

Celakanya, ayah Goldman sangat berseberangan dengan hasrat puterinya. Sang patriarki habis-habisan ini menjadi mimpi buruk Goldman di masa kecilnya[2]. Sang ayah tidak hanya mencambuknya dengan niat untuk mematahkan semangat puterinya, namun juga berusaha menikahkannya pada usia lima belas tahun. Ketika Goldman menolak dan memohon agar bisa tetap meneruskan sekolahnya, sang ayah menandaskan : “Anak perempuan tidak perlu terlalu banyak belajar! Semua anak perempuan Yahudi hanya perlu tahu bagaimana caranya menyiapkan ikan gefüllte, memotong mie dengan rapi dan melahirkan banyak anak untuk seorang lelaki”[3]. Pada akhirnya muncul kesepakatan keluarga bahwa anak gadis tak tahu diuntung ini sebaiknya hijrah saja ke Amerika, bersama adik perempuannya -dari beda ibu- dan bergabung dengan seorang saudara tirinya yang lain yang telah menetap di Rochester.

Sebagai seorang Yahudi Soviet yang tidak punya relasi keluarga langsung, Goldman segera sadar bahwa surga Amerika -setidaknya bagi kaum miskin- adalah neraka di dunia. Dia menimba pendidikan yang sesungguhnya di pojokan-pojokan kawasan kumuh dan pabrik-pabrik, dan menyambung hidupnya dengan bekerja sebagai seorang penjahit. Kesulitan-kesulitan pada masa mudanya itulah, yang mengasah kepekaannya terhadap situasi ketidakadilan dan mengilhami hasrat cintanya pada  kebebasan.

Gelombang protes yang marak akibat tragedi Haymarket Square pada 1886 di Chicago, kian mendekatkan Goldman kepada anarkisme di Amerika. Itulah saat manakala empat orang anarkis akhirnya digantung, gara-gara sebuah bom dilemparkan oleh seseorang dari kerumunan massa ke tengah polisi, dalam sebuah demonstrasi buruh yang menuntut pengurangan jam kerja menjadi delapan jam sehari. Berdasarkan bukti-bukti yang tidak jelas, hakim dalam pengadilan para anarkis itu secara terbuka menyatakan: “Kalian tidak dihukum sebagai pelempar bom dalam kasus Haymarket, tapi karena kalian adalah anarkis”[4]. Peristiwa tersebut tidak hanya mempertajam kesadaran radikal sebuah generasi pada masa itu, namun juga menyulut perubahan amat besar pada diri Goldman. Pada hari penggantungan, Goldman memutuskan untuk menjadi seorang revolusioner dan berupaya mendalami apa yang sebetulnya mengilhami tujuan-tujuan para martir tersebut.

Pada usianya yang kedua puluh, Goldman menceraikan seorang imigran Rusia yang dinikahinya karena kesepian, dan lantas ia pergi ke New York. Di kota ini ia bertemu Johann Most, seorang editor yang bersemangat untuk koran anarkis berbahasa Jerman, Freiheit dan darinya, Goldman menyerap pandangan komunisme yang garang. Dalam waktu singkat Goldman menggelar kelompok-kelompok belajar sendiri tentang anarkisme. Lantaran rasa penolakannya yang semakin besar terhadap kemarahan Most yang destruktif, ketertarikan Goldman beralih ke jurnal anarkis Jerman, Die Autonomie. Terbitan ini memperkenalkannya kepada tulisan-tulisan Kropotkin yang segera dia terima sebagai pemikir anarkis yang paling jernih.

Goldman tidak hanya berhenti pada tataran teoritis. Berdasarkan pandangannya tentang cinta bebas, dia menjadi kekasih seorang anarkis, Alexander Berkman, yang ia panggil dengan intim sebagai “Sasha” dalam otobiografinya. Inilah sebuah awal untuk relasi yang ia bina sampai seumur hidupnya. Mereka hidup dalam sebuah ménage à trois bersama seorang seniman sahabat mereka, Modest Stein yang biasa dipanggil Fedya, dan menganggap bahwa kecemburuan adalah bentuk ketinggalan zaman dari rasa saling menghargai dan memiliki.

1918-New York, NY-Emma Goldman and Alexander Berkman, anarchists, after surrendering themselves to the U.S. Marshal in New York to serve their term of two years imprisonment each and to pay fines of $10,000 each for conspiracy to interfere with the operation of the draft law.

Keterlibatan penuhnya untuk mengungkai tindakan radikal guna memajukan perjuangan buruh, mengantarnya bersama Berkman pada sebuah rencana pembunuhan terhadap Henry Clay Frick, dalam sebuah pemogokan buruh besi di Homestead pada 1892. Bahkan Goldman juga berusaha, walaupun gagal, bekerja sebagai pelacur di Fourteenth Street guna mengumpulkan uang untuk membeli pistol -pada akhirnya pistol itu sukses dia beli dengan uang pinjaman dari saudaranya.

Berkman berhasil menyusup ke kantor Frick dan menembaknya. Namun manajer itu hanya terluka. Kendati Berkman menerima tuntutan dua puluh tahun penjara, Goldman secara terbuka memaparkan dan mengajukan alasan atas usaha pembunuhan tersebut. Sejak itu pengadilan tidak hanya memutuskan reputasi anarkisme sebagai melulu kekerasan, namun juga menempatkan Goldman sebagai perempuan yang harus diawasi. Menyusul kemudian pemerintah mulai secara teratur menggrebek setiap kuliah-kuliah terbukanya. Meskipun demikian, ada sebuah peristiwa yang terjadi : dalam satu kesempatan Most menyalahkan aksi Berkman, Goldman sangat marah hingga dia mengambil sebuah cambuk kuda dan mencambuk Most agar dia bisa mengerti.

Pada 1893, Goldman ditangkap karena diduga mendorong para pengangguran menjarah roti dan dia dihukum selama setahun penjara di pulau Blackwell. Dalam pengadilannya, dia ditanyai tentang keyakinannya:

Apakah engkau percaya Tuhan, Nona Goldman?

Tidak, Tuan, saya tidak percaya.

Adakah pemerintahan di dunia ini dimana hukum-hukumnya engkau taati?

Tidak, Tuan. Semua pemerintahan bertentangan dengan rakyatnya.

Mengapa engkau tidak meninggalkan negeri ini apabila engkau tidak menyukai hukum yang berlaku di dalamnya?

Kemana saya harus pergi? Dimanapun di dunia ini hukum selalu berlawanan dengan kaum miskin, dan mereka katakan pada saya bahwa saya tidak dapat pergi ke surga. Dan saya memang tidak ingin pergi ke sana.[5]

Jawaban-jawabannya jelas menjauhkan simpati para juri. Begitu dibebaskan, Goldman semakin dikenal luas dengan julukan “Red Emma”, perempuan sohor dan ditakuti karena merayakan cinta bebas, atheisme dan revolusi. Dia sendiri tak ambil pusing terhadap para penentangnya. Ketika ditanya oleh editor Labor Leader pada 1897 mengenai masyarakat bebas, dengan simpel dia menjawab: “Saya terlampau anarkis untuk menjalankan sebuah program bagi para anggota masyarakat tersebut; sebenarnyalah, saya tidak perduli pada detil-detil yang cerewet, saya hanya menginginkan kebebasan yang sempurna, kebebasan tak terbatas bagi diri saya sendiri dan bagi orang lain”[6].

Ketika Czolgosz, seorang pemuda imigran dari Polandia, membunuh Presiden McKinley pada 1901, disebut-sebut bahwa Goldman-lah yang memotivasi dia untuk melakukan aksi tersebut. Kendati Goldman menyangkal terlibat tindakan itu, simpatinya terhadap pembunuhan tanpa perlawanan tersebut melulu membuatnya kian tampil sebagai sosok yang berbahaya di mata publik. Akibatnya, represi terhadap para anarkis semakin keras, yang sekaligus membuatnya tidak bisa kembali ke dalam kehidupan publik sampai tahun 1906.

Pada masa itulah lantas Goldman dan Berkman mulai menerbitkan bulanan Mother Earth. Semula majalah mereka bernama “Open Road”, yang mengambil judul sebuah puisi karya Walt Whitman, sebuah judul yang amat pas melukiskan sosok dewi kesuburan dan cantiknya kebebasan. Ini terbitan yang tak hanya mengkaji gagasan-gagasan anarkis, namun juga menjadi mimbar bagi sastra dan seni, yang memperkenalkan penulis-penulis seperti Ibsen, Strindberg, Hauptmann, Thoreau, Nietzsche dan Wilde kepada publik Amerika.

Tulisan-tulisan Goldman dan aktivitas editorialnya tidak membuatnya berhenti mengorganisir kuliah-kuliah kelilingnya. Dia menjadi salah satu orator yang paling memukau dan eksplosif dalam sejarah Amerika, kendati senantiasa menjadi sasaran berbagai upaya polisi dan pasukan swakarsa yang berusaha membungkamnya. Pada 1910, karya teoritisnya yang terkenal, Anarchism and Other Essays, diterbitkan, yang disusul serangkaian turnya yang terdiri dari 120 kali orasi di 37 kota di hadapan 25 ribu pendengar. Kuliah-kuliahnya tentang drama diterbitkan pada 1914 dengan judul The Social Significance of the Modern Drama. “Emma Merah” ini tak hanya menggauli drama sebagai media penebar pemikiran-pemikiran radikal yang ampuh dan menyokong karya-karya Hauptmann dan Ibsen, namun juga dengan konsisten menekuni dimensi estetik untuk memperjuangkan kebebasan.

Maka tak heran revolusioner mungil berkacamata bundar yang melorot di hidungnya ini, terus-menerus melabrak kewenangan dengan serangan terbukanya terhadap hukum, pemerintah dan properti, sumber malapetaka itu. Ia dipenjarakan untuk kedua kalinya karena menyebarkan literatur tentang kontrol kelahiran, namun hukumannya yang terpanjang adalah atas keterlibatannya dalam membentuk Liga Anti Wajib-Milisi dan mengorganisir demonstrasi-demonstrasi menentang Perang Dunia I. Bersama Berkman ia kemudian ditangkap pada 1917 karena dituduh berkonspirasi menghalangi pendataan wajib militer dan dihukum penjara selama dua tahun. Selain itu, kewarganegaraan Amerika mereka dicabut dan mereka dideportasi dengan kaum Merah lainnya ke Rusia pada 1919. J. Edgar Hoover yang merancang pendeportasian mereka menyebut Goldman sebagai “Salah satu dari perempuan paling berbahaya di Amerika”.

Emma Goldman pada 1919, saat hendak dideportasi ke Rusia.

Dalam kondisi itu, Goldman tidak terlalu masgul lantaran dipaksa kembali ke tanah kelahirannya dan menjadi saksi mata langsung atas terjadinya Revolusi Rusia yang ketika di Amerika disanjungnya sebagai ‘janji dan harapan bagi dunia’[7]. Demi revolusi, untuk pertama kalinya ia rela meminggirkan ketidaksetujuannya terhadap sentralisme dan konsep negara Marxis, dan ia pun terjun bergabung dengan barisan Bolshevik. Namun segera juga ia kecewa sebab diberangusnya kebebasan berpendapat dan diutamakannya hak-hak istimewa yang dinikmati para anggota Partai Komunis. Pasangan ini kemudian menjelajahi seluruh bagian Rusia untuk menghimpun dokumen-dokumen bagi arsip revolusioner dan hati mereka amat terpukul menyaksikan langsung bagaimana birokrasi tumbuh menggurita, hukuman-hukuman politik dan kerja paksa semakin ditebar meluas.

Puncak kengerian mereka terjadi saat meletusnya pemberontakan Kronstadt. Berbagai pemogokan terjadi pada Maret 1921 di Petrograd yang didukung oleh para pelaut Kronstadt. Di antara sejumlah tuntutan mereka, barisan buruh dan pelaut tersebut menyerukan pemerataan kesejahteraan, kebebasan berpendapat bagi kelompok-kelompok Kiri dan digelarnya pemilu di Soviet-Soviet. Pada gilirannya, pemberontakan Kronstadt dihancurkan secara brutal oleh Trotsky dengan Tentara Merah-nya. Pada saat itulah Goldman dan Berkman merasa tak kuat lagi jika tetap berada di Rusia. Mereka semakin meyakini bahwa kemenangan Negara Bolshevik tiada lain adalah kekalahan bagi Revolusi. Pada Desember 1921 mereka berhasil mendapatkan paspor dan segera pergi ke Eropa.

Goldman menuliskan dua tahun pengalamannya di Rusia di bawah judul My Disillussionment in Russia (1923) yang segera disambungnya dengan My Further Disillussionment in Russia (1924). Kedua buku tersebut diterbitkan dalam satu jilid di Inggris pada tahun berikutnya. Dengan menggugah, Goldman mengisahkan bagaimana dia berusaha mempertanyakan Kebijakan Ekonomi Baru dalam wawancaranya dengan Lenin, namun dengan segera ia menyadari bahwa “politik sentralisasi Negara itu sendiri adalah penuhanan atas Lenin dimana segala sesuatu harus dikorbankan”. Kendati prinsip-prinsip libertarian tampil kuat pada hari-hari pertama Revolusi, Goldman menunjuk ‘fanatikus pemerintahanisme’ Marxis dan juga konsep ‘kediktatoran proletariat’[8] mereka sebagai yang patut disalahkan atas hancurnya revolusi tersebut. Lebih lanjut Goldman menegaskan bahwa Bolshevikisme dalam prakteknya bukanlah sebentuk komunisme sukarela, tetapi lebih sebagai ‘paksaan dari Komunisme Negara’[9]. Dengan tata ekonomi yang dinasionalkan, kekakuan perencanaan terpusat, sistem pengupahan, pembagian kelas dan hak-hak istimewa, birokrasi yang meraksasa, dominan dan eksklusifitas Partai Komunis, maka semua hal tersebut hampir tidak ada bedanya dengan kapitalisme negara. Goldman bahkan menyatakan bahwa kediktatoran Stalin nyatanya lebih absolut ketimbang kediktatoran Tsar.

Setelah meninggalkan Rusia, Goldman dan Berkman tetap tidak diijinkan kembali ke Amerika. Maka Berkman menetap di Perancis dan Goldman di Inggris. Di negeri kolonialis ini Goldman bekerjasama dengan Rebecca West yang menulis kata pengantar untuk bukunya, My Disillussionment in Russia. Namun Goldman gagal merebut perhatian publik dengan pesan-pesannya yang tidak bersahabat. Dia nyaris sendirian di tengah para radikal lantaran Goldman tidak berpihak pada Bolshevik. Bertrand Russel mengenangkan bahwa meskipun ia disambut dengan antusias oleh Rebecca West dan lainnya untuk berpidato pada sebuah kesempatan di tahun 1924, Goldman terduduk diam di pojokan setelah sempat beberapa kali mengkritik Bolshevik. Pidato-pidato publiknya semakin jarang dikunjungi, bahkan dia gagal menemukan sebuah penerbit pun yang mau mempublikasikan manuskrip-manuskripnya tentang kisah dramatis di Rusia. Manakala mendengar bahwa ada kemungkinan Goldman akan dideportasi, pada tahun 1925 James Colton, seorang tua terpelajar-otodidak yang juga buruh tambang dari kawasan Wells, menawarkan pernikahan dengan Goldman agar dia memperoleh kewarganegaraan Inggris. Goldman menerima tawaran ‘solidaritas yang manis’ itu. Dengan paspor Inggris di tangan, barulah dia bisa bebas melakukan perjalanan ke Perancis dan Kanada. Bahkan, pada 1934, dia diijinkan menggelar tur kuliah-kuliahnya di Amerika.

Emma Goldman memberikan eulogi saat pemakaman Peter Kropotkin.

Pengalaman terbesar di masa tuanya adalah Revolusi Spanyol. Terpukul atas tindakan bunuh diri Berkman pada 1936 dan tertekan oleh menguatnya fasisme, kabar bangkitnya kaum Republikan melawan Franco di Spanyol, amat menghibur Goldman. Di usianya yang ke-67 dia pergi ke Barcelona pada September 1936 dan bergabung dengan gerakan perlawanan di sana. Pada akhirnya anarkisme tampaknya tengah mendekati kemenangan. Dalam sebuah demonstrasi Libertarian Youth, ia serukan : “Revolusi kalian akan menghancurkan, untuk selamanya, anggapan bahwa anarkisme berdiri demi  kekacauan”[10]. Dia bahu-membahu dengan para anarkis CNT-FAI (Confederación Nacional del Trabajo dan Federación Anarquista Ibérica) -dalam sebuah kesempatan, sekitar 10 ribu anggotanya terkesima mendengarkan Goldman menyebut mereka sebagai ‘sebuah contoh yang bersinar bagi seluruh dunia’[11]. Goldman menyunting edisi bahasa Inggris dari buletin CNT-AIT-FAI dan memberikan beberapa bagian tambahan yang menerangkan tentang sebab-sebab revolusi tersebut di Inggris.

Tapi sekali lagi harapannya yang membumbung akan revolusi mesti kandas. Dia tidak setuju dengan partisipasi para anarkis CNT-FAI dalam pemerintahan koalisi yang dibentuk pada 1937 dan berbagai konsesi yang mereka berikan untuk memperkuat komunis demi tujuan perang di Spanyol. Dengan tepat dia meramalkan bahwa hal tersebut akan melukai tujuan-tujuan anarkis; revolusi sosial seharusnya maju terus terus secara simultan dengan gelombang perlawanan terhadap Franco. Betapapun demikian, Goldman merasa tidak bisa menyalahkan sahabat-sahabat anarkisnya atas kompromi-kompromi yang bisa dimaklumi, dengan bergabung dalam pemerintahan dan menerima militerisasi, lantaran ia paham bahwa pilihan yang ada pada waktu itu hanyalah kediktatoran komunis.

Lucía Sánchez Saornil & Emma Goldman, ketika di Spanyol.

Dalam kongres IWMA (International Working Men’s Association) di Paris pada akhir tahun 1937, Goldman menyatakan bahwa di ‘rumah-rumah yang terbakar’ di Spanyol, tampaknya ada pengingkaran solidaritas dengan memercikkan ‘asam’ kritisme ke atas ‘daging yang telah terbakar’[12]. Setahun berikutnya, kepada Vernon Richards ia menulis:

“… meskipun saya tidak setuju dengan apa yang dijalankan oleh sahabat-sahabat Spanyol kita, saya tetap berpihak kepada mereka karena mereka berjuang dengan sangat heroik, dengan punggung merapat ke dinding menentang seluruh dunia, disalah-pahami oleh beberapa kawan mereka sendiri dan dikhianati oleh para buruh sebagaimana juga oleh semua organisasi Marxis. Apapun kesaksian para ahli sejarah di masa yang akan datang terhadap perjuangan CNT-FAI, merekalah kekuatan yang menyingkapkan dua aksi terbesar kepada rakyat kita : penolakan mereka untuk memapankan kediktatoran yang tengah berada di tampuk kekuasaan dan sebagai yang pertama kali bangkit melawan Fasisme.”[13]

Mengesampingkan kekecewaannya yang mendalam atas kemenangan Franco di Spanyol  dan meluasnya fasisme di seluruh daratan Eropa, Goldman menolak untuk mengkompromikan prinsip-prinsip anarkisnya. Menjelang kematiannya pada 1940, ia menulis: ’Saya melawan kediktatoran dan fasisme sebagaimana saya menentang rezim parlementer dan apa yang disebut demokrasi politis’[14]. Dia tetap menganggap anarkisme sebagai ‘filosofi yang paling indah dan praktis’ dan yakin bahwa suatu hari kelak hal tersebut akan terbukti kebenarannya[15].

Goldman meninggal pada tahun 1940, tiga bulan setelah serangan stroke, di Toronto. Jasadnya, akhirnya diijinkan kembali ke Amerika dan dimakamkan di Chicago, tidak jauh dari para martir Haymarket yang takdirnya telah mengubah jalan hidupnya lebih dari lima puluh tahun sebelumnya.

Pandangan Goldman tentang pemerintah, revolusi dan pendidikan tampil jelas dan lugas. Namun sumbangannya yang terpenting bagi teori anarkis adalah dimensi feminis yang ia tuangkan ke dalamnya. Dia amat gusar terhadap status dan kondisi para perempuan pada masanya dan pandangan-pandangannya yang diutarakan dengan terang justru mengakibatkan ia dicap buruk. Ia nyatakan rasa jijiknya terhadap standar ganda dalam hubungan antar jenis kelamin. Ia menyerang ‘Kemunafikan Puritanisme’ yang merendahkan dorongan-dorongan alamiah dan menindasnya dengan kultur. Dia mencaci sistem yang berlaku saat itu yang memperlakukan perempuan sebagai obyek seks, penghasil anak dan buruh murah. Pelacuran adalah contoh paling gamblang perkara eksploitasi perempuan, namun sebenarnyalah semua perempuan dalam berbagai cara memang telah dikondisikan untuk menjual tubuhnya. Dengan menekankan bahwa yang personal adalah juga yang politis, Goldman terisolasi dari para feminis di masanya tetapi ide-idenya banyak diadaptasi oleh feminis Amerika pada dasawarsa 1970-1980.

Berbeda dengan para suffragettes -kalangan perempuan yang menuntut hak pilih bagi perempuan, bermula pada awal abad 20 di Inggris- yang menanggapi pemilihan umum sebagai alat prinsipil untuk emansipasi perempuan dan yang bertujuan menempatkan laki-laki dalam aturan main yang sama seperti perempuan, Goldman sepenuhnya menolak “fetish modern” dari hak suara universal itu. Dia mengkritisi gerakan hak pilih bagi perempuan di Amerika itu karena “semua secara bersamaan menjadi urusan ruang tamu” yang terpisah dari kebutuhan ekonomi rakyat[16]. Manakala tujuan utama emansipasi seharusnya memungkinkan perempuan menjadi manusia dalam makna sepenuhnya, karyanya yang berjudul “The Tragedy of Woman’s Emancipation” di Amerika justru membuatnya terisolasi. Secara paradoksal, Goldman berpikir adalah sesuatu yang penting untuk mengemansipasikan kaum perempuan Amerika dari “emansipasi” sebagaimana dipahami pada masa itu. Mereka yang disebut sebagai “warga negara Amerika yang bebas” mendapatkan hak pilih universalnya hanya layaknya “menempa besi untuk merantai tangannya sendiri”; dimata Goldman, tidak ada sedikitpun alasan mengapa perempuan harus tidak memiliki hak suara yang sama dengan laki-laki, namun baginya juga merupakan pengertian yang absurd untuk meyakini bahwa “perempuan pada akhirnya akan memenuhi ruang-ruang dimana para lelaki telah gagal”[17].

Tidak ada penyelesaian politik yang mungkin bagi relasi antar jenis kelamin yang timpang dan represif. Oleh sebab itu Goldman menyerukan apa yang diajukan oleh Nietzsche sebagai “penilaian-ulang segala nilai yang berlaku” yang berbarengan dengan upaya menghapuskan perbudakan ekonomi. Dia mengajak rekan-rekan sezamannya untuk terjun “Melintasi Baik dan Buruk” dan mendesakkan “hak untuk kedirian-seseorang, untuk pemenuhan diri yang personal”[18]. Emansipasi sejati tidak dimulai dalam pemilihan umum ataupun dalam ruang pengadilan, ia berawal dari dalam “jiwa perempuan”. Di atas semua hal tersebut, emansipasi perempuan harus datang dari dan melalui dirinya sendiri:

“Pertama, dengan menegaskan dirinya sebagai sosok pribadi, dan bukan sebagai komoditas seksual. Kedua, dengan menolak hak setiap orang atas tubuhnya; dengan menolak membesarkan anak, kecuali dia sendiri yang menginginkannya; dengan menolak menjadi pelayan bagi Tuhan, negara, masyarakat, suami, keluarga dan lain sebagainya; dengan menjalankan hidup yang bersahaja namun mendalam dan kaya. Yaitu berusaha memahami makna dan substansi hidup beserta segala kompleksitasnya, dengan membebaskan dirinya dari ketakutan akan pendapat umum dan kutukan umum. Hanya dengan cara itu -dan bukan dengan kotak pemilu- maka perempuan akan bebas, akan membuatnya menjadi sebuah kekuatan yang tak pernah dikenal sebelumnya di dunia, sebuah kekuatan demi cinta yang sesungguhnya, untuk perdamaian, untuk harmoni; sebuah kekuatan api yang menggelora, sebagai pemberi kehidupan; seorang pencipta laki-laki dan perempuan yang bebas.[19]

Goldman tidak merasa bersalah ketika mengedepankan isu-isu yang paling tabu dan menghamparkan diskusi-diskusi yang jujur dan terbuka tentang seks, cinta dan perkawinan. Tampil dengan sangat berbeda, Goldman meyakini bahwa perkawinan dan cinta seringkali bersifat antagonistik. Manakala cinta telah lahir sebagai pendorong yang paling kuat dalam mendobrak sekumpulan adat yang mengikat, perkawinan justru malah melayani kepentingan negara dan gereja dengan memberinya kesempatan untuk mencampuri urusan-urusan kita yang paling pribadi. Padahal, sesungguhnya, itu seringkali melulu sebuah urusan murni ekonomi, dengan memenuhkan-diri pihak perempuan dengan kebijakan asuransi, sistem penjamin kebutuhan materi itu, dan bagi pihak laki-laki, dirinya kini punya sebuah mainan cantik yang sekaligus berlaku sebagai perkakas bagi pengukuhan terus-menerus peran pihak lelaki. Demikianlah perkawinan, “upaya mempersiapkan perempuan untuk sebuah kehidupan sebagai parasit, pelayan yang tergantung tanpa daya, sementara pada saat yang sama institusi ini memberikan hak penggadaian barang bergerak bagi laki-laki atas kehidupan seorang manusia”[20]. Oleh sebab itu, seorang perempuan mengemansipasikan dirinya manakala dia menjunjung seorang laki-laki hanya karena kualitas hati dan pikirannya. Seorang perempuan mengemansipasikan dirinya ketika dia menegaskan hak untuk melangkah mengikuti jalur cinta tanpa hambatan apapun, dan menyatakan hak absolut bagi keibuan yang bebas. Untuk perkara ‘pasar perkawinan’ ini, kiritik paling tajam yang diajukan oleh pemikir anarkis, muncul dari William Godwin.

Goldman tidak hanya menganjurkan cinta bebas, namun juga mempraktekkannya. Dia punya, setidaknya, sebuah hubungan dengan seorang perempuan lainnya. Di usianya yang ke-20 dia tinggal dengan Berkman dan Fedya sebagai menage a trois (bentuk poliamori, keluarga yang dimulai dengan tiga orang -red). Pada tahun 1908 saat dia menginjak usianya yang ke-38, Goldman menjalin-kasih dengan Ben Reitman yang lebih muda sembilan tahun darinya. Reitman dikenal sebagai “Hobo King” sehubungan pekerjaannya sebagai dokter bagi para gelandangan di Chicago. Dengan segenap pernyataan kebebasan dirinya, Goldman menjadi terobsesi dengan sosok yang “kasar namun rupawan”. Reitman membangkitkan “nafsu mendasar yang deras” dalam diri Goldman; sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya oleh Goldman bahwa seorang laki-laki akan dapat membangkitkannya. Dia mengakui “Saya merespon tanpa malu-malu pada panggilan primitif tersebut, keindahan telanjang dan kenikmatan yang melenakan”[21].

Reitman tetap terus melakukan hubungan seksual dengan beberapa perempuan lain dalam sepuluh tahun hubungan mereka. Dan, sebagaimana ditunjukkan oleh surat-surat antar mereka, Goldman tidak dapat menahan rasa cemburu dan rasa pingin tahu ketika Reitman sedang bersama perempuan lain. Rasa gundah Goldman bisa saja ditafsirkan sebagai sebuah kontradiksi dan mungkin sebagai kegagalan filosofinya. Goldman menyadari bahaya dirinya tersebut dan menulis kepada Reitman: “Aku tidak punya hak berbicara tentang Kebebasan saat aku sendiri menjadi budak hina dalam cintaku”[22]. Tapi pengalaman pribadi Goldman sebagai kekasih yang ditolak dan diabaikan tidak hadir sebagai kontradiksi, namun justru memberi bobot pada pemikiran dan pernyataan publiknya.

Emma Goldman memberikan orasi terkait kontrol kelahiran.

Dalam sebuah esai berjudul Jealousy yang kemungkinan ditulis pada tahun 1912, Goldman menegaskan bahwa kesedihan mendalam lantaran kehilangan cinta yang mengilhami kebanyakan penyair Romantik, tidak ada hubungannya dengan rasa cemburu, yang hanya membuat orang menjadi marah, dengki dan sedih. Goldman menelusuri akar permasalahannya pada gagasan tentang hadirnya monopoli seks eksklusif yang dimapankan oleh gereja dan negara. Inilah yang mewujud sebagai kode etik kehormatan-diri yang ketinggalan jaman, yang berbasis pada kepemilikan dan pembalasan (sanksi). Itulah juga yang meramu kesombongan laki-laki dan rasa cemburu perempuan. Untuk mengobatinya, pertama, dengan menyadari bahwa tak seorangpun (berhak) memiliki fungsi seksual orang lain. Kedua, dengan membuka diri untuk menerima hanya cinta atau perhatian intim yang diberikan secara sukarela : “Segenap pencinta akan melakukannya dengan indah hanya dengan membuka lebar-lebar pintu cinta mereka”[23]. Dalam sebuah kuliah terbukanya,  berjudul “Kesalahan-kesalahan Fundamental Cinta Bebas”, Goldman membedakan dengan cermat antara kebebasan memilih dalam mewujudkan cinta dengan persetubuhan bebas. Sebagaimana suratnya kepada Reitman pada saat yang sama, “Cinta saya adalah seks, dan juga kasih-sayang, kepedulian, hasrat-gelisah, kesabaran, persahabatan, segalanya….“[24]. Goldman senantiasa punya pandangan yang romantis tentang cinta, ia merayakan “keliaran-bengisnya” sekaligus keindahan idealnya, dan juga sepenuhnya sadar bahwa cinta layaknya sebilah pedang bermata dua.

Namun boleh pula dinyatakan adanya keberatan bahwa sangatlah mudah bagi Goldman untuk mempraktekkan cinta bebas karena dia tidak subur dan menderita penyakit endometriosis. Tapi sebenarnya dia dapat menjalani operasi untuk menyembuhkan penyakit tersebut; dia memilih tidak melakukannya. Sebuah pilihan yang bisa ditanggapi sebagai bentuk sukarela dari kontrol kelahiran. Lebih lanjut, Goldman bukannya tidak memiliki rasa keibuan, sebagaimana yang dia tulis pada Reitman: “Aku menumpahkan naluri keibuan yang mendalam bagimu, bayiku; naluri itu telah menyelamatkan banyak hal dalam hubungan kita”[25]. Namun hal itu tidak mencegahnya untuk kerap menyerang mitos-mitos keibuan dan sembari menegaskan hak pilih bebas bagi setiap perempuan untuk menjadi orang tua. Sebagai tambahan, Goldman berjuang melawan hukum-hukum yang menentang kontrol kelahiran sehingga dia dipenjarakan pada tahun 1916. Sebagaimana dikaji oleh feminis sezamannya, Margaret Anderson, Goldman dipenjara karena menyerukan agar “para perempuan tidak seharusnya selalu tutup mulut dan membuka selangkangnya.”[26]

Goldman menyerukan sebuah masyarakat baru dimana individu-individu bisa membaca, menulis dan menyatakan apa yang mereka inginkan, serta memiliki kesempatan yang sama tanpa membeda-bedakan gender untuk menyadari potensi mereka sepenuhnya. Dia ingin agar perempuan memiliki kontrol penuh atas tubuhnya dan mendapat kesempatan mempraktekkan kontrol kelahiran. Dia berharap perempuan dan lelaki menjadi individu-individu sejati yang menjalani hidup dalam asosiasi sukarela. Dia menuju ke sebuah revolusi yang mengantarkan kepada perubahan internal dan eksternal, komunisme ekonomi serta juga transformasi total dari nilai-nilai.

Kendati pada akhir hidupnya Goldman menyadari bahwa dia -seiring harapan yang semakin pupus- semakin tak bertaut dengan lingkungan sezamannya, namun dia justru berhasil merengkuh penyimak baru yang meluas setelah kematiannya. Pada masa kini,  Goldman dibaca meluas dan dihormati lantaran kritik-kritiknya yang tajam terhadap institusi-institusi yang represif dan seruannya bagi kesempurnaan pemenuhan individu. Dialah perempuan paling berbahaya di Amerika, yang pernah dihina dan ditolak, yang kemudian menjadi sosok pengilham utama feminis modern dan ibu penggagas anarko-feminisme. Ia mengatakan sesuatu yang tersirat dalam sebuah pertemuan anarkis : “Jika aku tidak terdorong untuk menari, maka itu bukanlah revolusiku”. Jika revolusi pada masa berikutnya bersemangat feminis dan libertarian, bisa dipastikan itulah nada-nada favoritnya.

________________________________________________

[1] Lihat Richard Drinnon, Rebel in Paradise: A Biography of Emma Goldman, Chicago: University of Chicago Press, 1982, hal. 9-10

[2] Dikutip dari Alix Kates Shulman, ‘Introduction’, Red Emma Speaks, Wildwood House, 1979, hal. 6

[3] Ibid., hal. 10

[4] Dikutip dari Goldman, Anarchism and Other Essays, penyunting Richard Drinnon, New York: Dover, 1969, hal. 87

[5] Red Emma Speaks, op. cit., hal. 60

[6] Ibid., hal. 102

[7] Ibid., hal. 332

[8] Ibid., hal. 242, 346

[9] Ibid., hal. 360

[10] Ibid., hal. 333

[11] Drinnon, Rebel in Paradise, op. cit., hal. 302

[12] Goldman, ‘Address’ (1937), Red Emma Speaks, op. cit., hal. 385

[13] Goldman kepada Vernon Richards, 10 September 1938, Anarchy 114, Agustus 1970, hal. 246

[14] Goldman, ‘The Individual, Society and the State’, 1940, Red Emma Speaks, op. cit., hal. 87

[15] ‘Was My Life Worth Living?’, Ibid., hal. 392

[16] Ibid., hal. 207

[17] ‘Woman Suffrage’, ibid., hal. 198

[18] ‘The Traffic in Women’, ibid., hal. 194; ‘Jealousy’, Red Emma Speaks, op. cit., hal. 169

[19] ‘Woman Suffrage’, Anarchism, op. cit., hal. 211

[20] ‘What I Believe’, Red Emma Speaks, op. cit., hal. 43

[21] Candace Falk, Love, Anarchy and Emma Goldman, 1985, edisi revisi, New Brunswick: Rutgers University Press, 1990, hal. 45, 50

[22] Ibid., hal. 75

[23] ‘Jealousy: Causes and Possible Cure’, Red Emma Speaks, op. cit., hal. 175

[24] Falk, Love, Anarchy and Emma Goldman, op. cit., hal. 75

[25] Ibid., hal. 54

[26] Dikutip dari Red Emma Speaks, op. cit., hal. 105

Diambil dari terjemahan terbuka Demanding The Impossible karya Peter Marshall, dalam bagian 24 : Emma Goldman, Perempuan yang Paling Berbahaya. Beberapa bagian dihilangkan.

Penyunting: Bima Satria Putra