Baik Senat Maupun Hukum tidak akan Membebaskan Kita: Pernyataan ASL

Kami mereproduksi pernyataan dari rekan-rekan kami di Argentina, Acción Socialista Libertaria (ASL)[1], tentang perjuangan untuk hak aborsi saat ini. Diperkirakan 500.000 aborsi ilegal terjadi setiap tahun di Argentina.[2] Sekitar 80.000 orang setiap tahun dirawat di rumah sakit terkait dengan komplikasi pasca-aborsi dan sering berhadapan dengan hukum sebagai akibatnya. Praktik aborsi tetap ilegal di Argentina kecuali dalam kasus perkosaan atau ketika kehidupan atau kesehatan perempuan terancam tetapi bahkan dalam keadaan tersebut layanan aborsi tetap sulit diperoleh. Pada bulan Juni hingga Agustus 2018 Kongres Argentina mempertimbangkan RUU yang akan melegalkan aborsi hingga 14 minggu usia kehamilan dengan selisih suara yang tipis lolos dalam Majelis Rendah (Chamber of Deputies) tetapi kalah suara di Senat pada 9 Agustus yang lalu. Pernyataan ini sebagai tanggapan terhadap pemungutan suara. #NiUnaMenos Continue reading “Baik Senat Maupun Hukum tidak akan Membebaskan Kita: Pernyataan ASL”

Pervertfobia dalam Gerakan Feminis

oleh Narayana Utara

Beberapa waktu lalu, saya mengikuti aksi Women’s March yang serentak diadakan di beberapa kota di Indonesia. Ada banyak poster dan spanduk yang dibentangkan dalam aksi tersebut, khususnya penolakan terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) berbasis gender. Selain itu ada poster penolakan atas kekerasan seksual, pelecehan seksual, otoritas terhadap tubuh, dan masih banyak lagi poster-poster yang mengangkat isu tentang seksualisme. Namun, ada beberapa poster yang membuat saya berpikir dua kali, atau bahkan lebih. Misalnya poster bertuliskan “bukan baju gua yang porno, tapi otak loe.” Poster tersebut menuduh bahwa otak cabul yang menjadi penyebab terjadinya pelecehan seksual. Ada juga poster yang bertuliskan “baju gue lu urusin, birahi loe dibiarin, yang secara tersirat menyatakan kemarahan karena pakaian perempuan yang disalahkan, sementara birahi laki-laki sudah dapat pemakluman atas terjadinya pelecehan seksual. Atau dengan yang satu ini: “buanglah pikiran kotor pada tempatnya.” Aduh, sayang. Tidak. Jangan. Tidak seharusnya juga kita menghindari pikiran-pikiran kotor yang secara alamiah timbul, tanpa kita memintanya. Biarkan saja dia tumbuh menjadi liar, nikmati saja kemanusiaan ini. Dan satu lagi tak ketinggalan, “jangan jadikan aku bahan coli.” Terus apa yang harus laki-laki bayangkan? “Kuda?” protes salah satu kawanku dari Jogja. Perempuan yang masturbasi pun membayangkan kontol. Terus bagaimana kalau laki-laki yang bilang, “jangan jadikan aku bahan masturbasi.” Lalu kamu mau bayangkan apa? Kontol kuda? Halah, kuda lagi. Sapi kek. Mungkin, karena masih sedikit perempuan yang melakukan masturbasi (atau sebenarnya banyak, hanya saja mereka malu untuk mengungkapkan itu), jadi yang terkenal meluapkan hasrat seksual terhadap dirinya dan imajinasinya hanya laki-laki. Karena laki-laki melakukan masturbasi (dan ini sudah sangat wajar dilakukan laki-laki, dan telah mendapat pemakluman publik), dan sebaliknya tidak bagi perempuan, lalu pada titik inilah para “feminis” menyerang. Continue reading “Pervertfobia dalam Gerakan Feminis”

Asing di Rumah Sendiri: Anarkisme, Feminisme & Masyarakat Adat

oleh Jason Michael Adam[1]

Ketika Gerakan Indian Amerika (AIM) mulai bersatu di akhir 1960-an, tujuan utama dari kelompok swa-organisasi adalah perlindungan orang-orang Indian di perkotaan dari pelanggaran Hak Sipil di tangan polisi, pengadilan dan sistem penjara. Namun, dalam beberapa tahun, AIM dan kelompok afiliasinya dapat mengklaim telah mempengaruhi sejumlah keberhasilan yang jauh lebih besar, termasuk berakhirnya Termination Act,[2] dan adopsi resmi kebijakan penentuan nasib sendiri oleh pemerintah AS, yang dengan demikian mengirimkan gaung secara internasional, menunjukkan bahwa negara-negara koloni tidak dapat lagi secara sederhana menentukan kebijakan tanpa berkonsultasi dengan masyarakat adat sendiri dan memasuki perundingan pemerintah-ke-pemerintah. Apa yang paling memancing rasa ingin tahu tentang pergantian dramatis ini, adalah bagaimana secara radikal ruang yang mana ia berasal dari berbagai jenis klise psikis yang masih secara rutin dimasukkan ke dalam ilmu pengetahuan sosial, khususnya Hubungan Internasional (HI).[3] Meskipun masyarakat adat umumnya terwakili dalam kerja seperti itu sebagai lingkungan pedesaan, yang parokial, ‘di luar jalan’ (yang oleh karenanya tidak relevan dengan politik global), apa yang diabaikan dari gambaran macam itu bukan hanya bahwa pada hari ini sebagian besar penduduk asli Amerika tinggal di lingkungan perkotaan -dan bahwa sebagian besar dari 3 juta orang ini telah memiliki beberapa generasi- tetapi juga bahwa seluruh organisasi modern Biro Kebijakan Indian (BIA) di Amerika Serikat mulai tidak tinggal pada tempat reservasi, tetapi di tempat yang Max Weber gambarkan sebagai situs “menetap bersama antar suku-suku”, ruang di mana “Hubungan Internasional” paling sering terjadi: kota. Continue reading “Asing di Rumah Sendiri: Anarkisme, Feminisme & Masyarakat Adat”

Ekofeminisme dalam Antroposen: Sebuah Kritik

oleh Ni Nyoman Oktaria Asmarani

Durasi baca: +30 menit.

Pada tahun 1975, Rosemary Radford Ruether menulis bahwa perempuan harus menyadari tidak akan ada pembebasan bagi mereka. Tidak akan ada pula solusi terhadap krisis ekologi di dalam masyarakat yang hubungan dasarnya adalah dominasi. Sehingga, mereka harus menyatukan tuntutan gerakan perempuan dengan gerakan ekologi untuk mencapai pembebasan perempuan dan juga membenahi krisis ekologi itu sendiri.[1] Kaum feminis dan para perempuan ahli ekologi kemudian mulai melihat hubungan paralel antara kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan oleh sistem patriarki dengan eksploitasi terhadap Bumi oleh sistem ekonomi kapitalisme. Kesadaran ini timbul karena dalam sistem patriarki, perempuan dan Bumi adalah objek dan properti yang layak dieksploitasi.[2] Melihat latar belakang tersebut maka lahirlah gerakan sekaligus teori yang disebut Ekofeminisme. Continue reading “Ekofeminisme dalam Antroposen: Sebuah Kritik”

Beban Ganda dan Komodifikasi Perempuan dalam Kapitalisme

oleh  

“I got a condo in Manhattan. Baby girl, what’s hatnin? You and your ass invited. So gon’ and get to clappin’. So pop it for a pimp. Pop, pop it for me…. Jump in the Cadillac, girl, let’s put some miles on it. Anything you want, just to put a smile on it….. Gold jewelry shinning so bright… strawberry champagne on ice…… Lucky for you, that’s what I like.” [1](Bruno Mars, That’s What I Like)

Potongan lirik lagu di atas dinyanyikan oleh penyanyi internasional, Bruno Mars. Lagu tersebut mendapatkan penghargaan Grammy Awards 2018 kategori “lagu terbaik”. Di balik keberhasilan awardnya, ada pelanggengan nilai-nilai marginalisasi terhadap perempuan. Kandungan kata dalam liriknya merepresentasikan bentuk seksisme yang menggambarkan tubuh perempuan sebagai komoditi untuk dinikmati dan dikomerialisasikan. Continue reading “Beban Ganda dan Komodifikasi Perempuan dalam Kapitalisme”

Pengumpulan Dana dan Bantuan untuk Kulonprogo

Kawan-kawan di Salatiga dan sekitarnya sedang mengumpulkan bantuan untuk perjuangan petani Temon, Kulonprogo. Beberapa bantuan yang bisa diserahkan antara lain:

  • Masker, kondisi lapangan sangat berdebu;
  • Pembalut menstruasi, jangan sampai kebutuhan perempuan terlupakan, kita harus memulai kondisi darurat dan bencana yang ramah gender;
  • Obat-obatan, jenis apapun dan yang biasa menyerang secara umum dan dapat diakses di apotik atau farmasi terdekat;
  • Bahan makanan, khususnya yang instan;
  • Uang tunai, yang dapat dibelanjakan untuk keperluan apapun yang mendesak selama warga dan relawan di lapangan membutuhkannya.

Barang bantuan juga bisa disalurkan ke Chigue Caffe di alamat Jl. Kartini No.1 (ruko lampu merah) paling lambat hari ini, Minggu 22 Juli 2018 pukul 12.00 WIB.

Memecah Ombak: Menantang Kecenderungan Liberal dalam Anarkis Feminisme

Baca normal: 20 menit.

oleh Romina Akemi dan Bree Busk

Black Rose Anarchist Federation mengirim delegasi untuk berpartisipasi dalam AFem2014, konferensi anarkis feminisme internasional yang dikembangkan oleh komite anarkis yang berorganisasi di Inggris. Tujuan AFEM2014 adalah untuk menantang seksisme dan bentuk-bentuk penindasan lain dalam gerakan anarkis dan untuk menciptakan “ruang yang lebih aman” untuk memulai diskusi seputar pengalaman individu maupun kolektif yang dapat dilanjutkan ke dalam kerja pengorganisiran. Komite konferensi ini berharap bahwa energi yang dihasilkan oleh acara ini akan (1) menghidupkan kembali anarkis feminisme secara keseluruhan, dan (2) direproduksi sebagai serangkaian konferensi yang berkelanjutan yang akan membuat dampak secara global. Jika dilihat dari perspektif ini, AFem2014 adalah perkembangan politik penting yang menyoroti pertumbuhan anarkisme dan kebutuhan untuk memajukan teori dan praktik feminisme di dalamnya. Namun, delegasi Black Rose meninggalkan AFEM2014 dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, dan yang paling utama adalah, “Apa itu anarkis feminisme?” Continue reading “Memecah Ombak: Menantang Kecenderungan Liberal dalam Anarkis Feminisme”

Feminisme Melawan Patriarkat dan Patriot

oleh Bima Satria Putra

Paling tidak sejak Perang Vietnam, sudah lama rasanya gerakan perempuan secara global tidak tampak anti-patriotik seperti hari ini. Sepanjang bulan Juli ini saja, peran gerakan perempuan dalam penghapusan Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) di Amerika sangat besar. Para aktivis perempuan hadir dalam berbagai protes menentang deportasi, menolak pembangunan tembok perbatasan Trump, terlibat dalam berbagai pertempuran jalanan bersama anarkis dan anti-otoritarian lain dalam melawan ultra-kanan, memprotes Islamofobia, serta melakukan aksi langsung di banyak tempat publik, khususnya pendudukan kantor-kantor ICE di berbagai kota besar di perbatasan Amerika-Mexico. Continue reading “Feminisme Melawan Patriarkat dan Patriot”

Lucy Gonzales Parsons

oleh Dwi Nur Akbar

Menantang seksisme pada masanya, Lucy Parson binti Waller, istri salah seorang martir Haymarket, Albert Parsons, adalah salah satu perempuan paling berpengaruh dalam gerakan anarkis maupun buruh Amerika Serikat (AS) di abad ke-19.

Sayangnya, sebagaimana kita tahu, Lucy Parsons yang seorang aktivis afro-amerika pertama dan yang paling penting bagi gerakan kiri AS itu, dokumentasi historis tentang dirinya amatlah minim dijumpai. Sumber yang kredensial barangkali tidak sekaya dan sebanyak bahasan tentang Emma Goldman atau Rosa Luxemburg. Namun bukan berarti sumbangsih dan legasi Lucy kalah penting. Continue reading “Lucy Gonzales Parsons”

Cinta dan Ikatan

oleh Christian Adi Candra

“Saat cemburu

yang membelenggu, cepat berlalu

 Jatuh cinta itu biasa saja”

ERK – Jatuh Cinta Itu Biasa Saja

Sore itu saya dibuat heran dengan video yang teman saya perlihatkan, tentang perempuan yang dicaci-maki seorang istri karena dituduh menggoda suaminya. Masyarakat saat ini biasa menyebutnya pelakor, akronim dari “pencuri laki orang”. Agak lucu bagi saya, dan memuakan sebenarnya. Lalu teman saya bertanya, “siapakah yang salah di kasus ini?” Dengan yakin saya jawab bahwa hubungan percintaan yang mengikatlah yang salah. Continue reading “Cinta dan Ikatan”