oleh Christian Adi Candra
“Saat cemburu
yang membelenggu, cepat berlalu
Jatuh cinta itu biasa saja”
ERK – Jatuh Cinta Itu Biasa Saja
Sore itu saya dibuat heran dengan video yang teman saya perlihatkan, tentang perempuan yang dicaci-maki seorang istri karena dituduh menggoda suaminya. Masyarakat saat ini biasa menyebutnya pelakor, akronim dari “pencuri laki orang”. Agak lucu bagi saya, dan memuakan sebenarnya. Lalu teman saya bertanya, “siapakah yang salah di kasus ini?” Dengan yakin saya jawab bahwa hubungan percintaan yang mengikatlah yang salah.
Saya sendiri pun tak memungkiri bahwa saya juga pernah cemburu, atau berusaha agar tak ada orang lain yang masuk dalam hubungan yang pernah saya jalani. Namun lama kelamaan saya merasa ada yang salah pada perasaan dan perilaku hubungan seperti ini. Ada salah satu teman saya yang pernah berkata, “cemburu itu bukan cinta.” Benar kiranya pernyataan teman saya itu, cemburu hanyalah buah pahit dari rantai kepemilikan. Kejahatan yang paling umum dari kehidupan cinta kita yang dimutilasi adalah kecemburuan, yang seringkali digambarkan sebagai “monster bermata hijau” yang berbohong, menipu, mengkhianati, dan membunuh (Goldman 2017 : 194). Kecemburuan adalah racun bagi cinta, yang datang dari suatu hubungan mengikat yang tak sehat, yaitu hubungan yang menetapkan kepemilikan satu sama lain. Dimana kita berakhir sebagai sebuah objek. Kepemilikan pribadi yang merupakan ciri masyarakat kapital tidak hanya terbatas pada alat-alat produksi, namun juga merambah ke aspek hubungan percintaan.
Pada zaman primitif, dimana manusia belum mengenal kepemilikan pribadi, kecemburuan mungkin tidak ada, karena tidak ada hubungan yang bersifat mengekang. Pada mulanya masyarkat primitif adalah masyarkat yang hidup bersama, masyarkat komunal yang bergantung satu sama lain tanpa ada kepemilikan pribadi. Setelah kepemilikan pribadi muncul, dan institusi-institusi baik negara dan gereja mulai berkuasa atas manusia, hubungan percintaan tereduksi menjadi hubungan yang termonopoli dan ekslusif. Pernikahan yang dimapankan negara dan gereja adalah bentuk hubungan yang menuntut kesetiaan cinta dua orang yang terlibat, dan mengekang kebebasan individu di dalamnya. Pernikahan dan keluarga nyatanya ada dan dipertahankan oleh institusi negara hanya untuk menjaga properti, seperti halnya tentang warisan dan pembagian harta dalam perceraian.
Cinta sendiri bukanlah romansa yang memualkan. Romansa seperti yang ditawarkan televisi melalui sinetron atau telenovela yang menyedihkan, yang menyajikan imaji-imaji atas suatu hubungan ekslusif yang bahagia antar dua orang. Pun ketika dua orang yang dimabuk cinta merasa dipersatukan, itu hanyalah ilusi yang mereka ciptakan sendiri karena doktrin-doktrin tentang hubungan percintaan yang sudah terlanjur diwariskan dari generasi ke generasi. Seperti yang dikatakan Emma Goldman, cinta bukanlah penyatuan dua orang, mereka tetap terpisah, dengan pikiran dan perilaku masing-masing yang berbeda. Mencintai lebih dari satu orang pun bukanlah hal yang aneh, cinta adalah sesuatu yang bebas pergi kemanapun ia mau. Yang saya maksud di sini bukan poligami atau poliandri yang masih sama busuknya dengan hubungan monogami yang mengikat, karena walau hubungan seperti itu adalah hubungan lebih dari dua orang, namun tetap saja terikat pada aturan-aturan negara dan agama yang mengekang kebebasan cinta itu sendiri.
Romansa, sekali lagi, hanya menjadi privatisasi, pembatasan, dan pendistorsian hasrat kita untuk berelasi dengan orang lain dalam cara yang lebih berarti (Reyhard, 2018: 24). Cinta bukanlah romansa, bukan juga martir yang rela mati demi hal yang mengikatnya atau ketaatan seorang hamba yang rela tunduk pada aturan-aturan sang tuan.
Cinta tereduksi bukan hanya soal belenggu yang mengikat orang di dalamnya, namun juga hanya menjadi transaksi jual-beli. Pertimbangan finansial juga mempengaruhi bagaimana orang memilih pasangan. Pertimbangan-pertimbangan yang sama sekali tidak substansif. Misal, berapa gajimu, kendaraan apa yang kau punya, atau pertimbangan-pertimbangan lain yang nyatanya menjadikan pertimbangan seperti ketulusan dan kejujuran cinta itu sendiri menjadi nomor sekian. Kau akan mendapat pasangan yang kau damba dengan syarat, lagi-lagi, finansial. Pola-pola hubungan semacam tadilah yang menghasilkan kesedihan, kehilangan, dan patah hati yang berlarut-larut.
Siapa yang patut disalahkan? Nyatanya orang-orang yang berprinsip demikian hanyalah orang-orang yang berusaha bertahan hidup di dunia yang busuk ini, dengan memilih pasangan kaya sebagai investasi masa depan yang cerah dan gemilang. Satu-satunya yang patut disalahkan adalah kapitalisme dan negara yang melanggengkan hal-hal semacam ini, melalui aturan dan sistem yang mereka ciptakan. Manakala cinta telah lahir sebagai pendorong yang paling kuat dalam mendobrak sekumpulan adat yang mengikat, perkawinan justru malah melayani kepentingan negara dan gereja dengan memberinya kesempatan untuk mencampuri urusan-urusan kita yang paling pribadi (Marshall : 1992). Kapitalisme yang kini menjadi ideologi dominan, memaksa kita mengamini premis utamanya: “berkembang atau mati.” Ini kondisi dimana kita mau tak mau harus mengerjakan sesuatu yang menghasilkan uang guna memenuhi kebutuhn, dan pekerjaan yang tidak menghasilkan uang akan tidak dihargai. Mengaburkan dunia nyata dan membuatnya hanya sebagai dunia tontonan, dimana cinta telah terkomodifikasi dalam ilusi percintaan dunia hiburan komersil, atau dalam iklan obat keputihan yang konon bisa bikin suami lengket.
Begitu pula dengan negara, melalui aturan-aturannya yang memaksa, dan merangsek ke ranah privat orang-orang yang berada di bawah kontrolnya. Terutama di Indonesia, berhubungan seks menjadi legal bila mereka sudah tercatat sebagai suami istri dan diakui negara. Sebaliknya, akan dianggap ilegal atau lebih tepatnya disebut perzinahan jika mereka belum tercatat. Orang bisa ditangkap bila kedapatan berhubungan seks tanpa ada ikatan pernikahan, walau itu dilakukan di ruang privat sekalipun, seperti yang terjadi di berbagai kasus. Hal ini juga yang menjadi legitimasi kasus-kasus persekusi oleh polisi-polisi moral yang tak segan-segan menyeretmu keluar dan mempermalukanmu di tempat umum! Memang, cinta tak sebatas hubungan seksual, namun hubungan seksual itu sendiri bisa merupakan ekspresi dari kecintaan, bentuk dari hubungan yang mutual atas dasar saling menguntungkan secara biologis.
Pada akhirnya, cintailah siapapun yang ingin kau cintai, karena cinta bagaikan anak kecil yang bergembira menyusuri hutan yang menakjubkan, bebas dan bahagia mengamati dan merasakan kebebasan yang alam hembuskan. Cinta adalah kebebasan, tetapi bayaran dari kebebasan adalah kehancuran. Seperti dicontohkan filsuf Jerman Soren Kierkegaard dalam kisah Adam yang masih berada di Taman Firdaus. Ketika kebebasan Adam terenggut oleh aturan yang Tuhan ciptakan untuk tidak memakan buah “Pohon Pengetahuan”, ia harus melanggar aturan itu agar membuktikan kebebasannya, bahkan walau kebebasan itu adalah kehancuran baginya. Karena terkadang, destruksi diri adalah jawabanya! Buktikanlah kebebasan cintamu dengan melepas rantai belenggu romansa tak berguna. Menarilah bersama orang yang kau cintai dengan alunan hujan di sore hari, kecuplah ia dalam gairah yang menggelora laksana para manusia yang merampas kembali kemerdekaannya. Hidupi cintamu dengan nafas kebebasan. Ini hanyalah permulaan sebuah kisah cinta yang bahagia.
Daftar Pustaka
Goldman, Emma. 2017. Ini Bukan Revolusiku: Kumpulan Esai Anarko Feminisme. Salatiga: Pustaka Catut.
Newel, E. Petter. 2015. Komunisme Primitif Hingga Komunisme Libertarian. Daun Malam.
Rumbayan, Reyhard. 2018. Mempersenjatai Imajinasi: Catatan Para Anarkis & Egois 2003-2010. Yogyakarta: Octopus Publishing.
Marshall, Peter. 1992. Demanding the Impossible. Harper Collins.
Artikel dan ilustrasi ini dikerjakan oleh Christian Adi Candra.