oleh Dilar Dirik
“Ketika orang-orang pertama kali datang ke rumah kami beberapa tahun yang lalu dan meminta kami untuk bergabung dalam komune, aku melempari mereka dengan batu agar mereka pergi,” tawa Bushra, perempuan muda asal Tirbespiye, Rojava. Ibu dari dua anak ini adalah pengikut sekte agama ultra-konservatif. Sebelumnya, ia tidak pernah diperbolehkan untuk keluar rumah dan seluruh tubuhnya tertutup kecuali mata.
“Sekarang aku aktif membentuk komunitasku sendiri,” ujarnya dengan bangga dan berseri-seri. “Orang-orang datang kepadaku untuk mencari solusi atas persoalan sosial yang mereka hadapi. Tetapi ketika kamu bertanya, aku bahkan tidak pernah tahu apa itu ‘dewan’ atau apa yang orang lakukan dalam sidang.”
Hari ini, di seluruh dunia, orang-orang memilih bentuk-bentuk alternatif dari organisasi otonom untuk memberi arti bagi kehidupan mereka kembali, untuk merefleksikan hasrat kreatifitas manusia sebagai ekspresi kemerdekaan. Kolektif-kolektif, komune-komune, kooperasi-kooperasi dan gerakan akar rumput tersebut dapat menggambarkan mekanisme pertahanan diri rakyat melawan keganasan kapitalisme, partriarki dan negara.
Di waktu yang bersamaan, banyak dari masyarakat adat, budaya dan komunitas yang menghadapi pengucilan dan marjinalisasi telah berhasil melindungi jalan hidupnya yang komunalis hingga hari ini. Hal ini sangat luar biasa bahwa komunitas-komunitas tersebut dapat melindungi eksistensinya dari dunia di sekeliling yang kerap mengidentikkan mereka dengan terma-terma negatif, seperti “tertinggal”—khususnya oleh negara. Tendensi positivis dan deterministik yang mendominasi historiografi hari ini memandang komunitas-komunitas tersebut aneh, tidak beradab dan ketinggalan zaman. Bernegara dianggap sebagai konsekuensi peradaban dan modernitas yang tak terhindarkan; sebuah tahapan alamiah dalam progres sejarah yang linear.
Tak diragukan lagi bahwa ada sejumlah perbedaan genealogis dan ontologis antara—karena tak ada kata yang lebih baik—komune revolusioner “modern”, dan komunitas organik, natural. Yang pertama membangun kekuatan di antara lingkaran radikal dalam masyarakat kapitalis sebagai perlawanan atas sistem dominan, sementara yang kedua tampil sebagai ancaman atas kekuatan hegemonik dengan cara bertahan hidupnya. Akan tetapi, kita juga tidak bisa menyebut bahwa komune-komune organik tersebut tidak politis, jika dibandingkan dengan komune-komune metropolitan yang memiliki tujuan politik tertentu.
Berabad-abad, bahkan mungkin bermilenium-milenium perlawanan terhadap rezim kapitalis mewujud dalam aksi radikal. Bagi beberapa komunitas, yang secara relatif tak tersentuh oleh situasi global dalam kaitannya dengan karakater, geografi alam atau perlawanan yang aktif, politik komunal adalah semata-mata bagian alamiah dari kehidupan. Itulah mengapa banyak orang di Rojava, sebagai contoh, dimana transformasi sosial radikal sedang berlangsung, menyebut revolusi mereka sebagai “kembali ke asal usul kami” atau “merebut kembali etika sosial kami”.
Sepanjang sejarah, kaum Kurdi mengalami segala bentuk penolakan, penindasan, penghancuran, genosida dan pengasimilasian. Kurdi dikucilkan oleh negara dari dua sisi: tidak hanya menolak mengakui negara mereka, secara simultan mereka juga ditiadakan dari mekanisme struktur negara yang ada di sekeliling mereka. Namun pengalaman tak bernegara juga membantu mereka mempertahankan nilai dan etika sosial, seperti halnya sense of community—khususnya di daerah pedesaan dan pegunungan yang jauh dari kota.
Sampai hari ini, perkampungan suku Kurdi-Alevi memiliki karakter khusus, yakni proses pencarian solusi bersama dan ritual rekonsiliasi untuk konflik sosial dengan berbasis pada pengampunan dan etika yang bermanfaat bagi komunitas. Meski cara hidup tersebut cukup lazim di Kurdistan, ada juga kesadaran untuk membangun sistem politik dengan berpedoman pada nilai-nilai komunal—sistem Konfederalisme Demokratis, dibangun melalui otonomi demokratis dengan komune sebagai jantungnya.
Konfederalisme Demokratis di Rojava
Partai Pekerja Kurdistan (PKK), seperti banyak gerakan pembebasan nasional lainnya, awalnya berpikir bahwa solusi atas kekerasan dan penindasan adalah dengan memebentuk negara merdeka. Akan tetapi, seiring perubahan situasi internasional pasca runtuhnya Uni Soviet, gerakan ini mulai melakukan otokritik mendasar seperti halnya kritik atas dominasi politik sosialis saat itu, dimana perjuangan masih terlalu fokus pada perebutan kekuasaan negara. Menjelang akhir 1990an PKK, di bawah kepemimpinan Abdullah Öcalan, mulai mengartikulasikan alternatif atas negara bangsa dan sosialisme negara.
Setelah mempelajari sejarah Kurdistan dan Timur Tengah, seperti misalnya hakikat kekuasaan, sistem ekonomi dan isu ekologi, Öcalan sampai pada kesimpulan bahwa “persoalan kebebasan” kemanusiaan bukan akibat ketiadaan negara melainkan kemunculan negara. Dalam upaya untuk menumbangkan dominasi sistem yang terlembagakan di seluruh dunia selama 5.000 tahun sebagai sintesis dari patriarki, kapitalisme dan negara bangsa, paradigma alternatif ini justru menjadi kebalikannya, yakni pembebasan perempuan, ekologi dan demokrasi akar rumput.
Konfederalisme Demokratis adalah model ekonomi, sosial dan politik swa-administrasi oleh orang-orang yang beragam, yang dirintis oleh perempuan dan pemuda. Ini merupakan upaya untuk mengemukakan kehendak rakyat senyata-nyatanya dengan melihat demokrasi sebagai metode dibanding sekadar tujuan. Inilah demokrasi tanpa negara.
Seraya menawarkan struktur normatif baru untuk membangun sistem politik berkesadaran, Konfederalisme Demokratis juga menarik organisasi sosial lama yang masih eksis di seluruh komunitas di Kurdistan dan sekitarnya. Model ini mungkin terlihat tidak masuk akal bagi imajinasi kontemporer kita, tetapi hal ini sesungguhnya bergema dengan gairah yang begitu besar untuk menciptakan emansipasi di antara masyarakat yang beragam di wilayah tersebut. Kendati sistem ini sudah diterapkan di Bakur (Kurdistan Utara) bertahun-tahun, di tengah keterbatasan akibat represi Turki, di Rojava (Kurdistan Barat) Konfederalisme Demokratis menjadi kenyataan karena adanya peluang bersejarah yang muncul.
Sistem tersebut meletakkan “otonomi demokratis” tepat di jantungnya: rakyat mengorganisir dirinya secara langsung dalam komune-komune dan membentuk dewan-dewan. Di Rojava, proses ini difasilitasi oleh Tev-Dem, Gerakan Masyarakat Demokratis. Komune dibentuk oleh lingkungan yang secara sadar mengorganisir diri dan menegakkan aspek paling esensial dan radikal dalam praktik demokrasi. Terdapat komite-komite yang bekerja untuk berbagai isu seperti perdamaian dan keadilan, ekonomi, keamanan, pendidikan, perempuan, pemuda dan pelayanan publik.
Setiap komune mengirimkan delegasi terpilih ke dewan-dewan. Dewan kampung mengirim delegasinya ke kota, dewan kota mengirim delegasinya ke kota yang lebih besar, dan seterusnya. Setiap komune merupakan entitas mandiri, namun mereka terhubung satu sama lain melalui struktur konfederal yang bertujuan untuk koordinasi dan melindungi kepentingan publik. Ketika permasalahan tak bisa diselesaikan di level bawah, atau melampaui urusan dewan di tingkatan terendah, mereka mendelegasikannya ke tingkatan berikutnya. Instansi yang “lebih tinggi” haruslah akuntabel terhadap yang “lebih rendah” serta melaporkan setiap keputusan dan tindakannya.
Ketika komune menjadi ruang untuk mengatur dan memecahkan persoalan hidup harian, dewan-dewan membuat rencana tindakan dan kebijakan demi kohesi dan koordinasi. Pada awal revolusi dan di wilayah yang baru terbebas, majelis pertama-tama bertugas untuk mendirikan dewan-dewan rakyat dan kemudian mulai membangun struktur organisasi akar rumput yang lebih desentralistik dalam bentuk komune-komune.
Komune-komune tersebut bekerja demi menuju masyarakat “moral-politis” yang dibangun oleh individu-individu sadar yang memahami bagaimana memecahkan persoalan sosial dan mengurus swa-pemerintahan harian sebagai tanggungjawab bersama, daripada menyerahkannya kepada elit birokrasi. Semua itu bersandar pada kerelawanan dan partisipasi bebas warga, sebagai perlawanan terhadap pemaksaan dan hukum sepihak.
Tentu sulit membangun masyarakat yang berkesadaran dalam rentang waktu yang singkat, terlebih dalam situasi perang, embargo, mental dan struktur despotik kuno yang terlembagakan dan menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan serta pola pikir apolitis. Sebuah sistem pendidikan alternatif, yang diorganisir melalui sekolah-sekolah, bertujuan untuk mendorong mentalitas sosial yang sehat, sedangkan swa-organisasi praktis mereproduksi masyarakat berkesadaran dengan memobilisasinya di setiap lapisan kehidupan.
Perempuan dan pemuda mengorganisir diri secara otonom dan mewujudkan dinamika sosial yang secara alamiah cenderung mengarah pada demokrasi dan lebih sedikit hierarki. Mereka memosisikan diri “ke kiri” dari model otonomi demokratis dan merancang bentuk baru dari produksi dan reproduksi pengetahuan.
Hari ini, kekuatan gerakan pembebasan Kurdi terbagi secara merata antara perempuan dan laki-laki, dari Qandil ke Qamishlo hingga Paris. Gagasan di balik prinsip co-chair adalah bersifat simbolis dan praktis—demi desentralisasi kekuasaan dan mendorong pencarian kesepakatan bersama sekaligus menyimbolkan harmoni antara perempuan dan laki-laki. Hanya kaum perempuan yang berhak memilih co-chair perempuan, sementara co-chair laki-laki dipilih oleh semua anggota. Para perempuan mengorganisir dirinya, menjadi lebih kuat, lebih sadar secara ideologis menuju konfederasi perempuan, dimulai dengan komune perempuan otonom.
Prinsip Kesatuan Demokratis
Prinsip penting lainnya yang diartikulasikan oleh Öcalan adalah “kesatuan demokratis”. Tidak seperti negara bangsa dengan doktrin monismenya, yang mencari pembenaran melalui mitos chauvinistik, konsep ini mengimpikan sebuah masyarakat yang berbasis pada kontrak sosial dan prinsip etika nan fundamental seperti kesetaraan gender. Dengan demikian, setiap individual dan kelompok, etnik, agama, bahasa, gender, identitas intelektual maupun tendensi lainnya bisa mengekspresikan diri mereka secara bebas serta memperkaya keberagaman dalam pengembangannya, kesatuan berbasis etika adalah cara untuk menjaga agar demokratisasi tetap ada. Kelompok dan golongan yang lain juga bertugas untuk mendemokratisasikan diri mereka dari dalam.
Di Rojava, orang-orang Kurdi, Arab, Kristen Suriah, Armenia, Turki dan Chechnya mencoba membangun kehidupan baru bersama-sama. Logika yang sama yang mendasari proyek Partai Rakyat Demokratik, atau HDP, di perbatasan Turki. HDP mempersatukan semua komunitas Mesopotamia dan Anatolia di bawah payung “kebersamaan yang bebas” dalam sebuah kesatuan yang demokratis.
Perwakilan HDP di parlemen pun terdiri dari orang-orang Kurdi, Turki, Armenia, Arab, Suriah, Muslim, Alevis, Kristen dan Yazidi—sungguh keberagaman yang luar biasa dibandingkan partai-partai lain dalam Parlemen Turki. Dibandingkan dengan monopoli ideologi negara bangsa, konsep dari kesatuan demokratis digunakan sebagai sebuah mekanisme pertahanan diri ideologis dari berbagai masyarakat.
Meskipun terdapat begitu banyak ragam komunitas yang terlibat secara aktif dalam revolusi Rojava, dendam lama masih tetap hidup. Seluruh konfederasi suku Arab menyatakan dukungan mereka terhadap tata kelola yang demikian, namun untuk beberapa hal, kelompok Arab masih dicurigai. Dokumen intelijen mengungkapkan bahwa sejak awal 1960an, partai Baath Suriah telah membuat rencana canggih untuk mengadu domba komunitas satu dengan yang lain, terutama di Cizire. Di atas ketegangan yang sudah terjadi, kekuatan eksternal tersebut menambah bahan bakar dan merekayasa konflik antarkomunitas demi melanjutkan agenda mereka. Kekokohan persatuan antara kelompok etnis dan relijius di Suriah, dan di Timur Tengah secara umum, akan membuat upaya adu domba dan kontrol atas wilayah tersebut semakin sulit.
Seorang anggota suku Arab di pemerintahan Rojava menjelaskan mengapa model demokratis ini mendorong terbentuknya kelompok politik baru di wilayah tersebut dan sekitarnya:
Sistem otonomi demokratis di tiga kanton kami telah menggemparkan dan membuat marah seluruh dunia karena sistem kapitalis tidak menginginkan adanya kemerdekaan dan demokrasi di Timur Tengah, kendati kami menginginkannya. Itu mengapa semua pihak menyerang Rojava. Dua negara dengan tampilan yang berbeda, Republik Arab Suriah di bawah Assad dan Negara Islam merupakan contoh dari dua sisi mata uang, mereka menolak dan berusaha menghancurkan keragaman mosaik di wilayah ini. Kini semakin banyak orang Arab dari Suriah datang ke Rojava untuk belajar otonomi demokratis karena mereka melihat sebuah perspektif kemerdekaan di sini.
Sebuah Visi Ekonomi dan Politik Alternatif
Sistem efektif swa-organisasi, dikombinasikan dengan banyaknya embargo, membutuhkan kemandirian dan dengan demikian akan terus mengasah kreatifitas, membebaskan Rojava dari korupsi ekonomi melampaui mindset internal kapitalis atau eksploitasi eksternal. Namun sebagai langkah mempertahankan nilai-nilai revolusioner dari sekadar perang, penyesuaian visi ekonomi diperlukan demi keadilan sosial, ekologis, ekonomi feminis yang dapat mengatasi persoalan penduduk yang menderita kemiskinan, trauma dan teraniaya.
Bagaimana cara mengajak orang-orang kaya, yang tidak peduli dengan kerjasama, dan mencegahnya menjadi bagian dari otoritarianisme? Bagaimana membangun prinsip kebebasan dan emansipasi dalam situasi perang dan ekonomi bertahan? Bagaimana mendesentralisasi sumber daya ekonomi sembari menjamin keadilan dan kohesi revolusioner? Bagi orang-orang di Rojava, jawabannya ada pada pendidikan.
“Apa makna ekologi bagimu?” seorang perempuan di akademi perempuan Ishtar di Rimelan bertanya pada rekannya dalam sebuah ruangan yang dihiasi dengan foto-foto pejuang perempuan seperti Sakine Cansiz dan Rosa Luxemburg. Seorang perempuan yang lebih tua dengan tato tradisonal di tangan dan mukanya menjawab: “Bagiku, menjadi ibu adalah ekologis. Hidup bersahaja dengan alam dan komunitas. Seorang ibu tahu cara terbaik bagaimana merawat dan mengatur kebersahajaan tersebut.” Mungkin ini pertanyaan soal ekologis yang mengilustrasikan dengan jelas dilema yang terjadi di Rojava yang memiliki prinsip dan tujuan dan kehendak untuk berkorban, namun kondisinya seringkali tak mendukung untuk dapat menerapkannya. Alasannya, bertahan hidup seringkali lebih penting daripada soal lingkungan hidup.
Untuk sementara, setidaknya, sangat mungkin untuk bicara sistem transisi ganda dimana swa-administrasi demokratis Rojava telah membentuk prinsip ekologis dan revolusioner, yang dengan hati-hati disiasati dalam perang dan politik riil, sementara gerakan akar rumput mengorganisir diri dari bawah. Di level kanton, terutama yang terkait dengan isu kebijakan luar negeri, praktik sentralis atau non-revolusioner tak dapat dielakkan, khususnya karena Rojava secara politis dan ekonomis berada di posisi yang sulit dan terombang-ambing. Inilah sistem otonomi demokratis yang muncul dari bawah yang secara umum dirujuk oleh orang-orang ketika mereka bicara tentang “revolusi Rojava”.
Dinamika desentralisasi organisasi akar rumput, terutama di level komune, bahkan berfungsi sebagai oposisi internal untuk kanton-kanton dan belakangan memfasilitasi proses demokratisasi yang, karena rumitnya geopolitik—terlebih karena dibatasi oleh partai-partai non-revolusioner dan kelompok-kelompok di dalamnya—cenderung mengarah kepada konsentrasi kekuasaan (meskipun kanton, saat ini, masih jauh lebih desentralistik dan demokratis daripada negara-negara biasa).
Yang jauh lebih penting dibanding mekanisme mana yang lebih tepat bagi rakyat, adalah makna dan dampak dari otonomi demokratis bagi rakyat itu sendiri. Jika saya harus mendeskripsikan tentang “demokrasi radikal”, saya akan berpikir tentang kelas pekerja, pun kadang para perempuan buta huruf yang memilih untuk mengorganisir dirinya ke dalam komune-komune dan membuat politik sebagai bagian dari hidup. Tawa dan permainan anak-anak, kokok ayam, suara kursi plastik yang bergeser menjadi melodi, menghiasi waktu-waktu saat kebijakan jam pemakaian listrik dan sengketa lingkungan dibuat. Satu hal yang perlu dicatat bahwa struktur tersebut berfungsi lebih baik di area perkampungan dan lingkungan yang lebih kecil daripada di kota besar yang kompleks, dimana dibutuhkan usaha yang lebih keras untuk melibatkan banyak orang. Di sini, kekuasaan menjadi milik orang-orang yang tidak berpunya dan sekarang mereka menulis sejarahnya sendiri.
“Kamu ingin melihat sayur-sayuran kami?” ujar Qadifa, seorang perempuan Yazidi yang bertanya padaku di pusat gerakan perempuan, Yekitiya Star. Ia terlihat tidak cukup tertarik untuk menjelaskan mengenai sistem baru ini, ia lebih bersemangat untuk menunjukkan buah-buahannya. Kami melanjutkan obrolan seputar transformasi kehidupan harian di Rojava sambil menikmati tomat yang nikmat hasil kooperasi perempuan di halaman belakang.
Penentuan nasib nasib sendiri sedang berlangsung di Rojava, dalam praktik keseharian. Ribuan perempuan seperti Qadifa, sebelumnya sungguh-sungguh terpinggirkan, tak dilihat dan tak bisa bersuara, kini mereka memegang posisi penting dan turut membentuk masyarakat. Hari ini, di pagi hari, untuk pertama kalinya mereka bisa memanen tomat mereka di tanah yang dahulu diduduki oleh negara selama berdekade, lalu kemudian menjadi hakim di pengadilan rakyat pada siang harinya.
Banyak keluarga yang mendedikasikan diri mereka secara utuh untuk revolusi; terutama mereka yang kehilangan orang-orang tercinta. Rumah-rumah warga perlahan mulai difungsikan sebagai rumah bersama (“mala gel”) untuk mengkoordinir kebutuhan warga; mereka saling mengunjungi satu sama lain bersama anak-anaknya untuk membahas atau berdiskusi atau memberi ide tentang bagaimana memperbaiki kehidupan baru mereka. Topik orbrolan makan malam telah berganti. Isu sosial secara harfiah menjadi begitu sosial, dengan menjadi tanggungjawab setiap orang. Setiap anggota komunitas menjadi pemimpin.
Transisi perlahan dalam pengambilan keputusan sosial adalah buah dari usaha demi membangun sebuah masyarakat moral-politik baru. Bagi orang-orang yang berasal dari negara-negara kapitalis mapan keterlibatan langsung seperti ini akan terlihat menyeramkan, terutama ketika hal-hal penting seperti hukum, pendidikan dan keamanan kini berada di tangan masing-masing orang, alih-alih menyerahkannya pada aparatus negara yang tidak dikenal.
Warisan Perlawanan Komune
Suatu malam aku duduk di dekat Tell Mozan, dekat Urkesh, ibukota kuno suku Hurrians yang berusia 6.000 tahun. Di dekatnya adalah batas antara Turki dan Suriah, yang berusia kurang dari satu abad. Saat minum teh bersama Meryem, komandan perempuan Kobane, kami melihat cahaya dari kota Mardin di Kurdistan Utara, di sisi lain batas.
“Kami bertempur atas nama setiap komunitas yang tertindas, dari seluruh perempuan, untuk setiap lembar halaman yang tak pernah tertulis dalam sejarah,” katanya. Meryem adalah satu dari banyak perempuan yang di masa mudanya sempat bertemu dengan Abdullah Öcalan, ketika ia tiba di Rojava pada 1980an. Seperti ribuan perempuan lainnya, demi mencari keadilan melampaui dirinya sendiri, suatu hari ia memutuskan untuk menjadi pejuang kemerdekaan di wilayah ini dimana pada saat yang bersamaan menjadi rumah bagi ribuan pengurbanan dan ribuan dewa-dewi, pemujaan dalam berbagai bentuk dan ukuran.
Apa yang menarik gerakan anti-sistem di seluruh dunia pada perlawanan bersejarah di Kobane adalah mungkin satu dari banyak cara untuk memahami pertahanan kota yang mencerminkan ribuan tahun arus perjuangan umat manusia; cara-cara yang mengandung nilai-nilai universal yang bergema bersama imajinasi kolektif dunia yang berbeda. Banyak pula yang membandingkannya dengan Komune Paris, Perang Stalingrad, Perang Sipil Spanyol dan dongeng-dongeng perjuangan rakyat lainnya.
Di ziggurats Sumeria, sebuah kompleks kuil besar pada zaman Mesopotamia kuno, banyak mekanisme hierarkis mulai dilembagakan untuk pertama kalinya: patriarki, negara, perbudakan, tentara dan kepemilikan pribadi—awal dari pembentukan masyarakat kelas. Era ini membawa perpecahan sosial yang lebih luas yang ditandai dengan hilangnya status sosial perempuan dan munculnya dominasi laki-laki, khususnya pendeta laki-laki, yang merampas monopoli pengetahuan. Tapi di masa ini juga amargi, istilah pertama yang digunakan untuk konsep kebebasan, secara harfiah “the return to mother”, muncul sekitar 2.300 sebelum masehi.
Öcalan mengajukan dua ide tentang peradaban: ia menyatakan bahwa menjelang akhir Zaman Neolitik bersamaan dengan kemunculan struktur hierarkis di era Sumeria kuno peradaban berkembang berdasarkan hierarki, kekerasan, penaklukan dan monopoli—“arus utama” atau “peradaban dominan”. Sebaliknya, apa yang ia sebut sebagai “peradaban demokratis” merupakan perjuangan bersejarah kaum terpinggirkan, tertindas, miskin dan disingkirkan, terutama kaum perempuan. Konfederalisme Demokratis oleh karena itu merupakan manifestasi dan produk politik dari peradaban demokrasi kuno ini.[]
Penulis adalah aktivis perempuan Kurdi dan kandidat PhD Departemen Sosiologi Universitas Cambridge. Ia meneliti tentang peran perjuangan perempuan dalam mengartikulasikan dan membangun kemerdekaan di Kurdistan. Ia juga rutin menulis mengenai gerakan pembebasan Kurdi untuk sejumlah media internasional. Judul asli “Building Democracy without the State”, pertama kali diterbitkan Roarmag, diterjemahkan oleh Ferdhi F. Putra di anarkis.org kemudian diterbitkan ulang di AFFC Indonesia. Baca juga tulisan lain terkait pembebasan perempuan di Rojava, Suriah Utara dalam tulisan “Revolusi Paling Feminis yang Pernah Dilihat Dunia.”