oleh Romina Akemi
Pada tanggal 8 Mei 2017, gabungan kolektif Intersectionality NOW berbasis di LA menyelenggarakan sebuah acara di Women’s Centre for Creative Work yang bertajuk Feminis Melawan Kapitalisme (Feminist Against Capitalism). Para peserta panel termasuk Miranda Sklaroff dari Democratic Socialists of America (DSA) Left Kaaucus, Solîn Bendewa yang merupakan editor untuk platform media sosial The Middle Eastern Feminist, Romina Akemi dari Black Rose Anarchist Federation, dan dimoderatori oleh Karlynne Ejercito dari Jacobin Reading Group. Sklaroff berbicara secara rinci tentang sebuah makalah yang baru-baru ini dia tulis tentang Universal Basic Income (UBI), sebagai tuntutan strategis bagi feminis. Bendewa mendiskusikan pengalaman pengorganisasian mereka dengan Serve the People di LA Timur. Berikut adalah naskah ceramah oleh Romina Akemi yang merupakan pendidik dan militan feminis anarkis di LA dan Santiago, Cile.
Panel “Feminisisme Melawan Kapitalisme”
Acara yang diselenggarakan oleh Intersectionality NOW
Di Women’s Centre for Creative Work
8 Mei 2017
Saya ingin memulai dengan mengucapkan terima kasih pada Intersectionality NOW untuk mengkoordinasikan acara ini dan Women’s Center di Highland Park untuk menyediakan forum diskusi ini. Saya juga merasa terhormat diminta untuk berbicara mengenai masalah ini, mengapa kita perlu memiliki perspektif kelas pekerja dalam feminisme kita. Akhir-akhir ini saya menyadari bahwa saya telah mengabdikan sebagian besar hidup saya untuk mengorganisir di antara perempuan kelas pekerja, kebanyakan pekerja garmen, dan telah aktif di kalangan revolusioner, namun tidak pernah diminta untuk berbicara mengenai masalah ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah melihat feminisme tumbuh dalam dialog publik, dengan fokus pada kasus serangan seksual dan upaya untuk meminta pertanggungjawaban pelaku. Sebagian besar kasus diungkap oleh siswa SMA dan mahasiswa, dan tidak mengejutkan karena dua alasan. Pertama, sekolah menengah dan kampus telah menjadi fokus aktivisme feminis dan queer, contohnya melawan budaya pemerkosaan (rape culture) dan heteronormativitas (keyakinan bahwa orang-orang ditakdirkan ke dalam jenis kelamin yang berbeda dan saling melengkapi, laki-laki dan perempuan dengan peran alami masing-masing dalam masyarakat) di lingkungan institusional mereka. Kedua, statistik menunjukkan bahwa mayoritas pengguna media sosial adalah perempuan, berusia di bawah 30 tahun dengan pendidikan tinggi yang berpenghasilan lebih dari $75.000.[1] Ini bukan berarti mengatakan bahwa lelaki dan perempuan miskin dengan pendidikan nonformal tidak berpartisipasi dalam media sosial karena mereka memang hadir, namun suaranya kurang dominan. Karena itu, cenderung ada ketidakseimbangan dalam wacana publik tentang bagaimana menerapkan feminisme atau pengakuan terhadap banyak feminisme. Selanjutnya, hal ini selanjutnya diabadikan oleh gagasan bahwa kelas tidak dianggap sebagai penghalang sosial di masyarakat AS, walaupun mobilitas sosial telah menurun; atau seperti artikel yang berjudul akurat oleh The Atlantic menyatakan, “Miskin di (umur) 20, Miskin untuk (melanjutkan) Hidup.”[2]
Kelas sosial merupakan faktor penentu baik laju maupun alasan bagaimana perempuan mengalami kekerasan gender dan femicide (pembunuhan terhadap perempuan, khususnya oleh seorang lelaki dan karena jenis kelaminnya perempuan). Sementara kampus telah mendapat banyak perhatian, secara statistik seorang perempuan lebih cenderung diserang secara seksual jika dia atau mereka miskin. Menurut sebuah studi yang menggunakan data dari “Survei Korban Kejahatan Nasional Departemen Kehakiman”, dinyatakan bahwa 6,1 per 1.000 mahasiswa diserang secara seksual, sementara 8 per 1.000 perempuan berpendidikan non-perguruan tinggi diserang. Ini berarti bahwa perempuan kelas pekerja memiliki kemungkinan 30 persen lebih besar untuk diserang. Studi tersebut selanjutnya mengatakan, “perempuan di kelompok berpenghasilan terendah, dengan pendapatan rumah tangga tahunan kurang dari $7.500, secara seksual menjadi korban sebesar 3,7 kali tingkat perempuan dengan pendapatan rumah tangga sebesar $35.000 sampai $49.999, dan sekitar enam kali tingkat perempuan di kelompok berpenghasilan tertinggi (rumah tangga berpenghasilan $75.000 atau lebih setiap tahun).” Kepemilikan rumah adalah contoh lain bagaimana keuntungan ekonomi berfungsi untuk melindungi perempuan dari kekerasan seksual. Perempuan yang tinggal di properti sewaan secara seksual menjadi korban 3,2 kali tingkat perempuan yang tinggal di rumah milik mereka atau anggota keluarga mereka sendiri … perempuan lajang dengan anak-anak yang tinggal di rumah memiliki tingkat korban seksualitas tertinggi.”[3] Studi lain tentang pekerja tani di California menyatakan bahwa antara 80-90 persen pekerja tani perempuan melaporkan kekerasan seksual dari mandor atau rekan kerja mereka.[4] Jika Anda memasukkan femicide dalam analisis ini, Anda akan mendapati bahwa perempuan Amerika Asli (Native American) yang hidup di reservasi (sebutan hukum untuk area yang dikelola oleh suku asli Amerika yang diakui negara federal di bawah US Bureau of Indian Affairs) dan perempuan kulit hitam yang miskin adalah yang paling rentan.[5] Jika termasuk profesinya, pekerja seks – khususnya pekerja seks trans – dibunuh dengan angka yang lebih tinggi. Bahkan ketika perempuan mengalaminya dan mereka memahaminya sebagai serangan mereka dihubungkan dengan kelas sosial tempat mereka berada.[6] Menurut seorang peneliti yang mewawancarai perempuan dari kelas sosial yang berbeda, mereka mencatat bahwa perempuan kelas menengah menggambarkan kekagetan bahwa mereka diserang, sementara perempuan kelas pekerja cenderung merasionalisasi pengalaman tersebut sesuai perkiraan. Kelas dan ras juga menjadi beban berat bagaimana kekuasaan institusional memperlakukan para korban serangan dan femicide. Namun bukan bermaksud untuk mengadu korban dengan survivor kelas pekerja, namun untuk menghadapi normalisasi (menganggap normal) kekerasan patriarki di rumah kita, di jalanan, dan di tempat kerja kita, kaum feminis perlu mengembangkan wacana dan tuntutan yang mewakili realitas orang-orang yang paling terkena dampaknya. Dan juga akan menyoroti jenis feminisme yang sedang kita perjuangkan.
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah feminisme (kulit) putih telah digunakan untuk mengkritik supremasi kulit putih dan, kadang-kadang, digunakan secara saksama untuk menyoroti kelasisme, transfobia, dan keistimewaan di AS. Namun, seseorang juga bisa sadar akan penindasan tersebut dan menentang rasisme, heteronormativitas, dan ketidakadilan yang diproduksi oleh masyarakat kelas, dan tetap mendukung kapitalisme sebagai tatanan alami organisasi sosial manusia yang kita sebut liberalisme. Istilah tersebut, saya katakan, tidak cukup untuk menyoroti ketidaksepakatan kami dengan feminisme Ivanka Trump dan Sophia Amoruso (memproklamirkan diri sebagai Bossgirl).[7] Meskipun orang menyadari bahwa para selebriti mengumpulkan kekayaan yang sangat besar dan merupakan peserta aktif dalam penyebaran imperialisme budaya, mereka sering digambarkan sebagai individu yang tidak mewakili kelas sosial dan bisa bersikap bodoh seperti kita. Namun, tidak hanya mereka mendapat keuntungan dari eksploitasi kapitalis tapi mereka juga adalah wajah dari brand kapitalisme. Sebagai salah satu kontributor The Guardian mencatat, “Selebriti yang paling sering Anda lihat adalah produk yang paling menguntungkan, dikeluarkan melalui media yang diinginkan oleh industri pemasaran yang kekuatannya tidak ada yang mau memeriksa.”[8]
Poin pengantar terakhir adalah mengapa saya memilih anarkis-komunisme sebagai rumah politik saya. Komunisme menggarisbawahi organisasi sosial masa depan yang saya dukung, sementara anarkisme menggarisbawahi baik politik prefiguratif maupun horizontal yang saya tekankan. Secara praktis, ini berarti bahwa Black Rose Anarchist Federation adalah organisasi politik saya yang memungkinkan saya untuk merefleksikan dan bertukar pengalaman dengan rekan-rekan terdekat saya, sementara aktivitas politik saya didasarkan pada gerakan sosial, baik di tempat kerja saya sebagai pendidik atau di bidang arena sosial sebagai aktivis feminis. Black Rose secara ideologis diposisikan sebagai especifista – yang berarti bahwa kita berpikir bahwa organisasi anarkis yang spesifik diperlukan untuk mengembangkan arus politik anarkis komunis di dalam kelas pekerja – dan kita secara taktis berkomitmen terhadap penyisipan sosial yang berfokus pada penguatan kekuasaan rakyat (popular power) dan pengorganisasian otonom. dalam gerakan sosial kelas pekerja.[9] Kami skeptis secara politis terhadap organisasi nirlaba, menghindari mengambil posisi berkuasa yang membuat kita langsung daripada bertarung bersama rekan kerja kita. Dan, di atas segalanya, kita menganggap negara-bangsa tidak menjadi entitas yang mudah dibentuk, namun sebuah institusi abad kesembilan belas yang diciptakan untuk melindungi kepemilikan pribadi dan tata pemerintahan yang efisien oleh kelas kapitalis. Saya tidak dapat memperluas masalah ini lebih lanjut karena hal itu akan membawa kita pada sebuah perdebatan tentang “Reformasi atau Revolusi” atau apakah negara dapat melenyapkan dirinya.
Hari ini saya berencana untuk berbicara tentang taktik dan strategi dari feminis Amerika Latin yang telah menggembleng feminisme ke dalam arena gerakan sosial, menempatkan kelas pekerja sebagai basis politik mereka. Pertama-tama perlu untuk memberikan beberapa latar belakang politik tentang kekhasan historis dari pengalaman Amerika Latin yang telah berkontribusi pada arus feminis mereka. Contohnya saya akan berkonsentrasi di Amerika Selatan, karena itulah area yang paling saya kenal.
Di luar dunia Barat, kebanyakan perempuan yang memperjuangkan kesetaraan sosial tidak jatuh ke dalam gelombang feminis. Perjuangan untuk hak pilih juga merupakan fenomena awal abad ke-20 di Amerika Latin, namun, banyak negara tidak memberikan hak pilih sampai pertengahan abad karena kekhawatiran laki-laki liberal bahwa perempuan terlalu saleh dan konservatif, dan akan lebih memilih untuk kepentingan Gereja Katolik. Setelah Revolusi Kuba 1959, gerakan revolusioner menyebar seperti api di seluruh benua, menyebabkan kekhawatiran AS dengan membentuk organisasi intervensionis seperti Peace Corps (yang berfungsi di bawah Departemen Kehakiman) dan program kontra intelijen yang dipimpin oleh CIA. Munculnya gerakan gerilya komunis dan organisasi politik mencerminkan radikalisasi generasi. Dimulai pada akhir 1960-an dan sampai tahun 1970an, pemerintah AS mengkoordinasikan dan mendanai penggulingan pemerintah dan memasang kediktatoran militer yang menyebabkan ribuan orang radikal disiksa dan hilang.[10] Di Chile, sekitar 3.000 orang hilang dan di Argentina jumlah yang dipersengketakan adalah antara 10-30.000 orang. Dalam kasus Argentina, penghitungan orang-orang tercinta yang hilang terbukti sulit karena ribuan orang hilang dengan cara memberi mereka obat-obatan terlarang dan melemparkannya dari helikopter ke Rio de la Plata. Angka-angka ini tidak menghitung ribuan orang yang disiksa dan trauma psikologis yang mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan yang terus berlangsung sampai hari ini. Menurut feminis Chile, Julieta Kirkwood, kediktatoran militer adalah perwujudan patriarki. Beberapa perempuan yang dipaksa diasingkan secara politik melanjutkan militansi politik mereka. Dalam kasus Italia, para perempuan yang diasingkan di sana terinspirasi oleh Lotta Femminista (Feminist Struggle), sebuah organisasi feminis kelas pekerja yang bekerja dengan gerakan Upah untuk Pekerjaan Rumah Tangga. Dalam beberapa hal, organisasi tersebut menghancurkan anggapan mereka bahwa feminisme hanyalah gerakan kelas menengah atau elit. Mereka merefleksikan pengalaman mereka dalam arus revolusioner dan bagaimana mereka harus bersembunyi atau dibungkam saat mereka mencoba mengekspos kekerasan patriarkal.[11] Tetapi bahkan dengan gerakan feminisme yang lebih terlihat saat itu di Italia, masih ada ruang minimal untuk menghadapi kekerasan gender. Dalam beberapa hal, pengalaman semacam itu mencerminkan perempuan dalam organisasi politik berbasis AS dalam gerakan Black Power dan Chicano, serta organisasi komunis dalam era yang sama.
Maraknya feminisme sebagai arus sosial sejak awal hingga pertengahan tahun 2000an sebagian besar merupakan hasil dari pendalaman kebijakan neoliberal, dan bangkitnya kembali gerakan sosial yang belum pernah terlihat sejak akhir 1960-an dan awal 1970-an, dan penyebaran teori feminis dan queer. Ada beberapa kenyataan yang harus dicatat: adanya aborsi ilegal di Amerika Latin (kecuali Puerto Riko, Kuba, dan Uruguay) dan merupakan penyebab utama kematian ibu, dan Amerika Latin menyumbang lebih dari setengah statistik global soal femicide (dengan Amerika Tengah dan Karibia dengan tingkat per kapita yang lebih tinggi).
Pergeseran pertama yang saya perhatikan terjadi di Argentina beberapa tahun setelah runtuhnya ekonomi Argentina pada bulan Desember 2001. Sejak 1983 (kembalinya demokrasi), ada sebuah konferensi perempuan tahunan yang disebut Encuentro de Mujeres yang mengumpulkan sekitar 1.000 perempuan. Kebanyakan akademisi, profesional, pelajar, dan militan revolusioner. Pada tahun 2003, dua tahun setelah keruntuhan ekonomi, jumlah peserta melonjak dari 1.000 menjadi 10.000. Jika Anda melihat foto konferensi, Anda dapat melihat kehadiran tinggi perempuan kelas pekerja; banyak yang memakai serikat pekerja atau organisasi (khusus) pengangguran mereka. Dalam beberapa tahun lagi jumlahnya melonjak menjadi 30.000, yang saat ini rata-rata sebagai jumlah peserta tahunan. Saya belajar, dari mengikuti gerakan-gerakan ini, bahwa selama pertemuan feminis di awal tahun 80an, feminis Amerika Latin memutuskan untuk menandai tanggal 28 September sebagai Hari untuk Menghapus Kriminalisasi Aborsi di Amerika Latin dan Karibia; dan 25 November sebagai Hari Melawan Kekerasan Terhadap Perempuan (sebuah tanggal yang secara bersamaan memperingati pembunuhan Suster Mirabal di bawah kediktatoran Rafael Trujillo). Tanggal ini, bersamaan dengan tanggal 8 Maret, telah menjadi jangkar untuk mengkoordinasikan irama perjuangan dan tuntutan sosial.
Seruan untuk legalisasi aborsi meledak di Southern Cone (wilayah Amerika Selatan terdiri dari negara-negara Brasil, Paraguay, Uruguay, Argentina, dan Cile) sekitar tahun 2007, kemudian meningkat dari tahun ke tahun. Momentum ini menyebabkan legalisasi aborsi di Uruguay pada tahun 2014 dan diskusi kongres di Chile untuk membolehkan aborsi dalam kasus pemerkosaan, inses atau jika dalam kasus nyawa perempuan berada dalam bahaya. Cile dan El Salvador memiliki undang-undang aborsi yang paling ketat, mengkriminalisasi dalam segala situasi. Ada perempuan di seluruh benua yang menjalani hukuman karena gangguan kehamilan. Banyak dari Anda juga telah mendengar berapa banyak negara di Amerika Latin, termasuk Argentina, telah melewati undang-undang identitas yang progresif dimana memungkinkan warga trans mengubah identitas mereka pada dokumen pemerintah tanpa persetujuan dari dokter dan pengadilan, yang terus merupakan bentuk kekerasan sosial yang digunakan di Amerika. Namun, sudah jelas, bahwa Gereja Katolik telah memutuskan untuk menempatkan lebih banyak sumber daya dan bobot institusional mereka dalam memastikan kelanjutan kriminalisasi aborsi.
Bagaimana feminis Amerika Latin menjadikan perempuan kelas pekerja sebagai basis organisasi mereka?
Saya akan mulai dengan menjelaskan posisi mereka. Beberapa tahun yang lalu, saya mewawancarai seorang dokter feminis, Zulema Palma, yang pada tahun 1995 adalah salah satu pendiri pusat perempuan (women center) yang disebut Mujeres al Oeste (Perempuan ke Barat) di daerah kumuh Morón di Provinsi Buenos Aires. Dalam sebuah wawancara di tahun 2009 dia menjelaskan bahwa tahun 1993 “adalah saat yang menyenangkan dimana kami menyadari bahwa kami dapat terus bekerja di Barat [Buenos Aires] untuk kepentingan kami di mana perempuan yang tinggal di sektor yang paling terpinggirkan dapat didekati dengan hal-hal yang tidak mereka miliki.”[12] Kelompok feminis ini memutuskan untuk memusatkan usaha mereka dengan menawarkan workshop dan sumber daya yang dibutuhkan bagi perempuan yang dipinggirkan dalam mencegah akses terhadap informasi atau sarana keuangan untuk memanfaatkan sumber daya, karena faktor upah yang rendah, jarak, transportasi, atau bahkan kekerasan keluarga. Di Cile, selama kediktatoran, perempuan revolusioner mengorganisir lingkaran jpenjahitan di paroki-paroki Katolik untuk mengajar perempuan-perempuan miskin untuk membuat arpilleras (sulaman) yang memberi mereka penghasilan dan militan feminis menggunakan kesempatan untuk mendiskusikan dan mengajarkan politik.[13] Dalam kasus Mujeres al Oeste, ruang mereka menjadi entitas komunitas, menciptakan dialog dan perubahan budaya di lingkungan sekitar. Acara publik terakhir mereka berjudul: “Siklus Debat dan Proposal: Menghadapi Kekerasan Terhadap Perempuan, Ada Apa kabar Pria?”[14] Mujeres al Oeste baru-baru ini menentang komunikasi publik oleh Departemen Kesehatan di rumah sakit umum Morón menginformasikan staf tentang kewajiban hukum mereka untuk melaporkan dugaan kasus gangguan kehamilan. Karena hubungan dan rasa hormat dari komunitas mereka, Mujeres al Oeste dapat secara terbuka mengecam “kurangnya etika dan kekerasan sistemik terhadap kesehatan perempuan,” setnperti yang dicatat oleh Zulema Palma.[15] Ini juga membantu Zuelma yang juga seorang dokter, memberinya komentar tentang tingkat legitimasi di antara pers.
Gerakan feminis tidak menganggap diri mereka sebagai hal yang terpisah dari masalah sosial lainnya. Namun, itu tergantung pada organisasi. Saya ingin menyoroti organisasi feminis anarkis La Alzada – Acción Feminista Libertaria (La Alzada – Feminis Libertarian Action) yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa. Pada tahun 2014 mereka mengkoordinasikan kehadiran mereka di pemogokan pekerja pelabuhan, menawarkan solidaritas sambil mendiskusikan feminisme. Mereka juga menerbitkan zine yang menyertakan deklarasi, wawancara, dan refleksi mereka.[16] Saya akan mengutip dari sebuah artikel yang saya tulis bersama dengan Bree Busk berjudul “Memecah Ombak: Menantang Kecenderungan Liberal dalam Feminisme Anarkis”:
Titik La Alzada membedakan diri mereka dari kelompok feminis lainnya adalah bahwa mereka adalah organisasi sosial politik dimana keanggotaan mereka membutuhkan tingkat aktivitas politik yang telah ditentukan. Seorang militan Alzada berpartisipasi dalam pekerjaan penyisipan dengan perempuan kelas pekerja, di dalam gerakan mahasiswa, dan memajukan intervensi politik mereka sendiri dalam gerakan anarkis dan feminis. Keanggotaan terbuka untuk semua orang dan mereka mendorong masuknya militan yang diidentifikasi sebagai laki-laki. Mereka bekerja sama dengan serikat pekerja rumah tangga SINTRACAP dan SINAICAP yang dibedakan sebagai anggota kelahiran Chili (SINTRACAP) dan kelahiran asing (SINAICAP) yang sebagian besar berasal dari Peru dan Bolivia. Mereka mengorganisir workshop perserikatan, seperti mengajarkan bahasa lisan dan tubuh untuk membangun kepercayaan dan pengembangan politik bagi anggota serikat biasa.[17]
Apa arti kedua contoh ini? Mereka mewakili usaha terkoordinasi oleh kelompok atau organisasi. Bukan keputusan individu untuk mendapatkan pekerjaan atau sukarelawan di suatu tempat, tapi keputusan kolektif yang memiliki dampak yang berkelanjutan. Contoh lain dari karakter kesadaran kelas gerakan feminis Amerika Latin dapat diamati melalui tuntutan mereka. Misalnya, pada tahun 2009, spanduk utama pada demonstrasi Encuentro de Mujeres tahun itu menyatakan, “Aborsi legal (agar) kita tidak mati, alat kontrasepsi gratis tidak boleh dihentikan, dan pendidikan seksual (agar) tidak hamil.” Hambatan pertama yang dimiliki feminis adalah legalitas aborsi, maka untuk memastikan itu gratis, maka masalahnya adalah aksesibilitas.
Warisan kediktatoran militer merupakan faktor penting lainnya, yang mempengaruhi wacana, yel-yel, dan tuntutan. Pertama, soal masalah nyawa. Selama kediktatoran, para ibu dari orang yang dihilangkan militer menyerukan “aparición con vida” (untuk menghadirkan nyawa) dan organisasi hak asasi manusia menekankan kesakralan nyawa untuk dilindungi dari kekerasan negara. Beberapa individu di Sayap Kiri, mulai menggunakan wacana tersebut melawan seruan untuk melakukan aborsi legal. Dan, tentu saja, Sayap Kanan, yang mencakup kaum fasis, mulai menggunakan bahasa organisasi hak asasi manusia di atas, walaupun menurut mereka membunuh komunis adalah demi kebaikan masyarakat. Sebagai tanggapan, satu yel-yel menyatakan: “Ahora, ahora, ahora quieren vida, cuando en dictadura mataban con la DINA (Sekarang, sekarang, sekarang Anda menginginkan kehidupan, ketika selama kediktatoran Anda membunuh menggunakan DINA).” DINA adalah polisi rahasia Chili yang mengorganisir penghilangan, penculikan, dan penyiksaan. Kedua, saya ingin menyebutkan taktik organisasi hak asasi manusia .. Selama tahun 1990an, setelah kembalinya demokrasi, sebagian besar penyiksa dan pembunuh yang melakukan kekerasan negara dibebaskan dan sekarang dalam posisi berkuasa level tinggi. Karena kurangnya keadilan dan represi sosial, kelompok hak asasi manusia mulai mengorganisir funas atau escraches, yang merupakan upaya terkoordinasi untuk mempermalukan orang-orang ini secara terbuka. Dalam kasus pembunuh Victor Jara, yaitu Edwin Dimter Bianchi, mereka pergi ke tempat kerjanya untuk membuat banyak kebisingan, memasang dan meninggalkan selebaran yang mencela dia dan membiarkan semua orang tahu apa yang telah dilakukannya.[18] Feminis dan aktivis queer mulai menggunakan taktik serupa untuk mencela pemerkosa, pelaku seksual, dan homofobia yang menolak untuk mengambil pertanggungjawaban atau tidak ada yang dilakukan atas tindakan mereka demi keadilan.[19]
Dua contoh terakhir yang ingin saya berikan adalah Educación No Sexista (Pendidikan Non Seksis) dan #NiUnaMenos (Tidak satupun perempuan kurang (atau dibunuh)). Pendidikan Non Seksis adalah permintaan feminis dalam gerakan mahasiswa. Ini tidak hanya pelengkap, tapi juga memperkuat tuntutan gerakan mahasiswa untuk pendidikan gratis, yang merupakan serangan langsung terhadap kebijakan neoliberal dan prasangka kelas dan terbatasnya pada akses tempat ke pendidikan tinggi.[20] Permintaan untuk Pendidikan Non Seksis memaksa gerakan mahasiswa untuk berkomitmen melawan patriarki di lingkungan kampus dan lngkaran politik, namun juga memaksa institusi dan profesor untuk melihat lebih dalam tentang bagaimana mereka berkontribusi terhadap pelestarian patriarki melalui jabatan di departemen, kursus materi, dan sebagainya. Gerakan lain yang saya sebutkan adalah #NiUnaMenos yang telah mendorong istilah femicide ke dalam dialog publik.[21] Kaum feminis Amerika Latin telah meminta pemerintah untuk mengakui tindakan pembunuhan terhadap perempuan sebagai legal untuk mengumpulkan data dan untuk digunakan dalam kasus penuntutan. Hal ini diterima di bawah undang-undang di Argentina pada tahun 2012, dan di Brazil dan Kolombia pada tahun 2015. Dua contoh terakhir ini menyoroti beberapa hal. Kesuksesan mereka adalah karena mereka mendukung tuntutan; Beberapa tuntutan memiliki daya tarik massa yang lebih besar seperti menentang femicide dan yang lainnya masih dalam pertempuran gagasan seperti aborsi legal. Faktor lain yang berkontribusi adalah pembangunan koalisi feminis, dengan menggunakan National Encounter (pertemuan nasional) sebagai tempat untuk berdebat, untuk merefleksikan keberhasilan dan kekurangan tahun sebelumnya, dan tempat untuk memutuskan tindakan dan tuntutan untuk hal berikutnya.
Tinjauan perbedaan antara feminisme AS dan Amerika Latin:
- Isu sosial versus individu: Feminisme telah menjadi penyebab perbaikan pribadi dan bukan perubahan sosial. Sementara yang baru saja berubah sedikit di AS, suara dominan dari Women’s March mengungkapkan kemarahan moral terhadap patriarki, namun sedikit sekali soal tuntutan spesifik untuk memberi jangkar energi kita dan menciptakan momentum sosial untuk perubahan.
- Visibilitas (penjelasan) isu versus kriminalisasi: Ada kecenderungan kalangan feminis kelas menengah dan elit AS untuk fokus pada undang-undang hukuman atau senjata yang lebih tinggi sebagai akar permasalahan patriarki. Kriminalisasi lebih lanjut terhadap kulit hitam dan coklat tidak akan mengakhiri kekerasan gender. Fokusnya harus penjelasan isu, bukan kriminalisasi.
- Reformis: Beberapa orang menolak membuat tuntutan spesifik untuk perubahan karena takut tampak reformis. Saya juga mendengar beberapa radikal menentang aborsi sebagai tuntutan dari negara karena reformis atau meminta negara untuk sesuatu adalah salah. Saya selalu menggunakan contoh perjuangan hak suara (vote). Ya, perjuangan Hak Asasi Manusia yang memperluas hak legal untuk memilih (pemilu) di AS adalah sebuah reformasi, bukan revolusi sosial, namun merupakan reformasi yang secara langsung menghadapi supremasi kulit putih. Ada contoh serupa saat reformasi membuka pintu untuk menantang parameter kekuasaan. Namun, saya tidak setuju menghabiskan terlalu banyak waktu dan sumber daya untuk mencoba mengubah sistem dari dalam, padahal energi itu bisa lebih baik dihabiskan untuk menciptakan pengorganisiran otonom.
- Mengenang martir: Pengenangan publik terhadap perempuan yang telah meninggal karena komplikasi aborsi atau femicide telah menjadi simbol kuat yang mendasari karakter kelas yang meninggal dunia tersebut. Mereka juga dikenang sebagai korban kekerasan patriarkal dan negara.
- Tanggal peringatan menjadi siklus atau irama perjuangan: Saya sebutkan ini sebelumnya, tentang irama aksi politik. Di Cile, kami mengadakan demonstrasi musiman yang juga memiliki anomali mereka. Tanggal peringatan cenderung menjadi indikator penting ketika organisasi merencanakan aksi dan mengatur diskusi publik, di mana kita mengorganisir sebagian besar aksi kita antara bulan Maret dan November. Ini tidak termasuk pemogokan yang dapat terjadi kapan saja. Kami mengambil bulan Februari (bulan terakhir musim panas kami) “libur,” yang memungkinkan kami untuk merevitalisasi untuk tahun yang akan datang. Bukankah lebih baik memadamkan (blackout) bulan Agustus secara kolektif untuk menghidupkan kembali energi politik kita? Tapi yang lebih penting, rencanakan ke depan untuk tanggal-tanggal tertentu yang sudah kita ketahui ada pada ‘kalender revolusioner’ untuk mengatur sumber daya kita dan membangun momentum menuju tuntutan atau gerakan.
- Jadikan perempuan kelas pekerja, bukan selebriti, namun pahlawan kita: Dalam beberapa dekade terakhir, budaya populer arus utama telah mengambil alih panggung utama dalam apa yang kita sebut budaya populer. Kami cenderung membuat proyek seni lokal yang berpusat pada kelas pekerja sebagai khalayak yang dituju. Seperti disebutkan sebelumnya, media sosial didominasi oleh kaum perguruan tinggi berpendidikan, kelas menengah. Budaya anak muda, statistik menunjukkan, memiliki keinginan lebih besar untuk menjadi selebriti selama dua puluh tahun terakhir, di mana media sosial menghasilkan mikrokosmos selebriti dan popularitas kelompok. Hal ini dilengkapi oleh feminis yang menjunjung tinggi selebritis perempuan, politisi, pengusaha sebagai panutan, di mana fokusnya lebih banyak akses terhadap kekuasaan, tidak mengubah hubungan sosial. Aliran budaya di AS telah tertanam secara mendalam dan didiktekan oleh media massa dan sosial, atau apa yang oleh Noam Chomsky disebut sebagai pabrik persetujuan (the manufacuring of consent).
Kita berada di titik balik, di mana dekonstruksi telah sampai pada penggunaannya, dan sekarang kita perlu membangunnya. Apakah kita menjadikan (perjuangan) kelas sebagai inti dari visi filosofis kita akan menentukan karakter pengorganisasian kita dan akan menentukan perubahan sosial yang dapat kita capai.
Catatan Kaki
[1] “Social Media Fact Sheet,” Pew Research Center in Internet, Science, Tech diterbitkan January 17, 2017 (diakses May 7, 2017): http://www.pewinternet.org/fact-sheet/social-media/
[2] https://www.theatlantic.com/business/archive/2016/07/social-mobility-america/491240/
[3] Callie Marie Tennison, “Privilege, Among Rape Victims,” New York Times (December 12, 2014): https://www.nytimes.com/2014/12/22/opinion/who-suffers-most-from-rape-and-sexual-assault-in-america.html
[4] Sara Kominers, Working in Fear: Sexual violence against women farmworkers in the United States (Oxfam America, 2015), 15: https://www.northeastern.edu/law/pdfs/academics/phrge/kominers-report.pdf
[5] Mary Annette Pember, “Missing and Murdered: No One Knows How Many Native American Women Have Disappeared,” Indian Country Media Network (April 16, 2016): https://indiancountrymedianetwork.com/news/native-news/missing-and-murdered-no-one-knows-how-many-native-women-have-disappeared/
[6] Allison Phipps, “Rape and Respectability: Ideas about Sexual Violence and Social Class,” Sociology 43, no. 4 (August 2009): 667–683. http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.958.2282&rep=rep1&type=pdf
[7] http://jezebel.com/everything-really-hit-rock-bottom-how-nasty-gals-cultu-1711454805
[8] Geoge Monibot, “Celebrity isn’t just harmless fun–it’s the smiling face of the corporate machine,” The Guardian (December 20, 2016): https://www.theguardian.com/commentisfree/2016/dec/20/celebrity-corporate-machine-fame-big-business-donald-trump-kim-kardashian
[9] Untuk info lebih lanjut, baca Social Anarchism and Organisation oleh FARJ: https://libcom.org/files/social_anarchism_and_organisation_farj_en.pdf
[10] Di Amerika Latin istilah desaparecido digunakan untuk menyebut korban yang hilang oleh negara. Kadang-kadang, mayat mereka kemudian diidentifikasi di kuburan massal, namun banyak yang tidak pernah diperbaikai identitasnya.
[11] Patrick Cuninghame, “Italian feminism, workerism and autonomy in the 1970s: The struggle against unpaid reproductive labour and violence,” libcom.org (October 25, 2010):
https://libcom.org/history/italian-feminism-workerism-autonomy-1970s-struggle-against-unpaid-reproductive-labour-vi
[12] Entrevista a Zulema Palma, “La violencia contra las mujeres está naturalizada,” Defensoría del Pueblo del Municipio de Morón (22 de agosto de 2009).
[13] Jacqueline Adams, “Movement Socialization in Art Workshops: A Case from Pinochet’s Chile,” The Sociological Quarterly 41, no. 4 (Autumn 2000): 615-638.
[14] http://mujeresaloeste.blogspot.com/
[15] http://comunicacionsocial.org.ar/un-centro-de-salud-en-moron-promueve-las-denuncias-por-sospechas-de-aborto-es-una-aberracion-desde-el-punto-de-vista-etico-medico-y-legal/
[16] La Alzada-AFL, Solidaridad Feminista con el Conflicto Portuario Hacia una Sindicalismo de clase, de lucha y feminista (enero 2014): http://issuu.com/laalzadaafl/docs/port_feminismo
[17] Romina Akemi and Bree Busk, “Breaking the Waves: Confronting the Liberal Tendencies within Anarchist Feminism,” Perspectives: Anarcha-Feminism by Institute of Anarchist Studies (May 2016): https://anarchiststudies.org/2016/06/29/breaking-the-waves-challenging-the-liberal-tendency-within-anarchist-feminism-by-romina-akemi-and-bree-busk/
[18] “Funa del asesino de Victor Jara.” https://www.youtube.com/watch?v=UA9lGZMgoQc
[19] “Funa a violador.” https://www.youtube.com/watch?v=lGXqODeDCEs
[20] http://www.cladem.org/campanas/educacion-no-sexista/prensa/69-ens-otros-medios/443-dia-internacional
-dela-Educacion-no-sexista ;http://eldesconcierto.cl/por-que-es-necesaria-una-educacion-sexista-en-chile/
[21] http://nacla.org/news/2016/11/01/niunamenos-not-one-woman-less-not-one-more-death
Diterjemahkan dari Feminism Against Capitalism oleh Romina Akemi | Black Rose Anarchist Federation http://blackrosefed.org/feminists-against-capitalism/
Terjemahan bahasa Indonesia oleh Yoo Jae-suk, aktif di Persaudaran Pekerja Regional – Jombang.