oleh Toety Kilwouw
“Sejak dimulainya tanah air modern (negara-bangsa), perempuan telah terjajah. Artinya, negara-bangsa memungkinkan pengontrolan seksualitas, fertilitas dan kemampuan atau tenaga kerja mereka. Tanpa terjadinya kolonisasi ini, baik kapitalisme maupun negara-bangsa tidak akan bisa dipertahankan”—Maria Mies.[1]
Adalah EM, seorang alumnus UGM Yogyakarta, ditemukan tewas berbalut sajadah setelah sebelumnya diperkosa. Lalu pada Juni 2013, NH, mahasiswa pascasarjana di Makassar dibunuh oleh rekan kerjanya dengan 49 tusukan diselingi tindak pemerkosaan saat korban terkulai lemah. Masih ada EL di Denpasar, bocah perempuan yang diperkosa kemudian dibunuh oleh salah seorang pekerja di rumahnya. Fenomena pemerkosaan dan kekerasan seksual memang tidak akan cukup jika diuraikan dalam lembar tulisan ini, mulai dari kasus serupa yang dialami bayi usia 9 bulan hingga nenek berumur 80 tahun.
Pada ruang dan waktu yang berbeda dengan kasus yang lain, perempuan-perempuan buruh pun harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan upah dan jam kerja yang layak, hak cuti haid dan melahirkan, lebih keras melawan kerentanan PHK serta tindak kekerasan seksual di tempat kerjanya. Feminisasi kemiskinan juga menyerang perempuan-perempuan di Rembang, Tiaka, Mesuji, Bima, Buyat Pante, Kulon Progo, Parangkusumo, Kao, Gane, Halmahera, Timika atau Merauke. Para perempuan tersebut bersama warga lainnya harus berjuang melawan kekerasan—secara langsung maupun tidak langsung—oleh negara akibat politik perampasan ruang yang dijalankan guna mengakomodasi kepentingan ekspansi para pemodal.
Pada kasus yang terakhir, ketika perempuan telah tersingkir dari lahan produktif mereka, ruang kerja upahan yang disediakan sistem hari ini pun tidak membuka akses yang luas bagi mereka. Di sektor pertambangan misalnya, perempuan-perempuan mantan petani atau nelayan tersebut dipandang tidak memiliki keahlian untuk bekerja sebagai buruh atau karyawan pada perusahaan. Sementara praktik perampasan tanah yang banyak diperuntukan bagi investasi kepala sawit pada akhirnya hanya mampu menempatkan mayoritas perempuan di sekitar lingkar konsesi sebagai pekerja harian berupah rendah tanpa jaminan keselamatan kerja.
Para perempuan Desa Tabobo—daerah lingkar konsesi tambang emas PT. NHM—dulunya merupakan pengerajin terasi udang. Dulu mereka dikenal sebagai ibu yang memberi makan keluarga dan komunitasnya. Mereka mengambil sendiri udang halus yang tersebar di sepanjang pesisir Teluk Kao—kadang dibantu juga oleh suami dan anak—lalu kembali ke rumah untuk mengolahnya. Saat ini, ketika Teluk Kao tidak lagi berlimpah udang, teri, cumi dan biota laut lainnya sebagai akibat dari pencemaran aktivitas tambang, sebagian perempuan tersebut terpaksa beralih menjadi Penambang Tanpa Ijin (PETI), tukang barempel (pemecah batu yang mengandung kadar emas), buruh kebun, buruh cuci dan sebagian kecil memilih menjadi ibu rumah tangga alias bergantung pada pendapatan suami. Mayoritas perempuan-perempuan ini harus menjalankan rutinitas harian lebih dari satu jenis pekerjaan, yang artinya beban kerja semakin menumpuk—bekerja sebagai PETI/tukang barempel juga sebagai buruh kebun/cuci—tanpa mengurangi beban domestik mereka. Faktanya PT.NHM tidak membutuhkan tenaga kerja perempuan-perempuan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa 18 pekerja NHM di Desa Tabobo adalah laki-laki. Semua ini membuktikan bahwa sektor kerja ‘maskulin’ seperti tambang memang meminggirkan atau bahkan tidak membutuhkan tenaga kerja perempuan yang dianggap lemah dan kurang produktif, sehingga domestifikasi perempuan karena stereotipe keperempuannya pun tak terhindarkan.
Berbagai tindak kekerasan yang dialami perempuan ini—baik secara fisik maupun struktural—mendorong berbagai gerakan perempuan untuk terus bekerja lebih keras. Beberapa gerakan perempuan yang lebih moderat merasa perlu untuk mendorong reformasi dalam bentuk lahirnya produk perundang-undangan yang mampu mengakomodasi segala kebutuhan dan kepentingan perempuan, antara lain UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan UU Pemilu yang memberikan kuota 30% bagi perempuan.
Semua perjuangan reformis di atas mungkin dipandang sebagai langkah mendesak yang bisa dilakukan saat ini guna mengurangi diskriminasi dan tindak kekerasan yang dialami perempuan. Namun upaya memandang perjuangan reformis tersebut sebagai metode strategis, yang memperdalam keyakinan bahwa negara dapat berperilaku lebih adil pada perempuan, haruslah dipertanyakan. Kenyatannya, pada kesempatan berbeda, negara justru mengakomodasi kepentingan lain untuk menghancurkan kesadaran dan gerakan perempuan. Kita bisa lihat kebijakan dan peraturan daerah maupun nasional yang dilahirkan selama satu dekade terakhir, seperti perda-perda syariah atau UU Pornografi yang masih menjadikan tubuh perempuan sebagai objek seksual; serta UU Migas, Minerba, PMA, Ketenagakerjaan dan sebagainya yang semakin menjauhkan perempuan dari sumber penghidupan mereka.
Perjuangan untuk memenuhi kuota 30% keterlibatan perempuan dalam politik elektoral hari ini juga tidak banyak memberikan perubahan yang signifikan bagi perempuan, selain fakta bahwa keterlibatan perempuan ini dimanfaatkan untuk memenuhi syarat verifikasi partai dalam pemilu. Selain itu, terdapat pula semakin menguatnya sistem hierarki dalam kehidupan sosial perempuan, yang di dalamnya segelintir perempuan yang dirasa memiliki akses politik, ekonomi dan pengetahuan lebih ‘harus’ mewakili mayoritas perempuan yang tak memiliki akses pada pengembangan kapasitas diri.
Di dalam sebuah organisasi kekuasaan seperti negara, tempat kebebasan berpendapat dan berpolitik hanya mampu terakomodasi melalui sebuah sistem demokrasi representatif, mayoritas manusia dan kebudayaannya yang beragam ini kemudian terunifikasi ke dalam sebuah ‘kultur nasional’—tempat kemampuan menentukan, mengelola, mengakomodasi dan mengatur kepentingan sendiri direduksi oleh sistem perwakilan. Segala kepentingan dan kebutuhan hidup kita—yang pada masa sebelumnya telah kita usahakan sendiri pemenuhannya—kini dihancurkan melalui politik kepartaian yang merupakan bagian dari politik perwakilan.
Secara historis, negara-bangsa modern dibangun melalui penjajahan dan penjarahan terhadap suku bangsa lain. Pada masa Perang Dunia I dan II, negara-negara Dunia Pertama (Eropa, Amerika Serikat dan Jepang) melakukan praktik penjajahan terhadap bangsa-bangsa Dunia Ketiga yang tersebar di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Mereka kemudian membangun koloni-koloni di setiap bangsa ini guna mendapatkan sumber bahan mentah, tenaga kerja dan pasar bagi hasil produksi mereka. Orientasi kapitalisme global ini lalu mendapatkan perlawanan dari mereka yang ada di wilayah koloni. Saat itulah terjadi persatuan nasional, yang di dalamnya suku-suku bangsa yang lebih kecil menggabungkan kekuatan untuk melawan praktik penjajahan asing ini. Sayangnya, perlawanan terhadap kolonialisme melalui unifikasi bangsa-bangsa ini kemudian membentuk negara-bangsa modern baru yang, atas nama nasionalismenya, terus-terusan berkompetisi dan berperang—dalam arti tradisional maupun paradigmatis—untuk mencapai standar negara modern dalam sistem hegemoni politik dan ekonomi global yang menghendaki terciptanya internalisasi penindasan dan penjajahan.
Lantas bagaimana perlakuan sistem ekonomi-politik global terhadap negara-bangsa baru ini? Di dalam sistem ekonomi-politik global hari ini, kita kenal yang disebut sebagai perdagangan bebas dan retorika tentang satu dunia. Dalam bayangannya, sistem semacam ini dicita-citakan untuk berbagi kesempatan sebebas-bebasnya. Sayangnya, semua itu tidak terjadi dalam realitasnya. Dalam praktiknya, perdagangan bebas menghambat akses setiap negara-bangsa baru (bekas jajahan) atas pasar, sumber daya dan tenaga kerja negara-bangsa modern, sementara negara-bangsa utara dapat memperluas ekspansi modal dan menumpuk kekayaan mereka dari sumber daya yang ada di setiap negara-bangsa di selatan. Kebijakan semacam ini pada kenyataannya tidak menghargai kedaulatan negara-bangsa baru. Di sinilah letak kontradiksi antara orientasi ekonomi global di satu sisi dan kepentingan negara (nasional) di sini lain. Bagaimana mungkin sebuah negara-bangsa yang berorientasi pada kekuasaan ini dapat menjalankan kepentingan nasionalnya dan mengabaikan orientasi global yang mengatur sistem pasar dunia?
Maskulinisasi Ibu Pertiwi
Negara bangsa modern yang dibangun dalam skema untuk mengatur kepentingan-kepentingan yang saling kontradiktif ini, baik secara internal maupun eksternal, harus melindungi segala ancaman dalam bentuk kekerasan dan paksaan. Lembaga militer dan kepolisian pun dibangun untuk mengamankan sistem kekuasaan yang ada. Ya, ciri-ciri maskulinitas seperti kekerasan dan paksaan diperlukan negara guna menjaga status quo dan kepentingan nasional.
Para laki-laki kemudian diajak berperang melalui kampanye maskulinitas yang digalakkan oleh media maupun industri perfilman yang menampilkan kekerasan sebagai bentuk kejantanan paling modern. Berperang dan menang adalah ciri kejantanan, sementara menyerah dan kalah adalah simbol keperempuanan, yang di dalamnya laki-laki yang bersikap feminin artinya memilki maskulinitas yang cacat. Industri-industri perfilman hari ini telah banyak menampilkan paradigma semacam itu, yang di dalamnya sang pahlawan adalah laki-laki yang memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk melakukan perlawanan hingga menang sementara perempuan berperan sebagai orang lemah dan pasif yang butuh perlindungan dari sang laki-laki.
Pada masa sebelum negara-bangsa modern ini ada, kita hanya mengenal istilah natio, nation atau bangsa yang berarti tempat kelahiran seseorang, suku bangsa, teritori, ibu pertiwi. Ini adalah tempat asal-usul seseorang diidentifikasi berdasarkan tempat kelahirannya, tempat ibunya tinggal. Secara terminologis, bangsa berasal dari tradisi-tradisi hak ibu, yang di dalamnya setiap organisasi kesukuan ini didasarkan pada matrilokalitas, matrilineal dan semua orang dipandang setara. Suku-suku bangsa ini kemudian dihancurkan oleh negara-bangsa yang lebih besar dan modern melalui peperangan dan penaklukan. Tidak hanya nusantara yang diperangi dan ditaklukan oleh Eropa pada masa perang, tapi kita juga tahu bahwa suku Badui, Asmat, Amume, Malind, Togutil atau lainnya saat ini tengah diperangi dan dipaksa tunduk oleh negara.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa pembangunan negara-bangsa modern senantiasa menghendaki peperangan dan penaklukan atas negara-bangsa lain atau suku bangsa yang lebih kecil. Di dalamnya, setiap peperangan menghendaki loyalitas warga negaranya, yang artinya loyalitas ini hanya akan ada ketika kebutuhan hasrat akan tanah air, tanah kelahiran, ibu pertiwinya diciptakan. Hasrat semacam ini lalu diarahkan pada doktrin nasionalisme yang mengarah pada perlindungan terhadap kepentingan negara-bangsa baru padahal hampir semua peperangan tersebut terjadi semata-mata untuk melahirkan dan menguatkan ekspansi negara-bangsa, dan bukan semata-mata untuk mempertahankan tanah kelahiran dari perusakan dan penaklukan oleh negara-bangsa lain. Brownmiller menegaskan bahwa pada masa perang antar negara-bangsa, perempuan justru menjadi korban utama yang, selain mendapatkan kekerasan fisik dan struktural berupa pembantaian, pembunuhan dan penaklukan atas ruang hidupnya, juga mengalami kekerasan seksual berupa pelecehan, pemerkosaan hingga budak seks para tentara.[2]
Masihkah berharap pada negara setelah kita menguak fakta bahwa lembaga hierarki ini dibangun dengan menghancurkan ibu pertiwi, simbol-simbol perempuan dan tatanan masyarakat egaliter suku bangsa sebelumnya? Sangat irasional dan ahistoris jika kita mengiyakannya karena, pasca penghancuran itu, negara-bangsa tetap menghendaki internalisasi penjajahan dan penjarahan, yang di dalamnya perempuan merupakan satu sektor masyarakat yang harus menerima ‘takdir’ menjadi koloni bagi keberlangsungan negara-bangsa dan kapitalisme sendiri.
Kesetaraan Perempuan Versus Hierarki Negara
Selain fakta bahwa negara-bangsa dibangun melalui penghancuran atas simbol-simbol feminitas dan ibu pertiwi, perjuangan pembebasan perempuan juga memiliki cita-cita yang kontradiktif dengan perjuangan nasionalis untuk mempertahankan hierarki kekuasaan negara. Perjuangan perempuan menghendaki suatu sistem masyarakat yang setara, bebas, otonom dan diatur dalam bentuk otoritas yang rasional, yang di dalamnya setiap individu dalam masyarakat terlibat dalam perumusan kebijakan dan tata aturan. Sementara itu, perjuangan nasionalis memimpikan sebuah tatanan masyarakat yang diatur secara sentralistik oleh sebuah lembaga perwakilan, yang di dalamnya tiap warga negara dipaksa untuk tunduk pada kebijakan dan hukum yang diberlakukan oleh penguasa.
Perjuangan pembebasan perempuan berarti perjuangan untuk kesetaraan dan kemerdekaan. Cita-cita untuk mencapai sebuah tatanan masyarakat yang lepas dari kontrol dan kendali kekuasaan terpusat. Sementara perjuangan nasionalis mengharuskan terciptanya sebuah tatanan negara yang dikendalikan dan dikontrol secara penuh oleh kekuasaan, yang di dalamnya hak-hak kesetaraan dan kemerdekaan yang termuat dalam konstitusi negara adalah sebuah ambiguitas bagi kekuasaan. Bagaimana bisa sebuah negara menerapkan kesetaraan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara, yang berarti akses terhadap segala sumber daya terbuka lebar bagi semua orang, sementara sistem demokrasi representatif yang dikehendaki negara mengharuskan politik perwakilan, yang di dalamnya mayoritas perempuan dan warga negara ‘wajib’ mempercayakan kepentingannya pada segelintir orang dalam struktur pemerintahan negara?
Perjuangan pembebasan perempuan berarti lepas dari kontrol dan kuasa maskulitinitas atas diri perempuan. Artinya, negara yang mewakili ciri maskulinitas dengan sistem hierarki terkuat senantiasa menghendaki pengontrolan dan pengendalian perempuan, sementara perjuangan pembebasan perempuan berarti perjuangan untuk menghancurkan tatanan yang hierakis, patriarkis, militeristis, maskulinistis, nasionalistis dan kapitalistis yang tercermin dalam bentuk kekuasaan negara.
_____________________________
[1] Vandana Shiva dan Maria Mies, Ecofeminism: Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan, Cetakan Pertama (Yogyakarta: IRE Press, 2005), hal 139.
[2] Susan Brownmiller, Against Our Will: Men, Women and Rape, dikutip dari Sylvia Walby, Teorisasi Patriarki, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Jalasutra, 2014), hal. 203.