oleh Narayana Utara
Beberapa waktu lalu, saya mengikuti aksi Women’s March yang serentak diadakan di beberapa kota di Indonesia. Ada banyak poster dan spanduk yang dibentangkan dalam aksi tersebut, khususnya penolakan terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) berbasis gender. Selain itu ada poster penolakan atas kekerasan seksual, pelecehan seksual, otoritas terhadap tubuh, dan masih banyak lagi poster-poster yang mengangkat isu tentang seksualisme. Namun, ada beberapa poster yang membuat saya berpikir dua kali, atau bahkan lebih. Misalnya poster bertuliskan “bukan baju gua yang porno, tapi otak loe.” Poster tersebut menuduh bahwa otak cabul yang menjadi penyebab terjadinya pelecehan seksual. Ada juga poster yang bertuliskan “baju gue lu urusin, birahi loe dibiarin,” yang secara tersirat menyatakan kemarahan karena pakaian perempuan yang disalahkan, sementara birahi laki-laki sudah dapat pemakluman atas terjadinya pelecehan seksual. Atau dengan yang satu ini: “buanglah pikiran kotor pada tempatnya.” Aduh, sayang. Tidak. Jangan. Tidak seharusnya juga kita menghindari pikiran-pikiran kotor yang secara alamiah timbul, tanpa kita memintanya. Biarkan saja dia tumbuh menjadi liar, nikmati saja kemanusiaan ini. Dan satu lagi tak ketinggalan, “jangan jadikan aku bahan coli.” Terus apa yang harus laki-laki bayangkan? “Kuda?” protes salah satu kawanku dari Jogja. Perempuan yang masturbasi pun membayangkan kontol. Terus bagaimana kalau laki-laki yang bilang, “jangan jadikan aku bahan masturbasi.” Lalu kamu mau bayangkan apa? Kontol kuda? Halah, kuda lagi. Sapi kek. Mungkin, karena masih sedikit perempuan yang melakukan masturbasi (atau sebenarnya banyak, hanya saja mereka malu untuk mengungkapkan itu), jadi yang terkenal meluapkan hasrat seksual terhadap dirinya dan imajinasinya hanya laki-laki. Karena laki-laki melakukan masturbasi (dan ini sudah sangat wajar dilakukan laki-laki, dan telah mendapat pemakluman publik), dan sebaliknya tidak bagi perempuan, lalu pada titik inilah para “feminis” menyerang.
Beberapa pernyataan tersebut adalah sebuah respon dari para feminis untuk menyerang kembali pola pikir seksis yang menyatakan bahwa tubuh dan pakaian perempuanlah yang dengan sendirinya harus bertanggung jawab atas terjadinya pelecehan seksual, dengan membombardir mereka melalui pernyataan bahwa otak cabul dan birahi merekalah yang patut disalahkan. Padahal, tidak ada dari ketiganya, baik pakaian yang dikenakan, otak cabul, maupun birahi, yang patut disalahkan. Dengan demikian, mungkin tidak ada, baik dari feminis maupun patriarkis, yang benar-benar menelusuri akar permasalahan atas terjadinya pelecehan seksual dan pemerkosaan.
Kebanyakan dari kita kurang sadar bahwa sebenarnya manusia adalah makhluk seksual sejak ia lahir. Kita memiliki alat reproduksi, kita merasakan birahi, atau ketertarikan seksual baik dengan sesama jenis maupun lawan jenis, atau bahkan, mungkin, kecenderungan untuk tidak sama sekali tertarik pada keduanya. Kita berkembang biak sehingga menghasilkan manusia baru dari hasil rahim yang dibuahi. Kita memiliki sel telur bagi perempuan, dan si jantan memiliki sel sperma. Kita memiliki hormon esterogen dan testoteron, yang menjadi beberapa bukti bahwa manusia adalah makhluk seksual sejak ia lahir sampai manusia itu mati. Sehingga seharusnya seksualitas menjadi hal yang sangat wajar bagi manusia, dan seks itu sendiri adalah salah satu kebutuhan manusia yang sebenarnya tak berbeda dengan makan, minum, tidur, dan kegiatan lainya yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Nah, mungkin setelah pernyataanku di atas, yang langsung terbesit di benak para laki-laki yang membaca ini adalah “berarti sebenarnya aku bisa bersetubuh dengan banyak perempuan yang aku mau dengan mudah dong!” Atau mungkin, dengan sangat antusias mendukung, bahkan ikut ambil bagian dalam menghancurkan kekangan seksual, supaya bisa dengan barbar menyetubuhi banyak perempuan atas hasrat yang selama ini dirasa sangat sulit untuk dilampiaskan.
Tapi di sini kita butuh beberapa pertimbangan bahwa masing-masing individu perlu memutuskan sejauh mana ia harus menuntaskan hasratnya. Tidak melulu harus berhubungan seksual. Ketika hasrat yang muncul bisa ditahan, tidak masalah jika ia memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa. Pun, ketika hasratnya sangat meledak-ledak, namun tidak ada lawan main, maka tidak masalah juga ketika ia masturbasi. Dalam kasus lain, ketika hasrat seksual yang meledak-ledak muncul pada saat itu juga dan kebetulan ada rekan seksual berdasarkan ketertarikan dan kesepakatan bersama tentu saja, langsung sikat habis pun tidak jadi masalah. Maka dari itu, kita tetap harus menghargai kebebasan orang lain atas hasrat seksualnya, karena hasrat seksual masing-masing individu berbeda. Tidak bisa dipaksakan untuk sama. Tidak bisa dipukul rata.
Dengan demikian, saya juga tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa kita memiliki intensitas untuk melakukan kegiatan seksual yang sama dengan makan atau tidur, karena untuk makan dan tidur pun kita juga benar-benar tidak selalu bisa langsung mengiyakan keinginan tubuh kita, misal pada saat kita lapar, tapi tidak ada apa pun yang bisa dimakan, dan mau tidak mau kita harus menahan rasa lapar tersebut. Atau dengan tidur, saat mata kita sudah terasa sangat berat dan tubuh kita merengek-rengek minta diistirahatkan, tetapi mungkin pada saat itu ada suatu hal yang harus (banget?) kita kerjakan atau kita dihadapkan pada situasi di mana kita harus menahan rasa kantuk, ya dengan terpaksa kita harus menahan rasa kantuk yang telah bergelantungan di mata kita. Hal itu pun juga berlaku pada hasrat seksual, seperti yang sudah aku jabarkan di atas. Dengan demikian, apa yang ingin aku sampaikan adalah bahwa ada satu kebutuhan biologis manusia yang tertinggal yang sangat disayangkan untuk diabaikan, apalagi sampai berakibat merugikan orang lain (yang mana akan aku jelaskan nanti).
Kekangan Seksual
Di banyak tempat di dunia, terutama di negara-negara dunia ketiga, seksualitas adalah suatu hal yang belum bisa diterima dengan baik dan terbuka untuk dibicarakan, sangat tertutup untuk dibahas secara mendalam, dan belum bebas untuk siapa pun. Ketika kita bicara tentang seksualitas, terkadang kita masih mempertimbangkan tempat di mana kita dapat berbicara perihal seksualitas dengan bebas. Ya, mungkin di beberapa tempat bahkan sudah lumayan meluas, kita bisa berbicara mengenai seksualitas, kita bisa cerita pengalaman seksual kita kepada banyak orang. Dari pengalaman pribadi saya, sebagai perempuan, saya sudah benar-benar membebaskan diri saya untuk berbicara tentang apa pun dan di mana pun, termasuk seksualitas. Walaupun sesekali, apabila saya dihadapkan dengan suatu kondisi di mana saya harus mempertimbangkan ulang kebebasan saya untuk berbicara ataupun bertindak, itu tidak jadi masalah.
Sekarang sudah banyak emansipasi yang perempuan dapatkan, untuk berani menuntut hak pendidikan, pekerjaan, upah, yang setara dengan laki-laki. Tapi jika hanya sebatas itu tuntutan kita, kita tidak benar-benar bisa bebas sepenuhnya. Walaupun kebebasan seksual, katakanlah, tidak lebih penting untuk dibanding tuntutan di atas, paling tidak ini juga penting untuk dimengerti. Karena menurutku, sebelum kita mengajukan sebuah kebebasan berkaitan dengan penghidupan, akan lebih baik jika kita memahami terlebih dahulu bagaimana kita hidup. Ini berarti bagaimana kita memiliki kekuasaan atas tubuh, sebuah otonomi, untuk bebas mengatur apa yang terbaik atas tubuh kita. Bagaimana kamu mau bebas, kalau kamu saja belum sadar bahwa kamu punya hak penuh atas kebebasanmu. Atau lebih tepatnya, kita masih terlalu ragu untuk menyadari bahwa kita manusia. Seperti Emma Goldman bilang, “emansipasi sejati tidak dimulai baik dalam jajak pendapat atau di pengadilan. Ia dimulai dalam jiwa perempuan.”
Ironisnya lagi, tidak hanya laki-laki yang memperkokoh budaya patriarki, namun perempuan yang telah tercuci otaknya oleh budaya tersebut (mungkin termasuk para pejuang emansipasi perempuan yang saya sebutkan di atas) juga ikut ambil bagian dalam menggerogoti hak perempuan untuk menikmati kebebasan penuh atas hidupnya. Dari situ pula, kekangan seksual pun juga lebih ditekankan kepada perempuan. Itu sebabnya perempuan lebih mudah dimanfaatkan oleh laki-laki. Bahkan sampai saat ini masih banyak perempuan yang sama sekali tidak tahu atas hasrat seksual yang ia miliki, kemudian hasrat tersebut tertimbun sangat dalam, dan rapi, hingga nyaris hilang tak terlihat. Jangan sampai! Karena seperti yang saya katakan di atas, budaya yang terjadi sekarang ini benar-benar membentuk perempuan hidup hanya untuk laki-laki. Dari situ pula, kenapa aku mencoba untuk mengulik akar permasalahan tentang seksualitas yang sampai saat ini belum selesai diperjuangkan para feminis.
Aku mencoba menjelaskan bagaimana kekangan seksual yang terjadi. Kekangan seksual mempunyai banyak bentuk. Pertama, perempuan sama sekali tidak dididik tentang seksualitas secara spesifik oleh siapa pun itu (keluarga, masyarakat, bahkan di institusi pendidikan pun). Hadirnya negara, agama dan moralitas yang menciptakan sebuah aturan tentang seksualitas telah menyebabkan manusia memenjara dirinya sendiri, hasratnya, emosinya, keinginannya, semua terikat. Dan dari situ pula, para perempuan ini menjadi lebih mudah dibodohi oleh laki-laki, dari bualan omong kosong yang hanya bertujuan untuk menyetubuhi si perempuan, atau laki-laki yang memberikan apapun yang perempuan minta sebagai balas budi karena sudah mau disetubuhi. Bahkan sampai yang paling kejam, diperkosa, lalu dibunuh dan dimutilasi. Terjadi? Banyak. Apa penyebabnya? Ya, kekangan seksual, baik untuk laki-laki, dan terlebih bagi perempuan.
Saat ini memang lebih banyak laki-laki yang merasakan bahwa mereka punya hasrat seksual ketimbang perempuan, kembali lagi ke patriarki di mana perempuan selalu dinomorduakan pun juga berlaku untuk kekangan seksual. Kedua, perempuan dituntut pasif. Hal ini tercermin dari misalnya bahwa untuk berpacaran, laki-laki yang diminta untuk terlebih dahulu memberikan ajakan. Jika sebaliknya, maka perempuan dipandang sebagai jalang. Hal yang sama berlaku juga dalam hubungan seksual. Kekangan seksual pada perempuan telah mengakibatkan banyak perempuan tidak mengerti bahwa mereka pun memiliki hasrat seksual, sama dengan laki-laki. Dalam situasi seperti ini, laki-laki akan dipandang lebih butuh seks daripada perempuan, karena mereka lebih aktif dan terbuka. Mereka (yang belum menikah) hanya bisa memenuhi hasrat biologisnya melalui tiga cara: masturbasi, prostitusi, atau pelecehan seksual.
Dengan kondisi yang seperti inilah pelecehan seksual dan pemerkosaan sangat sering terjadi, dan yang banyak menjadi korban adalah perempuan. Karena terlalu sedikit perempuan yang bisa dengan mudah diajak berhubungan seksual, dan laki-laki mau tidak mau mengambil cara lain untuk memuaskan hasratnya, mungkin dengan melakukan pelecehan seksual atau pemerkosaan. Pada akhirnya, hal ini mempengaruhi tingginya kasus pelecehan seksual. Hasrat yang timbul meledak-ledak pada si pelaku membuatnya ingin segera menuntaskannya, misal dengan bercinta. Namun kepada siapa dia bisa bebas menuntaskan birahinya? Jika yang berlaku pada sistem ini, manusia tidak bisa bebas menuntaskan hasrat seksualnya kepada siapa pun yang ia inginkan, dan rendahnya angka perempuan yang sadar akan kebebasan seksual semakin memperkecil pula kesempatannya untuk segera menuntaskan birahinya. Saat itu juga, sangat mungkin terjadi apa yang disebut pemerkosaan.
Secara garis besar, perempuan dididik hidup untuk laki-laki; melayani, patuh, tunduk, diam, rela bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan seisi rumah, kemudian membereskan kotoran bekas makanan mereka, membersihkan seluruh isi rumah, mencuci pakaian mereka, sampai menyusunnya kembali ke dalam lemari dengan rapi, belum lagi ketika laki-laki pulang kerja harus langsung menyiapkan makan malam dengan penuh kasih sayang dan lemah lembut, menunjukkan sikap patuh dan tunduk, masih lagi ketika laki-laki mengeluh karena lelah seharian bekerja dan minta dipijat dan dimanja, kemudian masuk kamar lalu laki-laki minta jatah ngewe, bukankah sebenarnya mereka berdua sama-sama lelah atas pekerjaan mereka masing-masing? Tapi tetap perempuan dibuat untuk tidak boleh banyak bicara, dan terus menjadi orang bodoh yang dipaksa patuh pada patriarki. Mereka kurang diperkenankan bicara banyak tentang seksualitas dan dengan terbiasanya perempuan disuruh banyak diam, ia pun tidak berani bertanya banyak. Dengan adanya kekangan seksual, kesadaran tentang seksualitas pun tidak banyak orang paham, sedangkan semua orang pasti punya dorongan secara biologis atas hasrat seksualnya.
Saya memandang bahwa sebenarnya laki-laki juga termasuk korban kekangan seksual yang dialami perempuan. Tanpa kita sadari, dia adalah korban dari sistem yang mengekang ini, yang menyebabkan ia harus melakukan pemerkosaan demi hasratnya, demi dirinya, demi birahinya. Begini alurnya: kekangan seksual berlaku untuk laki-laki dan perempuan (sangat terlebih bagi perempuan) – dengan ketimpangan berlakunya kekangan seksual tersebut mengakibatkan hasrat seksual laki-laki dirasa lebih banyak ketimbang perempuan – dari situ, lebih sedikit pula perempuan yang sadar secara seksual, sehingga menyebabkan laki-laki sulit untuk melampiaskan hasrat seksualnya – berakibat laki-laki mencari cara lain supaya hasrat seksualnya terpenuhi.
Sekalipun demikian, perempuan adalah korban langsung dari kekangan seksual, sementara laki-laki adalah korban tidak langsung. Kalau kita bilang keduanya adalah semata-mata korban, ini bisa jadi semacam memberi keringanan atau mentolerir pelecehan seksual dari laki-laki. Ingat, perempuan mempunyai beban dua kali lipat dalam sistem ini, pertama mereka dirugikan, kedua mereka disalahkan lagi atas kerugian yang mereka alami. Ini juga merupakan bentuk kekangan seksual yang ketiga. Selain dituntut pasif, perempuan juga dituntut untuk tertutup. Kekangan seksual juga telah menghasilkan terbatasnya kebebasan perempuan untuk berpakaian, dan di sini para laki-laki memanfaatkan kondisi perempuan atas tidak bebasnya perempuan untuk berpakaian, untuk menjadikan pakaian mereka (perempuan) sebagai pemantik atas terjadinya pelecehan seksual, maupun pemerkosaan. Akhirnya, perempuan yang aktif dan terbuka secara seksual dianggap pantas mendapatkan pelecehan.
Kebebasan Seksual
Dari yang aku jelaskan tersebut, bisa disimpulkan bahwa akar permasalahan terjadinya pelecehan seksual ataupun pemerkosaan adalah kekangan seksual. Dan dari situ pula, kenapa aku berpikir bahwa kekangan seksual harus dihancurkan. Terlebih bagi perempuan dulu. Supaya perempuan memiliki kesadaran seksual, itu menjadi bentuk kebebasan awal atas dirinya sendiri. Seberapa jauh ia memiliki hasrat seksual, bagaimana ia bisa mengkomunikasikan dengan baik ketika menolak sebuah ajakan untuk berhubungan seksual, dan membuat batasan-batasan sendiri sejauh mana ia merasa dilecehkan. Setelah aku pertimbangkan ulang, pelecehan seksual, tidak bisa dipukul rata untuk semua perempuan atas patokan macam-macam jenis pelecehan seksual. Aku rasa di sini pun juga perempuan bisa terlebih dahulu mengerti tubuhnya sejauh mana ia merasa dilecehkan. Misal: Aku dan kawan perempuanku sama-sama disentuh payudaranya oleh seorang laki-laki. Tapi di situ, aku tidak merasa dilecehkan, tetapi temanku merasa dilecehkan (walau bukan berarti memang demikian). Atau dengan contoh lain, ketika jalan di pasar aku mendapat catcalling oleh seorang tukang parkir bersama kawan perempuanku, di situ aku merasa dilecehkan tetapi tidak dengan kawanku.
Dengan kesadaran seksual yang terwujud bagi perempuan, perbandingan hasrat seksual antara laki-laki dan perempuan mungkin tidak akan timpang. Kebebasan seksual bagi perempuan, berarti memungkinkan laki-laki akan lebih mudah mendapatkan pasangan untuk melampiaskan hasrat seksualnya secara santun dan lebih mudah, tanpa harus menyakiti perasaan orang lain. Dengan kesadaran seksual antara laki-laki dan perempuan yang seimbang, akan terjadi pula hubungan seksual dengan harmonis dan kesepakatan bersama. Dari situ juga bisa menurunkan terjadinya pelecehan seksual atau bahkan pemerkosaan, karena laki-laki akan lebih mudah melampiaskan hasrat seksualnya dengan baik, ketika laki-laki maupun perempuan memiliki kesadaran seksual.
Perempuan hidup tidak hanya untuk memuaskan laki-laki. Seks harus saling memuaskan antar kedua orang yang bersepakat menjalaninya. Selain itu, menurut saya, seks memang seharusnya bebas. Bebas, sebebas-bebasnya. Dan di sini bisa dilihat betapa kurang ajarnya kekangan seksual telah berani mengontrol tubuh kita, dan membentuk kita menjadi manusia yang tak punya kuasa atas tubuh kita sendiri. Kalau aku pribadi ya jelas aku tidak terima dengan hadirnya kekangan seksual, aku dengan lantang menolak apa pun itu yang berani mengambil alih kuasaku atas hidupku, apalagi tubuhku. Padahal kalau kita memahami betul, seperti dijelaskan di atas, kita tidak harus menikah jika hanya untuk melakukan hubungan seksual.
Hal ini tidak bisa dibiarkan terus terjadi. Kekangan seksual yang merenggut kesadaran seksual manusia harus dihancurkan. Kesadaran seksual harus kita renggut kembali. Tapi, dengan perlahan aku ingin mengajak siapa pun yang mau untuk mengenali dirinya sendiri terlebih dahulu, dari situ kita bisa lebih memilah mana yang pantas kita terima, atau tidak untuk kehidupan kita. Walaupun itu sudah berlangsung dalam kehidupan saya sekarang ini, dengan berbagai macam latar belakang, terkadang saya merasa terhambat untuk memenuhi hasrat yang meledak-ledak ketika saya sange, (karena saya memang perempuan yang bisa disebut mudah terangsang ketika melihat laki-laki tampan, atau tubuhnya menggairahkan, atau bahkan suasana pun juga dapat menjadi pemicu terangsangnya hasrat seksual saya). Karena ternyata tidak semua laki-laki (yang umumnya sudah dianggap normal-normal saja ketika ia berbicara atau bahkan bertindak seksual), bisa menerima keberadaan perempuan yang mudah sange, seperti saya. Bahkan malah dianggap sebagai sesuatu yang menjijikan apabila pikiran-pikiran cabul muncul dari otak perempuan. Dari pengalamanku ini, aku jadi teringat kata Emma Goldman “Seorang gadis juga mempunyai hasrat dan gairah liar soal sifat seks dirinya, memuaskan sifat alamiahnya. Tapi para moralis tersinggung saat memikirkan bahwa seorang gadis boleh melakukannya.”
Apabila kekangan seksual oleh sistem ini terus dilanggengkan, akan sangat disayangkan jika kita hidup, lalu mati dengan meninggalkan satu hal yang seharusnya itu menjadi kuasa sepenuhnya atas diri kita, yaitu hasrat seksual kita, dan akan semakin banyak pula korban-korban berjatuhan, tidak hanya orang yang dirugikan saja (misal: korban pelecehan seksual) yang patut disebut korban, tetapi si pelaku pun (yang disebut orang yang diuntungkan) juga menjadi korban tidak langsung atas sistem yang berlaku saat ini. Dari pernyataanku di atas yang sudah menjelaskan bahwa pelaku pelecehan seksual juga termasuk korban kekangan seksual, walaupun bukan berarti juga aku membenarkan mereka, mungkin bisa menjadi pertimbangan ulang di balik kampanye-kampanye para “feminis” yang dengan mati-matian menyudutkan pelaku pelecehan seksual, ada korban yang tak terlihat, yaitu pelaku.
Bukankah itu sama halnya ketika para “feminis” tidak terima karena masih banyak orang yang justru semakin menyudutkan korban pelecehan seksual (dengan alasan klise; pakaian yang dikenakan, perilaku perempuan, dan lain-lain), di sini pun juga aku tidak menyalahkan tindakan para “feminis” tersebut, tapi jika ditelusuri lebih dalam lagi, laki-laki bukan hanya ikut serta menjadi korban patriarki, tetapi juga menjadi korban kekangan seksual. Lalu apa yang salah dari kejadian tersebut? Salahkah jika manusia melakukan sesuatu demi kenikmatan dirinya sendiri? Yang seharusnya bisa lebih mudah didapatkan tanpa harus melakukan suatu pemaksaan atau disebut merugikan orang lain untuk bisa mendapat kesempatan berhubungan seksual dengan orang lain. Ibarat saja orang miskin, yang harus memberi makan seisi rumah, dan ia mencuri atau merampok milik orang lain, atas dasar kebutuhan, ia melakukannya. Dan lagi-lagi hal itu terjadi karena sistem yang menindas kaum-kaum yang miskin ini.
Dengan demikian, gerakan feminis juga jangan melanggengkan kekangan seksual ini dengan membatasi kecabulan atau mematikan hasrat seksual pada dua jenis kelamin. Ini tidak menyelesaikan masalah. Saya perempuan, saya merasa bahwa saya memiliki imajinasi seksual atau yang sering disebut “otak cabul”, dan selama ini tidak pernah sekalipun saya berpikiran atau bahkan melakukan tindak pelecehan seksual. Namun bagaimana bisa dengan kejinya mereka berteriak menyerukan bahwa otak cabullah yang menjadi penyebab utama terjadinya pelecehan seksual dan yang menjadi tujuan saya menulis ini, sudah seharusnya kita sadar akan kehadiran seksualitas di hidup manusia bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan lagi. Ya! itu omong kosong! Dan satu lagi, kekangan seksual itu sendiri pun ternyata juga menyebabkan menurunnya hasrat seksual pada manusia, terutama lagi bagi perempuan, sehingga banyak juga manusia yang tidak sadar bahwa ada satu kebutuhan yang tertinggal, dan bahkan terlupakan, atau secara tidak sadar dipaksa melupakan, dan ditambah dengan dipersulitnya untuk memenuhinya hasrat tersebut oleh negara, agama, dan moralitas, jadi dapat disimpulkan bahwa di sini kita sama-sama ditindas oleh kekangan seksual dan harus kita ambil kembali untuk menuju kebebasan seksual dan menjadikan kehidupan, ya.. paling tidak menjadi lebih baik, walaupun memang sejatinya hidup itu memuakan.