oleh Ni Nyoman Oktaria Asmarani
Durasi baca: +30 menit.
Pada tahun 1975, Rosemary Radford Ruether menulis bahwa perempuan harus menyadari tidak akan ada pembebasan bagi mereka. Tidak akan ada pula solusi terhadap krisis ekologi di dalam masyarakat yang hubungan dasarnya adalah dominasi. Sehingga, mereka harus menyatukan tuntutan gerakan perempuan dengan gerakan ekologi untuk mencapai pembebasan perempuan dan juga membenahi krisis ekologi itu sendiri.[1] Kaum feminis dan para perempuan ahli ekologi kemudian mulai melihat hubungan paralel antara kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan oleh sistem patriarki dengan eksploitasi terhadap Bumi oleh sistem ekonomi kapitalisme. Kesadaran ini timbul karena dalam sistem patriarki, perempuan dan Bumi adalah objek dan properti yang layak dieksploitasi.[2] Melihat latar belakang tersebut maka lahirlah gerakan sekaligus teori yang disebut Ekofeminisme.
Bagi salah satu tokoh ekofeminis awal, Karen J. Warren, ekofeminisme adalah istilah umum untuk berbagai posisi berbeda yang terkait dengan hubungan ini, yakni interkoneksi “perempuan-other human Others-alam” [sic]. “Others” (“Yang lain”) merujuk kepada isu dominasi, eksploitasi, dan kolonisasi kelompok tertentu yang memiliki status yang tersubordinasi.[3] Term ekofeminisme sendiri dicetuskan pertama kali—sebagai ecofeminisme—oleh Françoise d’Eaubonne dalam karyanya, Le Féminisme ou La Mort (1974) yang merujuk pada gerakan perempuan yang bertujuan untuk menyelamatkan Bumi.
Warren berpendapat bahwa kaum ekofeminis mengklaim adanya hubungan penting antara dominasi laki-laki terhadap perempuan, anak-anak, orang-orang kulit berwarna (people of color), dan orang miskin—disebut “human Others”, serta dominasi manusia terhadap binatang, hutan, tanah, air, dan sebagainya (“earth Others”). Dengan demikian, kaum ekofeminis menempatkan diri mereka di persimpangan gerakan feminis, anti-rasis, dan gerakan lingkungan, serta kritik terhadap kapitalisme, heteroseksisme, homofobia, dan bentuk penindasan lainnya.[4]
“Alam adalah isu feminis” dapat disebut sebagai slogan kaum ekofeminis. Slogan ini menerangkan bahwa pohon, air, produksi makanan, hewan, tumbuhan, racun, dan dominasi terhadap alam non-manusia adalah isu feminis. Dengan memahami persoalan-persoalan tersebut, kaum ekofeminis dapat memahami interkoneksi antara dominasi perempuan dan juga kelompok manusia lain yang tersubordinasi (“Other human Others”), serta dominasi terhadap alam non-manusia.[5]
Kerusakan alam adalah isu perempuan sebab perempuan dan anak-anak adalah kaum yang terkena dampak terbesar. Ini disebabkan oleh faktor-faktor yang saling berkaitan, salah satunya yang terbesar adalah kemiskinan. Anders Wijkman dan Lloyd Timberlake, seperti dikutip Warren, mengatakan bahwa bagian terbesar populasi kaum miskin adalah perempuan dan anak-anak yang semakin lama jumlahnya semakin meningkat. Kemiskinan ini semakin diperparah dengan faktor ras, etnisitas, dan usia.[6]
Kesehatan perempuan dan anak-anak, terutama di komunitas kaum kulit berwarna yang miskin, sangat dipengaruhi dan dirugikan oleh praktik lingkungan yang berbahaya. Misalnya di beberapa wilayah pedesaan yang masyarakatnya mengandalkan hidup dari alam, kelangkaan air mengakibatkan perempuan semakin sulit untuk bisa mengakses air bersih dan menjaga ketahanan pangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.[7]
Tak hanya di negara berkembang, di negara maju seperti Amerika Serikat dan Kanada, literatur tentang kepekaan kimia (chemical sensitivity) menunjukkan bahwa kepekaan manusia terhadap zat formaldehida sangat terkait gender (jumlah kasus perempuan dua sampai tiga kali lebih banyak daripada laki-laki) dan bergantung usia (anak-anak dan perempuan yang lebih tua adalah yang paling rentan). Di Great Lakes Basin, Amerika Serikat, kandungan pestisida, logam berat, PCB (polychlorinated biphenyls), dan dioksin tidak hanya menghasilkan gangguan reproduksi, kanker, tumor pada ikan dan mamalia, serta kelainan bentuk pada larva serangga, tetapi juga pada jaringan manusia. PCB telah berkontribusi terhadap hasil reproduksi yang merugikan (termasuk penurunan jumlah sperma pada laki-laki), rendahnya berat badan bayi yang lahir, bayi yang lahir dengan lingkar kepala yang lebih kecil, tingkat kanker yang meningkat, penyakit peredaran darah, dan penyakit terkait sistem kekebalan tubuh.[8]
Di sisi lain, ketika perhatian mengenai perubahan alam mulai meningkat, Paul Crutzen dan Eugene Stoermer menyatakan bahwa kita sudah tidak berada pada epos Holosen, tapi dalam Antroposen Bagi mereka, kita sudah seharusnya menitikberatkan peran sentral manusia dalam geologi dan ekologi dengan menggunakan term Antroposen sebagai epos geologi saat ini.[9]
Peralihan ini besar dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang telah merasuk sangat dalam sehingga mengalahkan kekuatan besar Alam itu sendiri.[10] Hal tersebut menandakan bahwa kini manusia telah mengubah tatanan Bumi pada Holosen dan karenanya telah menjadi faktor geologis utama penentu gerak alam. Perubahan akibat aktivitas manusia pada sistem Bumi sangat besar sehingga sistem Bumi itu berubah secara fundamental. Perubahan ini terlihat pada daratan, atmosfer, perairan, laut, keragaman hayati, perubahan karbon, nitrogen, fosfor, dan sulfur.
Antroposen kemudian menjadi suatu tantangan baru bagi asumsi-asumsi kaum ekofeminis. Salah satu fungsi ekofeminisme yang bertujuan untuk menjaga dan menyembuhkan alam dengan cara sebisa mungkin mengembalikannya ke keadaan yang semula—yang dianggap kaum ekofeminis adalah keadaan yang lebih baik daripada saat ini—kemudian patut untuk dipertanyakan kembali. Hal ini disebabkan karena ketika Bumi berpindah dari satu epos geologi ke epos geologi yang lain, Bumi tidak dapat kembali ke epos geologi sebelumnya.[11] Ketika Bumi sudah memasuki epos geologi yang baru, itu menandakan bahwa Bumi telah berubah secara fundamental dan oleh karenanya tidak dapat “dikembalikan” seperti semula. Selain itu, epos Antroposen sendiri berbeda dengan Holosen, sebab Bumi dianggap tidak memiliki karakteristik yang statis—seperti karakteristik yang diandaikan pada Holosen.
Oleh karena itu, perlu adanya kritik terhadap gagasan-gagasan ekofeminisme dan juga melihat relevansinya pada era Antroposen ini. Dalam beberapa kritik yang akan saya sampaikan, dapat dilihat pula betapa ekofeminisme adalah gagasan yang saling tumpang tindih dan seringkali tidak mendukung satu sama lain untuk menjadikannya sebuah bentuk teori yang utuh. Perlu untuk digarisbawahi bahwa apa yang saya lakukan di sini bukanlah untuk sepenuhnya menentang gagasan ekofeminisme. Saya hanya mencoba untuk melihatnya secara lebih kritis.
Tentang Hubungan Perempuan dan Alam
Ekofeminisme hadir sebagai suatu bentuk teori dan gerakan karena adanya hubungan kuat antara perempuan dan alam. Ketika perempuan melihat adanya kerusakan pada alam, mereka menyadari adanya hubungan yang sangat kuat antara represi patriarki terhadap perempuan dan dominasi manusia terhadap alam. Bagi Ynestra King, dengan menentang patriarki yang tak hanya merusak perempuan namun juga alam ini, perempuan dapat merasa bertanggung jawab terhadap Bumi dan generasi yang akan datang.
“Kami memiliki pemahaman mendalam dan khusus tentang hal ini baik melalui sifat, maupun pengalaman kami sebagai perempuan.”[12]
Bagi kaum ekofeminis, korporasi-korporasi melakukan represi terhadap alam. Represi ini kemudian mereka anggap sebagai sesuatu yang mirip dengan represi patriarki terhadap perempuan. Maka dari itu, kaum ekofeminis semakin yakin bahwa ada hubungan yang kuat antara perempuan dan alam. Pertanyaannya sekarang adalah, dari mana kesadaran seperti ini berasal? Apakah memang benar ada hubungan antara perempuan dan alam? Apakah itu menjadikan perempuan lebih “hijau” dibanding laki-laki? Apakah persoalan alam sebaiknya memang diatasi oleh perempuan karena merekalah yang memiliki ikatan spesial tersebut? Saya akan mencoba membedahnya di sini.
Menurut Janet Biehl, terdapat sebuah kesalahan mendasar dari apa yang kita sebut sebagai ekofeminisme saat ini, dan apa yang sebenarnya dirumuskan oleh d’Eaubonne di tahun 1974. Hal ini bermula dalam karya Paul Ehrlich, The Population Bomb (1968). Dalam buku tersebut, disebutkan bahwa apa yang merusak planet Bumi adalah populasi manusia yang berlebihan. Ehrilch menyarankan bahwa hal terbaik yang bisa dilakukan manusia untuk Bumi adalah dengan menolak bereproduksi. Beberapa tahun kemudian, dalam Le Féminisme ou La Mort, d’Eaubonne melihat bahwa separuh populasi manusia di Bumi yakni perempuan, tidak memiliki kekuatan untuk membuat pilihan itu sebab mereka tidak mengendalikan reproduksi mereka sendiri. Sistem patriarki lah yang menginginkan perempuan untuk terus menerus bereproduksi.[13]
Akan tetapi, perempuan bisa dan harus melawan, kata Eaubonne, dengan menuntut kebebasan reproduksi: yakni akses mudah untuk aborsi dan kontrasepsi. Kebebasan itu kemudian dapat mengemansipasi perempuan dan menyelamatkan planet ini dari kelebihan populasi.
“Hubungan pertama antara ekologi dan pembebasan perempuan adalah pembaharuan oleh perempuan dalam pertumbuhan penduduk, yang akan mendefiniskan ulang kepemilikan tubuh mereka sendiri.”[14]
Beberapa ahli lingkungan Amerika kemudian mengambil term ekofeminisme tapi menerapkan arti yang berbeda untuk itu. Mereka ingat bahwa penulis buku tentang lingkungan, Silent Spring (1963), adalah seorang perempuan, yakni Rachel Carson. Mereka juga melihat bahwa perempuan banyak memimpin demonstrasi untuk menentang pembangkit listrik tenaga nuklir, seperti Lois Gibbs di Love Canal, New York, dan melawan keracunan kimia di lingkungan mereka. Salah satu penulis berpengaruh yang menulis laporan Limits to Growth (1972) juga merupakan seorang perempuan, yakni Donella Meadows. Salah satu anggota partai German Greens di Jerman juga seorang perempuan, Petra Kelly. Di Inggris, sebuah kelompok yang disebut Women for Life on Earth membentuk “kamp perdamaian” di pangkalan udara Greenham Common untuk memprotes penyebaran rudal jelajah NATO. Saat itu, banyak peserta yang berkemah mengidentifikasi diri mereka sebagai ekofeminis. Akan tetapi, bagi Biehl, itu bukan bagian dari perjuangan untuk kebebasan reproduksi.
Kemudian, entah bagaimana kemudian mulai muncul pandangan bahwa perempuan dan alam memiliki ikatan khusus. Mereka bisa melihatnya dalam bahasa itu sendiri, di mana “alam” dan “Bumi” bersifat feminin; hutan “perawan”; Alam adalah “ibu” dan ia “tahu yang terbaik.” Perempuan kemudian bisa menjadi “Ibu Bumi” atau “penyihir liar”; ia adalah entitas yang sangat kuat. Sebaliknya, kekuatan yang mencoba untuk “menjinakkan alam” dan “memperkosa tanah” adalah sains, teknologi, dan akal—proyek maskulin.[15]
Maka tidak heran bila kemudian para ekofeminis mulai memiliki arah yang berbeda dari apa yang dirumuskan pada awalnya. Hal ini terlihat dalam Ecofeminism (2014), karya Maria Mies dan Vandana Shiva. Dua ekofeminis tersebut menganggap bila perempuan mulai ‘tercerahkan’ dengan pendidikan terkait reproduksi, berarti perempuan semakin diduduki oleh paradigma Utara—mereka tidak menggunakan dikotomi Barat-Timur tetapi Utara-Selatan—yang merepresi perempuan dan masyarakat negara dunia ketiga. Ini tentu jelas bertentangan dengan apa yang diharapkan oleh d’Eaubonne sebagai salah satu tujuan dari ekofeminisme itu sendiri.
“Perempuan yang berpendidikan lebih baik diasumsikan akan mempraktikkan keluarga berencana. Namun, pendidikan biasanya terlihat memisahkan hubungan perempuan dengan kelasnya dan latar belakang pedesaan atau perkotaannya. Pendidikan saja belum memecahkan masalah kemiskinan bagi banyak perempuan, juga masalah asuransi di hari tua, yang merupakan salah satu alasan mengapa masyarakat di Selatan terus memiliki keluarga besar. Dengan tidak adanya sistem jaminan sosial, anak-anak adalah satu-satunya asuransi usia tua. Kebijakan keluarga berencana selalu diperbanyak dengan argumen bahwa keluarga kecil adalah keluarga yang bahagia. Tapi UNFPA atau agen pengendali populasi lainnya tidak pernah bertanya apakah sebenarnya mengurangi jumlah anak dalam keluarga telah membuat mereka lebih bahagia atau lebih makmur. Kita hanya bisa membaca kesenjangan antara orang kaya dan miskin Selatan semakin melebar.”[16]
Saya tidak menuliskan kutipan ini dengan bermaksud mengatakan bahwa semua yang dilakukan secara tradisional sesuai nilai-nilai di tiap negara dunia ketiga adalah sesuatu yang salah. Akan tetapi, ketika Mies dan Shiva mengatakan bahwa kontrol kelahiran adalah sesuatu yang tidak cocok dilakukan ketika memang Bumi sedang mengalami overpopulasi, hal itu sudah tidak sejalan dengan apa yang diharapkan oleh d’Eaubonne. Keinginan perempuan untuk bereproduksi secara terus menerus adalah salah satu tanda bahwa ia sudah menjalani apa yang sistem patriarki inginkan: perempuan yang berada dalam domestikasi keluarga.
Hal ini, bagi saya, juga menjadi salah satu dilema dari perempuan di negara dunia ketiga: tetap berpaku pada tradisinya yang bisa jadi ikut membantu dalam merusak alam, atau mulai menerima sesuatu yang datang dari negara dunia pertama—misalnya pendidikan—yang bisa jadi membuat mereka hidup dalam kehidupan yang lebih baik.
Selain itu, pertentangan dua argumen besar antara d’Eaubonne dengan Mies dan Shiva ini menjadi salah satu contoh tidak adanya persamaan paradigma dan teori antara ekofeminis satu dengan lainnya. Akan tetapi, untuk saat ini, mari kembali pada persoalan hubungan perempuan dengan alam itu sendiri.
Menurut Carolyn Merchant (1995), salah satu dari perumus awal teori ekofeminisme, ekologi memiliki kaitan erat dengan perempuan sebab,
“Kata ekologi berasal dari kata Yunani ‘oikos’, yang berarti rumah. Ekologi, kemudian, adalah ilmu tentang rumah tangga—rumah tangga Bumi. Hubungan antara Bumi dan rumah secara historis telah dimediasi oleh perempuan.”[17]
Hal ini kemudian juga menjadi salah satu penguat bagi para ekofeminis bahwa ada kaitan yang kuat antara perempuan dan alam. Merupakan hal yang sangat lazim dan dapat diterima bahwa perempuan patut merawat alam dengan baik, karena alam juga memiliki karakteristik yang sama dengan mereka. Akan tetapi, hal ini menjadi sangat problematis apabila kita menilik kembali siapa dan apa yang disebut perempuan dan alam dalam diskursus ekofeminisme. Pernyataan tersebut bisa membawa para pembaca ke ranah berpikir yang sangat reduksionis; seolah menyatakan hanya ada satu alam dan satu jenis perempuan di Bumi yang sangat luas ini. Hal ini juga sempat diungkapkan oleh Catriona Sandilands bahwa,
“Ekologi menjadi ekonomi rumah tangga, planet Bumi menjadi rumah tangga, dan hubungan kompleks perempuan dengan kedua hal di atas menjadi ‘mediasi’. Perempuan mana yang melakukan mediasi, sifat apa yang terlibat dalam mediasi, dan yang disebut oleh ‘perempuan’ dan ‘alam’ adalah pertanyaan yang tidak ditanyakan, dan Merchant (seperti banyak ahli ekofeminisme lainnya) sepertinya tidak merasa perlu untuk menginterogasi hal-hal tersebut; identitas solid ‘perempuan’ menjadi penting melalui hubungan spesifik dengan metafora tertentu dari ‘alam’.”[18]
Bahkan sejak ekofeminisme pertama kali dirumuskan, tidak ada pandangan kritis terhadap apa yang dimaksud dengan alam dan perempuan. Konsep alam dan perempuan diterima begitu saja sehingga melahirkan gagasan bahwa represi terhadap perempuan adalah setara dengan represi terhadap alam. Terkait apa dan siapa perempuan itu, apa dan bagaimana alam itu, adalah sesuatu yang tidak dibahas secara mendalam oleh kaum ekofeminis. Padahal, Sherry Ortner, seorang ekofeminis, secara eksplisit menyatakan bahwa kategori ‘alam’ dan ‘kultur’ (manusia), merupakan hasil kategorisasi dari manusia. Baginya, tidak ada tempat di dunia nyata di mana seseorang dapat menemukan batas sebenarnya antara kedua keadaan atau sifat itu.[19] Bahkan dengan landasan seperti ini, sebagian besar teoretikus ekofeminisme tetap menggunakan term alam dan manusia (atau perempuan) tanpa membedahnya lebih dalam. Maka tidak mengherankan bila gagasan-gagasan dalam teori ekofeminisme tampak tidak seirama satu sama lainnya.
Akan tetapi, untuk melanjutkan tulisan ini, mari kita andaikan bahwa kita sudah menerima bahwa ekofeminisme adalah soal perempuan dan alam, serta keterkaitannya terhadap kerusakan satu sama lain.
Mari kita kesampingkan terlebih dahulu siapa yang dimaksud perempuan dan alam itu. Namun, ketika kita mencoba untuk mulai percaya bahwa perempuan dan alam memiliki hubungan erat, Ortner datang dengan membawa pemahaman yang berbeda.
Bagi Ortner, perempuan didefinisikan atau disimbolkan sebagai sesuatu yang nilainya didegradasi di setiap kultur. Perempuan memiliki tingkatan yang lebih rendah daripada kultur itu sendiri. Oleh karenanya, hal yang dapat dipadankan dengan sesuatu yang lebih rendah daripada kultur tersebut adalah natur (alam). Agenda politik Ortner terlihat jelas karena pada akhirnya ia menginginkan baik laki-laki maupun perempuan mampu dan harus terlibat bersama-sama dalam apa yang ia sebut sebagai proyek “kreativitas dan transendensi”. Baru pada saat itulah perempuan dilihat selaras dengan budaya, dalam dialektika yang terus berlanjut dengan alam.[20]
Namun, ternyata apa yang Ortner katakan justru tidak sesuai dengan agenda dari d’Eaubonne. Sebab, d’Eaubonne merayakan hubungan antara perempuan dan alam sebagai sarana untuk memberikan kembali nilai pada aspek-aspek kehidupan yang telah terdegradasi dan terdistorsi oleh sistem patriarki:
“Oleh karena itu, akan terbukti bahwa tidak ada kelompok manusia lain yang dapat membawa revolusi ekologis selain perempuan; sebab tidak ada manusia lain yang secara langsung peduli terhadap alam di semua tingkatan.”[21]
Dengan begini, kembali terjadi ketidakseragaman antara satu ekofeminis dan lainnya. Hal tersebut terlihat dalam gagasan bahwa memang perempuan lah yang lebih mampu untuk memperbaiki, merehabilitasi alam. Mari kita bedah satu per satu bagaimana sesungguhnya hal itu tidak bisa dengan mudah diterima.
Diskusi kaum ekofeminis tentang hubungan erat antara perempuan dan alam mengambil dua bentuk besar. Pendukung “argumen berbasis tubuh” mengklaim bahwa perempuan, melalui pengalaman tubuh mereka yang unik yakni ovulasi, menstruasi, kehamilan, persalinan, dan menyusui, mendekati dan dapat lebih mudah terhubung dengan alam. Sedangkan pendukung “argumen penindasan” mendasarkan keyakinannya pada pembagian kerja seksual dan penindasan terhadap perempuan sebagai penyebab kaum perempuan mengembangkan wawasan dan hubungan khusus dengan alam.[22] Para ahli ekofeminisme, menurut Karen J. Warren, biasanya juga memperoleh dasar-dasar etika berdasarkan nilai feminin misalnya dari “perawatan, cinta, pertemanan, kepercayaan, dan timbal balik yang sesuai”[23], yang dimaksudkan untuk mengatasi segala bentuk dominasi.
Kita mesti sangat berhati-hati jika ikut mendukung argumen bahwa pengalaman-pengalaman tubuh perempuan membuatnya menjadi lebih superior—tidak lagi hanya sekadar berbeda—daripada laki-laki dalam hubungannya dengan alam. Ketika pengalaman perempuan dalam bermenstruasi, melahirkan, menyusui, dan merawat anak-anaknya dapat disebut sebagai sesuatu yang identik dengan kerja-kerja ‘ibu Bumi’ yang selalu memberi, menumbuhsuburkan makhluk hidup dan memberikannya tempat berlindung, bersedia untuk berkorban demi kebutuhan mereka; bereproduksi, bagaimana dengan pengalaman hidup laki-laki? Bukankah laki-laki dan perempuan sama-sama mengalami proses biologis seperti makan, tidur, ekskresi, sakit, dan mati, layaknya semua makhluk hidup lainnya, tak hanya perempuan? Bahkan, menurut Catherine Roach, melalui ejakulasi air mani, laki-laki memiliki pengalaman tentang reproduksi kehidupan.[24]
Robyn Eckersley menyarankan bahwa “walaupun terdapat perbedaan pengalaman tubuh antara laki-laki dan perempuan, tidak ada alasan mengapa seseorang harus diangkat secara sosial lebih tinggi dari yang lain”. Sehingga masih perlu dipertanyakan kembali apakah “perumpamaan tubuh” perempuan lebih “alami” daripada laki-laki. Kita merendahkan status laki-laki kepada status “Yang lain” hanya karena mereka tidak secara aktif berpartisipasi dalam kesadaran tubuh yang menjadikan perempuan menjadi lebih dekat dengan alam. Jika itu terjadi, secara tidak langsung kita hanya membalikkan dualisme hierarkis antara perempuan dan laki-laki, yang sesungguhnya ingin dihapus oleh kaum ekofeminis itu sendiri.[25]
Identifikasi berlebihan terhadap perspektif perempuan dalam memandang alam sehingga menerimanya secara tidak kritis adalah suatu hal yang sangat gegabah untuk dilakukan oleh kaum ekofeminis. Eckersley menunjukkan tiga sisi di mana pengalaman perempuan yang dianggap “istimewa” dapat menghambat proses emansipatoris dalam menghadapi alam saat ini. Pertama, analisis semacam itu bisa mengabaikan sejauh mana peran perempuan dalam proses kehancuran ekologis di masa lalu. Adanya identifikasi berlebihan terhadap pengalaman perempuan membuat imaji bahwa perempuan adalah makhluk yang paling tidak berdosa. Bahkan, dalam kata lain, perempuan jauh lebih tidak berdosa dibanding laki-laki dalam kaitannya dengan kehancuran alam; kehancuran alam hanyalah disebabkan oleh perbuatan laki-laki semata. Kedua, hal tersebut gagal untuk mengidentifikasi berbagai cara di mana laki-laki sendiri menderita stereotip “maskulin”. Dengan begitu, laki-laki dianggap memiliki kedudukan yang sama: hanya sebagai perusak alam dan itu disebabkan oleh identifikasinya dengan sifat maskulin. Ketiga, tidak responsif terhadap dampak dari dinamika sosial lainnya dan menaruh prasangka yang tidak terkait dengan masalah gender.[26] Dengan begitu, kedua argumen dalam diskursus besar ekofeminisme, argumen berbasis tubuh dan berbasis pengalaman, sangatlah reduksionis dan tidak dapat dibenarkan sepenuhnya.
Sifat Ideal Perempuan, Apa dan yang Mana?
Kaum ekofeminis sepertinya tetap mengakui bahwa karakteristik perempuan seperti selalu “merawat” dan “memelihara” mesti menjadi bagian dari etika lingkungan ekofeminis. Terlepas dari apakah perempuan telah mengembangkan hubungan khusus dengan alam melalui argumen tubuh atau argumen penindasan historis mereka. Hal yang mudah ditangkap dari argumen kaum ekofeminis adalah, mengganti karakteristik manusia bermodel maskulin dengan model yang lebih feminin.
Val Plumwood juga menyebut ihwal logika dari kaum ekofeminis terkait karakteristik ideal. Menurutnya, jika strategi maskulinisasi menolak karakter feminin ideal dan menggunakan karakter maskulin ideal untuk semua orang, maka sebaliknya, strategi feminisasi menolak karakter maskulin dan menyetujui karakter feminin untuk semua orang. Ada dua cara yang dapat digunakan dalam strategi feminisasi: pertama, melengkapi model maskulin dengan cara menggunakan sifat-sifat yang tidak digunakan oleh model maskulin; kedua, merayakan perbedaan antara karakter perempuan dan karakter maskulin yang ideal.[27]
Feminisasi karakter perempuan ideal berkisar pada konsep ideal perempuan. Namun pertama-tama, kita mesti mencari tahu, apa yang disebut dengan konsep ideal perempuan? Apa saja ciri-cirinya? Apakah memang ada karakteristik bawaan perempuan, atau karakteristik itu hanya merupakan konstruksi saja? Menurut Plumwood, karakter feminin yang sebenarnya bahkan tidak diketahui atau belum diketahui untuk bereksistensi.
“Karena tidak ada perempuan yang karakternya membentuk basis ideal, posisi ini memicu pencarian semacam esensi feminin yang mengabaikan ekspresi dalam masyarakat saat ini, namun muncul sebagai potensi yang belum terealisasi, sangat tidak terealisasi yang dalam beberapa versi bahkan secara esensi hampir tidak dapat diekspresikan.”[28]
Tentang Etika Kepedulian
Salah satu hal yang menjadi landasan dari ekofeminisme adalah etika kepedulian. Etika ini dapat hadir karena berhubungan dengan adanya karakteristik ideal perempuan, seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Jika karakteristik ideal perempuan, lebih tepatnya karakteristik feminin ideal masih sangat problematis untuk diajukan sebagai landasan etika ekofeminisme, maka kita juga harus mempermasalahkan produk dari karakter tersebut, yakni etika kepedulian itu sendiri.
Etika kepedulian digagas Carol Gilligan, seorang ahli psikologi, melalui studinya terkait perkembangan gender dan moral di tahun 1980-an. Dalam studi psikologis tersebut, terlihat bahwa perempuan memiliki nilai kepedulian, pemeliharaan, dan penjagaan hubungan yang baik—yang secara kebetulan memiliki asosiasi yang sama dengan perempuan dalam budaya patriarki Barat. Dalam usaha untuk membawa pengalaman perempuan dalam pengembangan teori etika feminis, teoretikus feminisme dan ekofeminisme telah menerapkan etika kepedulian berdasarkan tiga hal: (1) Perempuan dan anak perempuan dalam studi Gilligan menampilkan ketertarikan yang lebih pada kepedulian dan hubungan baik daripada hak dan tanggung jawab institusional abstrak. (2) Dalam budaya di mana kebanyakan teoretikus feminisme berada, perempuan dianggap lebih mampu mengasuh dan merawat daripada laki-laki, baik untuk alasan alami atau sosial. (3) Pertimbangan etis tentang kepedulian dan keintiman jauh kurang menonjol dalam sejarah filsafat dan sejarah institusi politik, terutama di Barat, daripada pertimbangan tindakan benar dan salah.[29]
Tidak mengherankan, “perempuan pada dasarnya lebih dekat dengan alam” adalah klaim yang paling umum dikritik oleh kritikus ekofeminisme. Klaim tersebut bersifat regresif sebab secara tidak langsung memperkuat dominasi patriarki itu sendiri. Hal itu hanya akan mengabadikan gagasan bahwa asumsi biologi menentukan ketidaksetaraan sosial antara laki-laki dan perempuan. Pandangan bahwa “biologi adalah takdir” telah secara aktif dikritik oleh feminis selama hampir setengah abad. Kini, ekofeminisme seolah-olah merayakannya dan menggunakannya sebagai basis dari etikanya. Hal ini akhirnya memicu Biehl yang beranggapan bahwa etika yang didasarkan pada sifat perempuan yang konstan seperti itu sangat membatasi karena tidak memberi ruang bagi evolusi “kesadaran, akal dan kebebasan” bagi perempuan. Oleh karena itu, perempuan dibatasi pada peran mereka dalam mengasuh dan tidak memiliki harapan untuk melampaui itu.[30]
Biehl berpendapat bahwa bahkan orang yang paling ‘peduli’ pun tidak dapat memperluas perhatian mereka kepada semua manusia lainnya. Mereka tentu saja tidak dapat memperpanjang perawatan mereka seperti seorang ibu akan merawat anak-anaknya atau keluarganya kepada setiap orang di dunia ini. Dia menyatakan,
“Sebagai emosi, ‘peduli’ tidak dapat diuniversalisasi sebagai dasar untuk organisasi sosial di luar kelompok kecil seseorang—terlepas dari apakah ia berbasis kekerabatan atau tidak. Tidak pula ada jenis kepedulian yang dirasakan seorang ibu (atau ayah) bagi seorang anak yang dapat diuniversalisasikan. Untuk merawat semua orang hanya akan meremehkan konsep kepedulian dan menjadikannya tidak berarti dan tidak fokus.”[31]
Pada akhirnya, di sini jelas terlihat bahwa etika kepedulian bukanlah suatu pandangan etika yang tepat untuk digunakan dalam ekofeminisme. Etika ini juga tidak tepat digunakan dalam memandang dinamika alam yang saat ini dianggap sedang membawa kita ke suatu “kiamat”.
Tentang Ibu Bumi
Dunia kita yang hilang itu adalah dunia organik. Setidaknya, itu yang dikatakan oleh Carolyn Merchant (1990). Baginya, manusia telah hidup dalam hubungan yang organic sejak waktu yang dia tidak ketahui hingga tahun 1500-an. Saat itu, interaksi dengan alam masih sangat terstruktur secara kooperatif dan organik untuk kebanyakan masyarakat Eropa dan negara-negara lain. Dengan demikian, tidaklah mengherankan bahwa bagi masyarakat Eropa abad XVI, metafora organismelah yang mengikat diri, masyarakat, dan kosmos. Sebagai proyeksi dari cara orang mengalami kehidupan sehari-hari, teori organismik menekankan hubungan saling ketergantungan antara bagian-bagian tubuh manusia, subordinasi individu terhadap tujuan komunal dalam keluarga, masyarakat, dan negara, dan kehidupan vital yang menyerap kosmos ke tingkat yang paling rendah.[32]
Inti dari teori organik adalah identifikasi alam, terutama Bumi, dengan ibu yang memelihara. Ibu Bumi dicitrakan sebagai perempuan dermawan penyedia kebutuhan umat manusia di alam semesta yang terencana dan tertata. Tapi ada pula citra lain alam sebagai perempuan ini, yakni liar dan tak terkendali, dapat membuat beragam kekerasan, badai, kekeringan, dan kekacauan. Keduanya diidentifikasi dengan jenis kelamin perempuan dan merupakan proyeksi persepsi manusia terhadap dunia luar.[33]
Bagi Merchant, metafora Bumi sebagai ibu secara bertahap lenyap sebagai citra dominan saat Revolusi Ilmiah mulai melakukan mekanisasi untuk merasionalisasi pandangan dunia. Seiring semakin mekanisnya budaya Barat di tahun 1600-an, semangat Bumi dan semangat “Bumi yang perawan” ditundukkan oleh mesin. Mentalitas yang berorientasi organik di mana asas-asas perempuan memainkan peran penting dirongrong dan digantikan oleh mentalitas yang berorientasi mekanis sehingga menghilangkan prinsip-prinsip perempuan.[34]
Bagi Merchant, narasi tentang Ibu Bumi sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia sehari-hari. Sebab, manusia selalu berhubungan dan membutuhkan alam. Baginya,
“Citra Bumi sebagai makhluk hidup dan ibu pengasuh telah berfungsi sebagai kendala yang membatasi tindakan manusia. Seseorang tidak mudah membunuh seorang ibu, menggali isi perutnya untuk emas atau memutilasi tubuhnya, meskipun pertambangan komersial akan segera membutuhkannya. Selama Bumi dianggap masih hidup dan sensitif, perlakuan destruktif manusia terhadapnya bisa dianggap sebagai pelanggaran etis. Bagi kebanyakan budaya tradisional, mineral dan logam matang di rahim Ibu Bumi, tambang disamakan dengan vaginanya, dan metalurgi adalah kelahiran manusia dari kelahiran logam hidup di dalam rahim. Penambang menawarkan perdamaian kepada dewa-dewa tanah dan dunia bawah tanah, melakukan pengorbanan seremonial, mengamati kebersihan, pantangan seksual, dan puasa yang ketat sebelum melanggar kesucian Bumi yang hidup dengan menenggelamkan sebuah tambang. Pandai besi mengambil tanggung jawab yang mengagumkan dalam mempercepat kelahiran logam melalui peleburan, penggabungan, dan pemukulan dengan palu dan landasan; mereka sering diberi status dukun dalam ritual kesukuan dan alat mereka dianggap memiliki kekuatan khusus.”[35]
Metafora Ibu Bumi kemudian menjadi problematis ketika dilihat dari segi yang berbeda. Sebab, pada kenyataannya, alam adalah dirinya sendiri. Dia bukanlah manusia laki-laki atau manusia perempuan. Ia tidak bisa dengan mudah direduksi sebagai entitas yang dapat disamakan dengan manusia. Jika memang ekofeminisme sangat menentang adanya dominasi manusia terhadap alam, termasuk pandangan antroposentrisme, narasi Ibu Bumi kemudian menjadi sangat tidak relevan sejak awal. Elizabeth Dodson Gray menyatakan bahwa “tanah yang kita pijaki bukanlah Ibu Bumi; melainkan tanah yang memiliki unsur kimiawi dan biologis tersendiri yang kita sendiri pun juga harus pahami dan hormati.”[36] Hal ini menunjukkan bahwa jika memang kita mesti menghormati alam, hal itu dilakukan sebagai penghormatan atas dirinya sebagai dirinya sendiri; bukan karena ia memiliki sifat-sifat yang sama dengan manusia.
Metafora Ibu Bumi kemudian juga bisa dijadikan sebuah asumsi yang keliru terhadap alam. Sebab, Ibu identik dengan sesuatu yang menyayangi dan selalu mengasuh anak-anaknya, sehingga sudah seharusnya pula ia tidak akan tega untuk membunuh anak-anaknya sendiri. Akan tetapi, apa yang kita lihat pada alam adalah tentang satu hal: ia tidak dapat diprediksi dengan tepat oleh manusia, apalagi direduksi untuk memiliki sifat-sifat yang sama seperti manusia. Oleh karena itu, akan menjadi tidak masuk akal apabila kita menganggapnya sebagai suatu entitas yang dapat disebut “Ibu”.
Tentang Menyembuhkan Ibu Bumi yang Lara
Ibu Bumi kini sedang menderita. Ia menangis tersedu sebab seluruh tubuhnya terkoyak-koyak oleh anak-anaknya— manusia—yang tega memperalatnya. Anak-anaknya hanya ingin menyejahterakan dirinya saja dan semakin lama semakin lupa, bahwa ia dilahirkan oleh rahim tak kasat mata yakni Ibu Bumi itu sendiri. Sang ibu tak lagi ingin dirawatnya, ia dicampakkan begitu saja setelah kelenjar-kelenjar payudaranya tak lagi mengalirkan air susu yang tak mereka sadari telah menghidupinya. Kini anak-anak itu ingin membangun sesuatu dari jasad Ibu Bumi yang sudah sekarat; peradaban semakin megah dengan bantuan teknologi canggih yang kepandaiannya hampir-hampir melampaui miliknya. Apa yang harus kita lakukan sebagai anak-anak Ibu Bumi?
Ternyata, yang bisa menyembuhkan Ibu Bumi yang merana itu adalah anak-anak perempuannya. Pasalnya, sang anak laki-laki yang sangat rasional itu justru membuat sang ibu sakit hingga separah ini. Anak-anak perempuan tersebut, juga ikut tersakiti! Mereka ikut menanggung derita sang ibu dengan perlahan namun pasti melalui kelaparan, kekeringan, kekurangan air bersih, penyakit-penyakit berbahaya, dan masih banyak lainnya.
Bumi saat ini bukanlah membutuhkan rasionalitas yang merusak, tapi perempuan-perempuan yang memiliki sifat lebih peka terhadap apa yang dihadapi Bumi. Perempuan mempunyai perasaan terhubung dengan ritme alam sehingga mereka secara intuitif lebih memahami keterkaitan manusia dan alam. Justru, solusi untuk kehancuran ekologi adalah ikatan khusus antara perempuan dan alam. Karena ikatan itu, perempuan bisa memberikan solusi-solusi terbaik untuk ibu sekaligus rekannya dalam hidup, yaitu Ibu Bumi. Setidaknya, hal-hal inilah yang menjadi gagasan utama dari teori sekaligus gerakan ekofeminisme.
Di daerah rural di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, Vandana Shiva dan kaum ekofeminis lain berpendapat bahwa perempuan adalah tukang kebun dan ahli hortikultura, dengan pengetahuan ahli tentang alam. Ketika maldevelopment— term dari kaum ekofeminis untuk menyebut kapitalisme internasional eksploitatif yang merajalela—yang maskulin hanya menghargai sumber daya alam sebagai komoditas potensial untuk ekonomi pasar, perempuan memahami bahwa sumber daya ini harus dihormati untuk memastikan ketersediaannya bagi generasi mendatang. Oleh karena itu, secara naluriah perempuan memberi prioritas lebih besar untuk melindungi lingkungan alam. Namun, bagaimana dengan perempuan yang memiliki aspirasi modern, berpendidikan, berkehidupan profesional, dan hidup dengan sejahtera? Bagi Biehl, kaum ekofeminis tampaknya lebih menyukai mereka bertahan dalam peran lama mereka untuk menyembuhkan Bumi: bertelanjang kaki dan berkebun.[37] Biehl melanjutkan bahwa,
“Baru-baru ini di Amerika Serikat, romantisasi hubungan perempuan-alam membuat sebuah tren yang bisa disebut sebagai kemunduran. ‘Perempuan bersandar pada hubungan dan strategi jangka panjang yang memprioritaskan generasi masa depan,’ kata Shannon Hayes, penulis The Radical Homemaker. Inkarnasi dari ibu Bumi mengantarkan perempuan dengan pendidikan tinggi dan karir professional ke sebuah kehidupan yang “berbeda”. Dia memilih tinggal di rumah untuk membesarkan keluarganya, memberi makan makanan lezat bagi anak-anaknya dari hasil panen yang dia kembangkan di halaman belakang rumahnya. Dia merawat beragam jenis hubungan, dia menghargai kesederhanaan dan keaslian— sehingga pada saat bersamaan mengurangi jejak karbonnya. Jejak karbonnya sangat kecil. Dengan demikian dia mencapai pemenuhan pribadi dan kehidupan yang berarti,atau begitulah tampaknya”[38]
Di dalam rumah, perempuan memiliki peran yang sangat vital dalam urusan membina hubungan antaranggota keluarga sekaligus hubungan dengan alam. Akan tetapi, di tingkat nasional, sebagian besar pemimpin dalam organisasi lingkungan adalah laki-laki. Berbeda dengan di tingkat lokal yang mana sebagian besar pemimpin dan anggotanya adalah perempuan.[39]
Apa yang bisa kita tangkap dari semua itu? Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa pembedaan antara karakteristik, kepekaan, kerja-kerja, bahkan solusi-solusi antara laki-laki dan perempuan pada akhirnya bersifat regresif bagi kedua belah pihak. Ekofeminisme bisa berarti regresif. Jika laki-laki mendominasi kepemimpinan lingkungan nasional, harusnya dominasi tersebut diperebutkan, tidak diterima dengan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Jika perempuan memiliki jejak karbon yang lebih kecil, maka laki-laki harus mengurangi miliknya. Jika perempuan lebih peduli dengan koneksi, maka laki-laki perlu mencari cara untuk melakukan hal yang sama pula. Jika tidak begitu, pada akhirnya, kita akan kembali ke bidang-bidang yang terpisah.
Selain itu, ada hal yang juga lebih penting untuk dikritisi: apakah bisa kita menyembuhkan alam? Apakah kita bisa mengembalikannya ke masa lampau, ke masa dimana segalanya terasa lebih baik? Jawabannya adalah tidak. Pasalnya, saat ini kita sedang berada dalam masa transisi antara Holosen dan Antroposen.
Kondisi iklim Bumi pada epos Holosen yang kurang lebih dimulai sejak 11.700 tahun yang lalu memang relatif stabil. Holosen adalah sebuah epos dimana peradaban manusia hadir; epoch of civilization. Hal ini disebabkan oleh temperatur global yang relatif stabil dibandingkan era Senozoikum secara keseluruhan. Sebelum tahun 9700 SM—awal epos Holosen—tidak ada kebudayaan yang mengembangkan tulisan atau pertanian dan hampir semua manusia hanya pernah hidup dalam model berburu dan meramu yang nomaden; hanya sedikit saja yang mampu membentuk pedesaan kecil yang tetap.[40]
Adalah sebuah keniscayaan bahwa apa yang disebut sebagai Ibu Bumi oleh kaum ekofeminis adalah Bumi pada masa Holosen. Di epos ini, manusia memang mengalami perkembangan yang membuat manusia bisa mencapai apa yang bisa mereka capai saat ini, dan itu semua karena dukungan dari alam yang hidup bersamanya. Kondisi iklim Bumi relatif stabil sehingga layak untuk ditinggali oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Bumi memberikan apa yang dibutuhkan oleh anak-anaknya.
Akan tetapi, ketika kita telah memasuki atau sedang berada dalam masa transisi menuju Antroposen, kita harus mengucapkan selamat tinggal kepada Holosen sebab kita tidak bisa kembali ke masa itu. Seradikal apapun kita melakukan agenda-agenda untuk menyelamatkan alam, kita tidak akan kembali. Maka secara otomatis, narasi Ibu Bumi yang hanya mungkin bisa digunakan di Holosen, tidak lagi relevan dalam Antroposen. Hal ini dikarenakan pergantian satu epos ke epos lain bukanlah suatu hal yang kecil. Ia menandai sebuah perubahan yang sangat besar dan mendasar dari Bumi itu sendiri. Atmosfer Bumi, samudera, batuan, tumbuh-tumbuhan, dan hewan, semuanya mengalami perubahan besar. Jadi, sekali lagi, kita tidak bisa kembali ke era Holosen.[41]
Kita tidak bisa kembali ke Holosen, atau ke epos manapun yang memberikan kita sebuah kestabilan dan segala hal-hal baik yang diberikan oleh “Ibu Bumi”. Maka, dengan begitu tujuan d’Eaubonne untuk mencapai “planet bergender feminine yang menjadi hijau kembali untuk semuanya”[42]—yang saya asumsikan sebagai tujuan dari kaum ekofeminis—sudah dipastikan gugur. Sebab dalam Antroposen, kita tidak bisa melihat sesuatu yang pasti, baik apa yang kita hadapi saat ini, atau yang ada di masa depan. Tidak ada Ibu Bumi lagi. Tidak ada Bumi yang feminin lagi. Tidak ada yang bisa mengidentifikasi seperti apa sifat Bumi saat ini.
Kesimpulan
Ketergantungan hidup manusia di Bumi adalah sesuatu yang bebas gender. Kita semua menghadapi sebuah perubahan radikal yang terjadi di masa transisi menuju Antroposen. Pada saat bersamaan, kita harus menyadari bahwa orang-orang yang sudah mengalami ketidakadilan sosial paling rentan mengalami risiko degradasi lingkungan. Namun, kita bisa mengenali fakta itu tanpa menghidupkan kembali stereotip patriarkal tentang perempuan yang “dekat dengan alam” atau beralih ke mistik ekofeminis.
Hal paling penting untuk diingat adalah bahwa apa yang kita bersama hadapi saat ini—epos Antroposen—adalah problem yang dimiliki semua makhluk hidup. Epos ini harusnya menyadarkan kita bahwa persoalan alam bukanlah semata-mata milik manusia, tapi ada persoalan lainnya yang dialami oleh makhluk di luar manusia yang bisa jadi jauh lebih besar. Sangatlah egois dan sia-sia apabila kita masih terus berdebat apakah perempuan ataukah laki-laki yang lebih pantas untuk merawat alam. Kita pun tidak akan membuat alam “memperpanjang usianya” atau “membuat keadaannya lebih baik” hanya dengan membebankan kepada satu jenis kelamin saja. Lebih dari itu, ini bukan persoalan gender ataupun manusia. Ini adalah persoalan yang dihadapi oleh setiap entitas di Bumi.
Hal yang bisa kita lakukan saat ini bukanlah lari dari krisis Holosen menuju sebuah dunia yang berkelanjutan.Kita harusnya mulai memikirkan cara untuk hidup di tengah krisis. Jadi, menurut saya, ekofeminisme belum mampu menjadi solusi terbaik dalam menghadapi krisis yang kita hadapi dalam masa transisi ini. Persoalan represi patriarki terhadap perempuan dan dominasi manusia terhadap alam memang masih relevan untuk dibicarakam di epos Antroposen ini. Akan tetapi, ekofeminisme belum bisa digunakan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, apalagi secara bersamaan Walaupun begitu, ekofeminisme mungkin masih bisa digunakan tapi tidak bisa menjadi sarana atau tujuan universal untuk seluruh manusia—dan makhluk hidup lainnya—karena fungsinya untuk menyembuhkan alam sudah tidak relevan lagi untuk digunakan di epos Antroposen. Ekofeminisme memiliki nilai-nilai yang juga dapat mengeratkan perempuan-perempuan yang tertindas, terutama di negara-negara dunia ketiga. Saya rasa kita patut untuk menghargai itu. Pun, Ibu Bumi sendiri adalah nama yang selalu disebutkan dalam setiap perjuangan perempuan-perempuan tersebut untuk alam yang mereka hidupi. Akan tetapi, akan sangat disayangkan bila kita harus menjadikan Bumi sebuah alam yang feminin untuk kelangsungan kehidupan kita bersama. Manusia seharusnya mampu untuk selalu beradaptasi bersama alam. Tidak seharusnya kita dengan naif berharap agar alam menjadi suatu tempat yang harmonis dan selalu memberi kebahagiaan untuk semua makhluknya. Hidup tidak semanis itu, bahkan dalam dongeng sekalipun.[]
Ni Nyoman Oktaria Asmarani adalah mahasiswa Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mad. Tulisan ini sebelumnya terbit di Jurnal Balairung dengan judul “Ekofeminisme dalam Antroposen: Relevankah?:Kritik terhadap Gagasan Ekofeminisme“.
Daftar Pustaka
Buku
Biehl, Janet. Rethinking Ecofeminist Politics. Boston: South End Press, 1991.
Candraningrum, Dewi, dkk. Ekofeminisme dalam Tafsir Agama, Pendidikan, Ekonomi, dan Budaya. Yogyakarta: Jalasutra, 2013.
Cuomo, Chris J. Feminism and Ecological Communities. London: Routledge, 1998.
Davies, Jeremy. The Birth of Anthropocene. Oakland: University of California Press, 2016.
Diamond, Irene and Gloria Feman Orenstein. Reweaving the World: The Emergence of Ecofeminism. San Francisco: Sierra Book Club, 1990.
Merchant, Carolyn. The Death of Nature: Women, Ecology, and Scientific Revolution. Manhattan: Harper & Row, 1990.
Mies, Maria and Vandana Shiva. Ecofeminism. London: Zed Books, 2014.
Ruether, Rosemary Radford. New Woman, New Earth: Sexist Ideologies and Human Liberation. New York: Seabury Press, 1975.
Sandilands, Catriona. The Good-Natured Feminist: Ecofeminism and the Quest for Democracy. Minnesota: Univerity of Minnesota Press, 1999.
Warren, Karen J. Ecofeminist Philosophy: A Western Perspective on What It Is and Why It Matters. Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, 2000.
Artikel Jurnal
Archambault, Anne. “A Critique to Ecofeminism”,.” Canadian Woman Studies Vol. 13 (1993).
Biehl, Janet. “Women and Nature: A Recurring Mystique.” Le Monde Diplomatique (2011).
Crutzen, Paul and Eugene Stoermer. “The Anthropocene” Global Change Newsletter Vol. 41 (2000).
Gray, Elizabeth Dodson. “Nature as an Act of Imagination.” Women of Power Vol. 9 (1988).
Ortner, Sherry B. “Is Female to Male as Nature Is to Culture?” Feminist Studies Vol. 1 No. 2 (1972).
Plumwood, Val. “Women, Humanity and Nature.” Radical Philosophy Vol. 48 (1988).
Roach, Catherine. “Loving Your Mother: On the Woman-Nature Relation.” Hypatia Vol. 6 (1991).
Steffen, Will. “The Anthropocene: Are Humans Now Overwhelming the Great Forces of Nature.” AMBIO: A Journal of the Human Environment Vol. 36 No. 8 (2007).
Warren, Karen J. “The Power and the Promise of Ecological Feminism.” Environmental Ethics Vol. 12 (1990).
[1] Rosemary Radford Ruether. New Woman, New Earth: Sexist Ideologies and Human Liberation. New York: Seabury Press, 1975, hal 204.
[2] Ynestra King. “Healing the Wounds: Feminism, Ecology, and the Nature/Culture Dualism” dalam Irene Diamond, Gloria Feman Oren-stein. Reweaving the World: The Emergence of Ecofeminism. San Francisco: Sierra Book Club, 1990, hal 106-121.
[3] Karen J. Warren. Ecofeminist Philosophy: A Western Perspective on What It Is and Why It Matters. Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, 2000, hal XIV. Interkoneksi perempuan-other human Others-alam (terjemahan dari women-other human Others-nature interconnections) adalah term yang dirancang oleh Warren untuk mendefinisikan ekofeminisme.
[4] Chris J. Cuomo. Feminism and Ecological Communities. London: Routledge, 1998, hal 24.
[5] Ibid., hal 1.
[6] Ibid., hal 8.
[7] Dewi Candraningrum, et al. Ekofeminisme dalam Tafsir Agama, Pendirikan, Ekonomi, dan Budaya. Yogyakarta: Jalasutra, 2013, hal x.
[8] Tom Muir dan Anne Sudar, “Toxic Chemicals in the Great Lakes Basin Ecosystem: Some Observations” (Burlington, Ont.: Environ-ment Canada, 1988; tidak diterbitkan) dalam Karen J. Warren. Ecofeminist Philosophy: A Western Perspective on What It Is and Why It Matters. Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, 2000, hal 11.
[9] Paul Crutzen & Eugene Stoermer. “The ‘Anthropocene’” dalam Global Change Newsletter Vol. 41, hal 17-18.
[10] Will Steffen, et al. “The Anthropocene: Are Humans Now Overwhelming the Great Forces of Nature?” dalam AMBIO: A Journal of the Human Environment, 36(8), 2007, hal 614-621.
[11] Jeremy Davies. The Birth of Anthropocene. Oakland: University of California Press, 2016, hal 5.
[12] Ynestra King. “The Eco-Feminist Perspective” dalam Maria Mies, Vandana Shiva. Ecofeminism. London: Zed Books, 2014, hal 14.
[13]Janet Biehl. “Women and Nature: A Recurring Mystique,” dalam Le Monde Diplomatique. 2011.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Maria Mies, Vandana Shiva. Ecofeminism. London: Zed Books, 2014, hal 280.
[17] Carolyn Merchant (1995) dalam Catriona Sandilands, The Good-Natured Feminist: Ecofeminism and the Quest for Democracy. Minne-sota: Univerity of Minnesota Press, 1999, hal 4.
[18] Ibid.
[19] Sherry B. Ortner, “Is Female to Male as Nature Is to Culture?” dalam Feminist Studies Vol.1 No.2 (Musim Gugur, 1972), hal 10.
[20]Ibid., hal 28. Ortner tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang ia maksud sebagai proyek “kreativitas dan transendensi”.
[21] Françoise d’Eaubonne (1974) dalam Catriona Sandilands, The Good-Natured Feminist: Ecofeminism and the Quest for Democracy. Minnesota: Univerity of Minnesota Press, 1999, hal 7.
[22] Anne Archambault, “A Critique to Ecofeminism”. Canadian Woman Studies, Vol. 13 No. 3, 1993.
[23] Karen J. Warren. “The Power and the Promise of Ecological Feminism.” Dalam Environmental Ethics. 12 (1990): 125-146.
[24] Roach, Catherine. “Loving Your Mother: On the Woman-Nature Relation.” dalam Hypatia. 6 (1991): 46-57.
[25] Robyn Eckersley (1992) dalam Anne Archambault, “A Critique to Ecofeminism”. Canadian Woman Studies, Vol. 13 No. 3, 1993.
[26] Ibid.
[27] Ibid, hal 21.
[28] Ibid, hal 21.
[29] Chris J. Cuomo. Feminism and Ecological Communities. London: Routledge, 1998, hal. 127.
[30] Janet Biehl. Rethinking Ecofemhist Politics. Boston: South End Press, 1991, hal 26.
[31] Ibid, hal 148.
[32] Carolyn Merchant. The Death of Nature: Women, Ecology, and Scientific Revolution. Manhattan: Harper & Row, 1990, hal 1.
[33] Ibid, hal 2.
[34] Ibid, hal 2.
[35] Ibid, hal 4.
[36] Elizabeth Dodson Gray. “Nature as an Act of Imagination” dalam Women of Power, 9 (Musim Semi 1988), hal 18-21.
[37] Janet Biehl. “Women and Nature: A Recurring Mystique,” dalam Le Monde Diplomatique. 2011.
[38] Ibid.
[39] Ibid.
[40] Jeremy Davies. The Birth of Anthropocene. Oakland: University of California Press, 2016, hal 146-147.
[41] Ibid, hal 2.
[42] Françoise d’Eaubonne (1974) dalam Catriona Sandilands, The Good-Natured Feminist: Ecofeminism and the Quest for Democracy. Minnesota: Univerity of Minnesota Press, 1999, hal 7.