oleh Bima Satria Putra
Paling tidak sejak Perang Vietnam, sudah lama rasanya gerakan perempuan secara global tidak tampak anti-patriotik seperti hari ini. Sepanjang bulan Juli ini saja, peran gerakan perempuan dalam penghapusan Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) di Amerika sangat besar. Para aktivis perempuan hadir dalam berbagai protes menentang deportasi, menolak pembangunan tembok perbatasan Trump, terlibat dalam berbagai pertempuran jalanan bersama anarkis dan anti-otoritarian lain dalam melawan ultra-kanan, memprotes Islamofobia, serta melakukan aksi langsung di banyak tempat publik, khususnya pendudukan kantor-kantor ICE di berbagai kota besar di perbatasan Amerika-Mexico.
Memang, sebagian besar dari mereka ada di garis politik liberal, dan mayoritas mendasari kegelisahannya secara emosional ketimbang teoritis, dengan percaya bahwa ICE harus dihapuskan karena adalah sebuah kejahatan jika memisahkan para imigran dewasa dari anak-anak mereka (ini adalah baik tentu saja, dan bahkan seorang anarkis-feminis memang harus memiliki perasaan macam ini). Argumentasi paling mentok adalah bahwa siapa pun harus punya akses yang sama pada apa yang mereka sebut sebagai American Dream, dan menyebut para pengungsi dan pencari suaka sebagai the dreamers, para pemimpi. Bagaimanapun juga, akan terus sekedar menjadi mimpi jika mengira bahwa sebatas menyambut pengungsi dengan tangan terbuka lalu memberikan mereka pekerjaan saja sudah cukup. Target yang disasar harusnya lebih jauh dari sekedar mimpi para liberal untuk menjadikan pengungsi latin dan Timur Tengah sebagai pekerja bangunan dan istri-istrinya sebagai pembantu rumah tangga dengan alasan akan membantu mengembangkan perekonomian Amerika.
Sekalipun demikian, segelintir kecil anarkis-feminis dan anti-otoritarian memainkan peranan yang dominan dalam gerakan ini, dan pengaruh mereka semakin membesar semenjak terpilihnya Trump pada awal tahun 2017 lalu. Melampaui pandangan kabur feminisme liberal, gerakan anarkis-feminis lebih maju satu abad untuk menyadari bagaimana retorika patriotisme adalah perangkat penting negara untuk membangkitkan sentimen kebangsaan yang berlebihan, dan pada akhirnya, menciptakan kepatuhan dan ketundukan rakyat.
Emma Goldman menjadi salah satu anarkis perempuan pertama yang menulis gagasan anti-patriotisme dengan berkali-kali menyerang pola asuh dalam keluarga yang memelihara pengkondisian gender dan memuja perang, “yang membisikkan kemuliaan perang ke telinga anak-anak kecil, dan bayinya tertidur dengan lagu-lagu trompet dan suara senjata.”[1] Untuk menjelaskan cara berpikir patriotisme, Emma Goldman, mengibaratkan para patriot yang memandang dunia ini terpecah-pecah menjadi bagian-bagian kecil, yang setiap bagiannya dikelilingi oleh pagar besi. Mereka yang beruntung untuk lahir di bagian tertentu menganggap diri mereka lebih tinggi derajatnya, lebih pandai dan lebih segala-galanya. Karena itu, sudah menjadi tugas setiap orang di bagian yang terpilih itu untuk harus “berperang, membunuh dan mati untuk membuktikan kebenaran dan kelebihannya kepada orang lain di luar pintu besinya.” Karenanya:
“…mereka yang tinggal di bagian-bagian lain, akan mempunyai jalan pikir yang sama. Sudah pasti demikian, karena sejak masih kanak-kanak pikiran mereka sudah diracuni dengan cerita-cerita yang penuh prasangka terhadap orang-orang Jerman, Prancis, Italia, Rusia dsb. Ketika anak-anak itu sudah menjadi dewasa, pikirannya sudah dipenuhi dengan kepercayaan bahwa dia terpilih oleh Tuhan untuk membela negaranya dari serangan orang-orang asing.”[2]
Voltairine de Cleyre, dipengaruhi oleh pendidik anarkis Spanyol Fransisco Ferrer, juga menulis bagaimana pendidikan tradisional melanggengkan patriotisme dan karenanya harus dihapus dan direformasi menjadi pendidikan modern yang mengajarkan gagasan-gagasan anti-otoritarian:
“…patriotisme yang memberontak yang sekarang sedang ditanamkan, dimana anak-anak belajar untuk bangga dengan negaranya, bukan karena kontribusinya pada pencerahan kemanusiaan secara umum, tetapi karena kejahatannya terhadap kemanusiaan; di mana mereka diajarkan untuk memandang diri mereka sendiri, negara mereka, bendera mereka, institusi mereka, sebagai hal yang harus dijunjung dan dipertahankan, entah itu benar atau salah; di mana kehidupan kriminal dan bodoh prajurit itu dimuliakan sebagai sesuatu yang terhormat, harus sepenuhnya dihilangkan dari sistem pendidikan.”[3]
Kritik-kritik perempuan anarkis di atas memang tidak orisinil, karena anti-patriotisme sendiri sudah dikampanyekan sejak anarkis Leo Tolstoy. Walau begitu, kritik ini memberikan jalan dan berkontribusi dalam kampanye anti-perang (yang sayangnya tidak sepenuhnya berhasil) di awal abad 20, yang menghancurkan nyaris seperempat permukaan bumi sebagai pekuburan. Pada bulan Mei 1917, Emma Goldman dan Alexander Berkman mengorganisir demonstrasi yang memprotes masuknya Amerika ke dalam Perang Dunia Pertama -mempertaruhkan diri menghadapi denda dan pemenjaraan ketika pemerintahan Presiden Woodrow Wilson semakin keras menumpas gerakan perlawanan anti-perang. Bersama Berkman ia kemudian ditangkap pada 1917 karena dituduh berkonspirasi menghalangi pendataan wajib militer dan dihukum penjara selama dua tahun. Selain itu, kewarganegaraan Amerika mereka dicabut dan mereka dideportasi dengan kaum Merah lainnya ke Rusia pada 1919.
Di seberang samudera Atlantik sebuah gerakan yang diwakili oleh sosok Rosa Luxemburg sebagai pelopor awal feminisme-marxis, berbagi kepercayaan yang sama dengan para anarkis bahwa perang antar-bangsa tidak lain daripada sekedar ambisi borjuis. Sementara ia mengkritik politik kaum Bolshevik, Rosa Luxemburg juga melihat perilaku Sosial Demokratik Internasional Kedua sebagai pengkhianatan penuh terhadap sosialisme. Ketika dia melihatnya, pada awal Perang Dunia Pertama, Partai Sosial Demokrat di seluruh dunia mengkhianati kelas pekerja dunia dengan mendukung borjuasi pribadi mereka sendiri dalam perang. Ini termasuk Partai Sosial Demokratik Jerman-nya sendiri (SPD), mayoritas delegasi di Reichstag (semacam dewan perwakilan) memilih untuk perang. Rosa Luxemburg menentang pengiriman pemuda kelas pekerja dari masing-masing negara ke apa yang dilihatnya sebagai pembantaian dalam perang di mana borjuasi nasional akan mengontrol sumber daya dan pasar dunia. Dia memisahkan diri dari Internasional Kedua, melihatnya sebagai tidak lebih dari sebuah partai oportunis yang melakukan pekerjaan administratif untuk kaum kapitalis. Rosa Luxemburg, bersama Karl Liebknecht, mengorganisir sebuah gerakan anti-perang Liga Spartacus (Spartakusbund) di Jerman dengan pandangan-pandangan macam ini, tetapi dipenjara dan, setelah pembebasannya, dibunuh karena kegiatannya selama Revolusi Jerman yang gagal pada 1919 -sebuah revolusi yang ditentang SPD.
Wacana anti-patriotisme dan anti-nasionalisme dalam gerakan feminisme menunjukkan vitalitasnya kembali dalam gerakan perdamaian, bersamaan dengan gerakan anti-nuklir, pembebasan kulit berwarna dan homoseksual, sepanjang dekade 50-70’an di Amerika Serikat. Namun ia memiliki titik pijak yang kuat semenjak terbitnya karya Kimberlé Crenshaw pada 1989 yang mempopulerkan konsep interseksional. Crenshaw sendiri bukanlah seorang anarkis. Sekalipun demikian, apa yang ia maksud dengan interseksional sebagai sebuah studi tentang penindasan yang melibatkan berbagai identitas sebenarnya menjadi jantung utama anarkisme untuk melawan segala bentuk dominasi dan mendorong kesetaraan dan kebebasan bagi seluruh jenis kelamin, kelas, agama, ras, dan etnis. Dalam kerangka studi interseksionalitas, permasalahan perempuan tidak hanya melibatkan gender seperti yang mendominasi wacana gerakan perempuan saat ini, tetapi juga kelas, ras, abilitas dan etnisitas. Semisal saja, semua perempuan memang dirugikan dalam masyarakat patriarkis ini, tetapi perempuan kulit hitam di saat yang bersamaan juga mengalami kerugian akibat diskriminasi rasial yang ia terima. Ini belum lagi memperhitungkan jika ternyata ia berangkat dari kelas menengah bawah. Dalam hal ini, perempuan kulit hitam yang miskin menghadapi permasalahan yang sangat berat ketimbang, katakanlah, mayoritas perempuan kulit putih (mengingat kekayaan tidak terdistribusi secara merata dalam hitung-hitungan statistik rasial). Lahirnya feminisme kulit hitam (black feminism) di Amerika yang punya pengaruh kental dengan sosialisme dan anarkisme merupakan respon lebih lanjut dari gerakan perlawanan perempuan berkulit hitam yang juga menyadari karakter proletariat mereka sebagai sebuah kelas dalam posisi proses produksi, yang merasa bahwa feminisme kulit putih telah menenggelamkan suara mereka.
Banyak pendukung interseksionalisme meyakini bahwa jika gerakan feminisme arus utama tidak mendengar berbagai macam kelompok perempuan di dalamnya, maka gerakan tersebut akan tetap stagnan dan tidak akan maju. Pada akhirnya, hal ini akan berujung pada gerakan yang terfragmentasi dan menjadi tidak efektif. Dengan kacamata interseksionalisme, solidaritas kelas dan ras dipupuk dalam gerakan feminisme. Gerakan perempuan kemudian semakin menyadari bahwa ada minoritas di dalam minoritas, atau persimpangan antara minoritas, yang terjadi akibat pola kultural yang tidak hanya terhubung, tetapi juga terikat bersama dan terpengaruh oleh sistem masyarakat yang interseksional. Adalah wajar jika kemudian kepedulian terhadap pengungsi Timur Tengah, anti-Islamofobia, dan anti-deportasi menjadi salah satu agenda feminisme kontemporer Amerika jika mereka meyakini bahwa perempuan dan keluarga pengungsi secara keseluruhan tidak hanya mengalami permasalahan terkait gendernya, tetapi juga sebagai seorang korban politik, serta diskriminasi rasial dan religius.
Hal penting lain yang perlu saya tekankan adalah, interseksionalisme feminis bukanlah suatu wacana yang khas negara-negara Eropa dan Amerika utara. Apa yang saya sampaikan di atas, memang, adalah bukti konkret dari kebangkitan gerakan perempuan Amerika dalam menentang imperialisme, supremasi kulit putih dan seksisme. Namun bukan berarti bahwa dengan demikian, hal yang sama tidak menjadi permasalahan di sini saat ini. Hingga batasan tertentu, interseksionalitas yang bersifat rasial dan etnis memaksa feminisme untuk lebih jauh memikir ulang bagaimana ia harus menyikapi patriotisme dan nasionalisme, dan karenanya topik ini adalah sesuatu yang relevan di banyak tempat.
Di Indonesia, permasalahan yang sama bisa dikatakan berlaku pula pada perempuan keturunan Tionghoa. Secara umum, posisi mereka dalam kelas masyarakat Indonesia memungkinkan mereka menikmati keistimewaan tertentu sebagai borjuis kecil (dan sebenarnya juga segelintir borjuis besar). Tetapi dalam masyarakat Indonesia yang patriarkis, rasis dan intoleran, mereka memikul beban berat tidak hanya sebagai perempuan, tetapi juga sebagai seorang Tionghoa. Menurut laporan Komnas Perempuan, saat Tragedi Mei 1998 banyak perempuan Tionghoa yang mengalami kekerasan seksual yang beragam baik di Jakarta maupun kota-kota besar lainnya. Ita Martadinata, seorang gadis keturunan Tionghoa yang menjadi anggota tim relawan kemanusiaan yang berusaha menyingkap kasus pemerkosaan dan pembunuhan perempuan etnis Tionghoa ini, juga dibunuh seminggu sebelum ia sempat bersaksi di pengadilan dunia dengan kondisi kepala yang hampir putus dan luka tikaman di tangan kiri dan kanan. Dari kacamata interseksional, bangkrutnya rezim militeristik Orde Baru diiringi dengan kekerasan yang tidak semata-mata rasial, tetapi juga seksual.
Kita dapat melacak kekerasan seksual ini sebagai sesuatu yang dimungkinkan karena lahirnya sentimen anti-pribumi. Jauh sebelum “pribumi” digunakan secara meluas pada masa Orde Baru, istilah “bumiputera” digunakan untuk merujuk pada penduduk asli di Malaysia dan pada zaman Hindia Belanda. “Tanah tumpah darah” adalah ekspresi yang jelas dari darah yang tertumpah untuk merebut kembali apa yang para “bumiputera” sebut sebagai “tanah bumi warisan para putra.” Dari sinilah saya kira, bangsa sebagai suatu identitas abstrak, tidak hanya mendiskriminasikan putri pribumi untuk mendapatkan warisan (itupun jika kita sepakat apakah “tanah air” adalah monopoli eksklusif orang-orang yang telah lama tinggal diatasnya), tetapi juga merugikan, seperti yang saya jelaskan di atas, perempuan non-pribumi.
Tentu saja, semua kelompok atau kategori lain yang dapat menjadi bagian adalah kepentingan sekunder bagi nasionalis. Oleh karena itu perjuangan perempuan dianggap kurang penting, dan kadang-kadang bahkan berbahaya. Hal ini tentu saja tidak terlalu bermanfaat bagi persatuan di dalam “bangsa” ketika kaum perempuan mulai berorganisasi melawan kekuasaan laki-laki. Setiap negara-bangsa (nation-state) memberikan peran gender kepada warganya. Di negara-negara Barat, laki-laki diberi peran sebagai pelindung dan buruh, sedangkan perempuan diberi peran ibu dan ibu rumah tangga. Dengan mendefinisikan peran untuk perempuan dan laki-laki, nasionalisme juga menyangkal keberadaan identitas gender di luar laki-laki atau perempuan tradisional (heteronormatif). Namun ketika kita memeriksa peran kolonisasi pada gender di negara-negara kolonial, nasionalisme dan norma-norma budaya terbukti telah membantu pendefinisian peran gender.[4]
Maria Lugones memberikan beberapa contoh, seperti masyarakat Yoruba, yang sebelum dijajah oleh barat, gender tidak digunakan sebagai alat pengorganisasian sosial:
“Oyewumi memahami gender sebagaimana diperkenalkan oleh Barat sebagai alat dominasi yang menunjuk dua kategori sosial yang sangat bertentangan dan hierarkis… Perempuan didefinisikan dalam kaitannya dengan laki-laki, norma. Wanita adalah mereka yang tidak memiliki penis; mereka yang tidak memiliki kekuatan; mereka yang tidak dapat berpartisipasi dalam arena publik. Tak satu pun dari ini merupakan anafemales Yoruba yang sebenarnya sebelum kolonisasi.”[5]
Contoh lain yang diberikan Lugones adalah masyarakat Cherokee sebelum kolonisasi. Ia menjelaskan bahwa sebelum kolonisasi, perempuan dan laki-laki tidak dipandang sebagai kategori sosial yang terpisah dan masing-masing mengambil bagian yang sama dalam masyarakat. Ketika masyarakat dijajah, kategori laki-laki dan perempuan diciptakan dan perempuan dikeluarkan dari arena publik. Dengan menciptakan peran gender yang memberi laki-laki kekuasaan atas perempuan, para penjajah mendapatkan dukungan dan kerja sama dari masyarakat laki-laki, yang membuatnya lebih mudah untuk melakukan imperialisasi. Kita akan membutuhkan lebih banyak waktu untuk menunjukkan apakah hal yang sama juga terjadi pada berbagai masyarakat yang beragam di nusantara selama masa kolonialisme Hindia Belanda. Yang pasti, imajinasi kebangsaan (Ben Anderson sendiri berpendapat bahwa bangsa adalah “komunitas imajiner” atau institusi yang dikonstruksi secara sosial) dibangun dari fondasi superioritas laki-laki, yang mana adalah kenapa kita biasa menyebutnya sebagai para pendiri bangsa, the founding father.
Nasionalisme dicirikan dengan promosi kepentingan bangsa tertentu, terutama dengan tujuan untuk mendapatkan dan mempertahankan kedaulatan atas tanah air. Sementara itu, patriotisme adalah seperangkat kualitas untuk menjadi patriotik, yaitu, sikap dan perilaku yang menunjukkan dukungan kuat untuk negaranya, berupa rasa kesadaran nasional yang memuliakan satu bangsa di atas yang lain dan menempatkan penekanan utama pada promosi budaya dan kepentingannya sebagai lawan dari negara-negara lain atau kelompok supranasional, sebuah rasa persekutuan dengan warga negara lain yang berbagi nilai yang sama. Oleh kekuatan maskulin yang dominan, nasionalisme menjadi mekanisme di mana kontrol dan represi seksual dibenarkan dan dilegitimasikan. Genderisasi nasionalisme melalui pengertian yang dibangun secara sosial tentang maskulinitas dan feminitas tidak hanya membentuk partisipasi maskulin dan feminin dalam pembangunan bangsa itu, tetapi juga bagaimana bangsa akan dibayangkan oleh para nasionalis. Sebuah bangsa yang memiliki identitasnya sendiri dipandang perlu, dan sering tak terelakkan, dan identitas ini adalah gender.
Patriotisme berasal dari bahasa Yunani πατριώτης (patriōtēs), yang berarti ‘dari negara yang sama’, dari kata πατρίς (patris), yang berarti “fatherland” atau tanah air. Ya, tanah air, artinya, tanah air milik ayah, milik bapak. Menjadi patriarkat berarti melanggeng sistem dominasi oleh laki-laki, dan menjadi patriot berarti mencintai tanah milik para laki-laki. Lebih jauh lagi, dalam konsep nasionalisme hal ini dapat diartikan sebagai rasa cinta kepada para penguasa laki-laki yang memiliki kontrol atas tanah air. Penelusuran terminologis ini juga sejalan dengan studi Engels dalam The Origins of the Family, Private Property, and the States (1884). Engels menulis bahwa hingga lahirnya peradaban saat ini, pernikahan yang dilakukan baik oleh para ksatria dan baron, atau pangeran, tidak semata-mata sebagai sebuah tindakan politik untuk memperluas aliansi kekuasaan, tetapi juga menjaga penguasaan properti yang diturunkan secara patrineal. Engels menulis:
“Ini [keluarga monogami] berkembang dari keluarga pasangan [pairing family], seperti yang ditunjukkan sebelumnya, dalam masa transisi antara tahap barbarisme atas dan tengah; Kemenangannya yang paling menentukan menjadi salah satu tanda bahwa peradaban dimulai. Hal ini didasarkan pada supremasi laki-laki, tujuannya adalah untuk menghasilkan anak-anak dari ayah yang tak terbantahkan; ayah seperti itu dituntut karena anak-anak ini nantinya datang ke properti ayah mereka sebagai ahli warisnya.”[6]
Nasionalisme membutuhkan patriotisme sebagai perangkat fungsionalnya, dan patriarki menjadi elemen penting dari patriotisme. Karena itu, banyak para perempuan pendukung Trump secara terang-terangan seringkali menyatakan diri sebagai anti-feminis. Patriot menganggap seruan perang oleh negara sebagai sebuah kewajiban untuk membela tanah air, dan mati dengan suasana machoisme yang kental adalah sebuah kehormatan untuk melindungi keluarga (istri dan anak). Tanah air sendiri sering diberi gender sebagai perempuan (yaitu “ibu pertiwi”), dengan tubuh yang dalam bahaya dan terus-menerus dilanggar oleh laki-laki asing, sementara kebanggaan nasional dan perlindungan perbatasan secara gender sangat maskulin.
Nasionalisme mengambil banyak bentuk, mulai dari nasionalisme nasionalis kaum Nazi yang menakutkan sampai nasionalisme sipil yang sangat liberal yang menjadi ciri banyak negara demokrasi Barat. Setiap nasionalisme adalah campuran unsur-unsur biologis, budaya dan sipil. Seseorang tentu saja tidak mengabaikan perbedaan penting antara tipe nasionalisme yang lebih biologis, budaya atau sipil, tetapi pada intinya semua nasionalisme adalah patriarkal dan dimaksudkan untuk mengesampingkan yang lain. Apa yang saya jelaskan barusan biasanya terang-terangan terwujud dalam banyak bentuk, tapi mencapai propaganda populernya yang luar biasa pada Perang Dunia II, di dua kubu yang berperang, ketika perempuan tidak hanya melahirkan “mesin perang,” tetapi juga menciptakan mesin perang.
Darah dan tanah (Blut und Boden) adalah slogan yang mengekspresikan gagasan Nazi tentang pertautan antara darah ras Arya dan area pemukimannya. Menurut Leila J. Rupp, ini berkontribusi pada ideal Nazi mengenai perempuan: seorang petani yang tegap, yang menggarap lahan dan melahirkan anak-anak yang kuat, serta pujian bagi para perempuan atletik yang bekerja di luar.[7] Nasionalis merasa bahwa setiap orang memiliki tempat tetapnya sendiri di dalam “bangsa”, dan penyimpangan dari titik itu membahayakan kekuatan “bangsa”. Itulah mengapa mereka menaruh nilai tinggi pada peran yang kokoh dalam semua jenis tradisi. Nasionalisme yang lebih berbasis biologis menganggap ikatan darah di antara anggota “bangsa” menjadi penting. Berpikir seperti itu, “bangsa” hanya bisa bertahan hidup dengan keturunannya sendiri. Dan itu segera mendefinisikan fungsi paling penting dari para perempuan “bangsa”: mereka harus melahirkan anak-anak ini, dari darah yang murni. Setiap darah campuran atau asing dianggap lebih rendah daripada keturunan dengan darah asli. Serikat Perempuan Sosialis Nasional dan Badan Perempuan Jerman menggunakan propaganda Nazi untuk mendorong perempuan agar fokus pada peran mereka sebagai istri dan ibu. Selain meningkatkan populasi, rezim juga berusaha untuk meningkatkan “kemurnian ras” melalui “peningkatan spesies,” terutama dengan memberlakukan hukum yang melarang pernikahan antara “Arya” dan “non-Arya” sementara mencegah mereka yang cacat dan punya penyakit tertentu untuk tidak menikah sama sekali. Tentu, Hitler memiliki gagasan yang sangat jelas tentang peran perempuan dalam negara Nazi -ia adalah pusat kehidupan keluarga, ibu rumah tangga dan ibu. Hitler bahkan memberikan medali emas untuk perempuan yang memiliki delapan atau lebih anak!
“Patriotisme berarti mendukung negara Anda sepanjang waktu, dan pemerintah Anda saat ia membutuhkannya,” tulis Mark Twain, dan tentu saja, kita segera menjadi sampah segera setelah negara dan pemerintah tidak membutuhkan kita lagi. Banyak perempuan Amerika terdaftar sebagai perawat yang melayani di garis depan, dan ada peningkatan besar dalam jumlah perempuan yang melayani untuk militer itu sendiri. Pilot Layanan Angkatan Udara Wanita (WASP) adalah warga sipil yang menerbangkan misi di dalam negara terutama untuk mengangkut pesawat ketika kekurangan pasokan pilot laki-laki. Pada bulan September 1942, Jenderal Henry H. Arnold setuju untuk membentuk dua unit perempuan yang akan membantu menerbangkan pesawat di Amerika Serikat. WASP dibubarkan pada tahun 1944 ketika cukup banyak veteran laki-laki yang tersedia. Patriotisme Amerika memang tampak demokratis. Tapi dibaliknya, kapitalisme Amerika memerlukan pekerja cadangan sehingga mereka melakukan propaganda untuk memobilisasi perempuan berkerja khususnya dalam industri perang seperti membangun kapal, pesawat, kendaraan dan persenjataan. Perempuan juga bekerja di pabrik, pabrik amunisi dan peternakan; mengemudikan truk; menyediakan dukungan logistik untuk tentara; dan memasuki area kerja profesional. Dan ini tercipta bukan karena Amerika memberikan persamaan hak untuk bekerja di bidang yang sebelumnya merupakan pekerjaan laki-laki, melainkan karena kapitalisme dan negara Amerika memerlukan pengganti pekerja laki-laki.
Jika gerakan feminis memang serius ingin mengemansipasi perempuan, patriotisme, dalam hal ini, harus menjadi salah satu subjek yang dihancurkan oleh gerakan feminisme. Kita harus membangun solidaritas, persatuan dan kerja sama yang tidak didasarkan dari ras dan tempat kita dilahirkan, melainkan persaudaraan dan kemanusiaan, laki-laki dan perempuan dan segala yang lain, untuk tetap bersifat universal. Hal ini, mungkin tampak tidak mudah, tapi setidaknya bisa terus dikampanyekan ke publik, dan diterapkan dalam lingkungan terkecil -keluarga. Ini berarti menghentikan anak-anak atas dongeng patriotisme, serta pendidikan sejarah yang benar atas perjuangan kelas pekerja. Ini juga harus meningkat menuju pembangkangan sipil yang meluas untuk mencegah terjadinya potensi perang antar-negara. Ini berarti perempuan harus bekerja bersama untuk melawan struktur kekuasaan yang menindas mereka, sambil tetap sadar akan sifat nasionalisme yang menindas itu sendiri. Perempuan tidak boleh semata-mata berjuang untuk hak-hak perempuan, tetapi untuk hak semua anggota bangsa dan perlindungan internasional bagi warga dari semua negara. Dari kesadarannya atas interseksional, maka gerakan feminisme harus pula menaruh fondasinya di atas internasionalisme.
Aku merdeka sejak lahir, bahkan sejak dalam rahim.
Bisik bunda serukan kelak sejahterah kau raih.
Namun temukan yang lain, kehidupan yang asli.
Mencari manisnya nasi, ku dapat hanyalah asi.
Apakah kita sedarah? Karna beribu pertiwi.
Apakah kita saudara? Karna berIBU pertiwi.
Biar ku robek vagina nya karna lahirkan indonesia.
Tak butuh indonesia, jika saudara tak sejahtera.
Kau boleh duduk diam, jika bangga jadi budak.
Dan gantungkan cita, dengan upah di akhir bulan.
Syair cinta tanah air, tempat kubangan para babi.
Yang seusai dia mandi, kau pakai menanam padi.
Berimakan janin, yang kelak tumbuh pertanyakan lagi.
Apa makna merdeka, jika ku lahir berbeda.
Tangan terikat, tapi di paksa hormat bendera.
Cara ku hormat bebeda, kau todong dengan senjata.[8]
___________________________________________
[1] Goldman, Emma. Ini Bukan Revolusiku (2017). Pustaka Catut; Salatiga. Hlm 83-84.
[2] Goldman, Emma. Patriotism: A Menace to Liberty. Diakses pada 16 Juli 2018. http://dwardmac.pitzer.edu/Anarchist_Archives/goldman/aando/patriotism.html.
[3] De Cleyre, Voltairine. Modern Educational Reform, dalam Selected Works of Voltairine de Cleyre (1914). Diakses pada 16 Juli 2018. https://www.gutenberg.org/files/43098/43098-h/43098-h.htm.
[4] Menjelajahi hubungan gender dan cara-cara mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh proyek dan proses nasional, Nira Yuval-Davis berpendapat bahwa konstruksi kebangsaan biasanya melibatkan pengertian khusus tentang ‘kedewasaan’ dan ‘kewanitaan’, meskipun keterlibatan eksplisit mereka dalam wacana analitis di sekitar bangsa dan nasionalisme hanyalah usaha yang sangat baru. Dia mempromosikan proyek analitis ini dengan memeriksa secara sistematis kontribusi penting dari relasi gender ke dalam beberapa dimensi utama proyek nasionalis, reproduksi nasional, budaya nasional, kewarganegaraan, dan konflik nasional dan perang. Dia dengan tajam membedakan proyek-proyek nasional dari negara-bangsa dan dia menekankan bahwa keanggotaan di negara dapat menjadi sub-, super, dan lintas-negara. Gender dan Bangsa merupakan kontribusi penting bagi perdebatan tentang kewarganegaraan, gender, dan kebangsaan. Ini akan menjadi bacaan penting bagi para akademisi dan pelajar studi perempuan, ras dan studi etnis, migrasi, nasionalisme, sosiologi, dan politik. Lebih lanjut baca Nira Yuval-Davis. 1997. Gender and Nation. SAGE Publications: California. Karya sejenis dapat dibaca juga dalam Tamar Mayer (peny). 2000. Gender ironies of nationalism: sexing the nation. Routledge: London and New York.
[5] Lugones, M. (2007). “Heterosexualism and the Colonial /Modern Gender System” dalam jurnal Hypatia, Volume 22, Nomor 1, hlm 186-209.
[6] Engels, Frederick. Origins of the Family, Private Property, and the State. Diakses pada 16 Juli 2018. https://www.marxists.org/archive/marx/works/1884/origin-family/ch02d.htm.
[7] Leila J. Rupp, Mobilizing Women for War: German and American Propaganda, 1939-1945 (Princeton: Princeton University Press, 1978). Hlm 45-46.
[8] Lirik Alfabeta yang menjadi bagian dari Rolling Thunder yang terdiri dari 22 MC paling galak di tanah air dalam lagu mereka, “Durgahayu.”