oleh Afra Suci
Feminisme dikenal sebagai paham dan gerakan yang memperjuangkan kesetaraan dan hak perempuan dalam berbagai aspek kehidupan (politik, ekonomi, sosial, lingkungan, seksualitas, dan lain-lain). Feminisme meyakini sistem masyarakat yang patriarkal merupakan sumber dari berbagai bentuk penindasan bagi perempuan dan kelompok marjinal lainnya. Patriarki telah menjadi dasar bagi sistem kekuasaan, kontrol, otoritas moral, dan eksploitasi yang berlaku di masyarakat. Sistem tersebut memberikan ruang bagi laki-laki dan suatu kelompok tertentu untuk mendominasi perempuan dan kelompok lainnya. Dominasi inilah yang dilanggengkan dalam berbagai pranata mulai dari negara, agama, ekonomi, adat, hingga keluarga.
Jika bertolak dari pengertian tersebut, secara inheren, sudah selayaknya anarkisme adalah paham yang feminis. Menentang segala bentuk dominasi dan kontrol adalah prinsip kunci dalam gerakan anarkisme dan feminisme. Anarkisme akan sia-sia tanpa feminisme, begitu juga sebaliknya. Meskipun keduanya memiliki spektrum pemahaman yang beragam, kesetaraan dan pembebasan atas dominasi menjadi benang merah yang tak terbantahkan.
Menurut Peggy Kornegger, seorang penulis anarko–feminis dari Amerika, ada tiga kredo mendasar anarkisme yang berkaitan erat dengan pandangan feminis radikal.[1] Anarkisme meyakini penghapusan segala bentuk otoritas, hierarki, serta pemerintahan, percaya pada individualitas sekaligus kolektivitas, dan berpegang teguh pada spontanitas sekaligus pengorganisasian. Perjuangan feminisme radikal berakar pada keluarga, inti dari masyarakat, yang menjadi hulu dalam seluruh sistem kekuasaan partriarkal. Kontrol terhadap tubuh, perilaku, dan pemikiran perempuan direpresentasikan oleh konsep keluarga.
Tentu dalam level ini, pemikir anarkis seperti Proudhon yang menganggap bahwa keluarga adalah unit sosial paling mendasar dan perempuan diharapkan untuk menjalankan peran domestiknya membuat anarkisme seolah tidak kompatibel dengan feminisme.[2] Sedangkan feminisme radikal menentang pola pemikiran maskulin yang hierarkis dan dominan terhadap relasi dan peran gender pada ranah yang paling personal sekalipun. Pola tersebut telah menempatkan perempuan dalam kerangka yang pasif, irasional, dan objek. Jika memang anarkisme tentang perlawanan terhadap kekuasaan, upaya keseharian perempuan untuk menentang pola pikir patriarkal menjadikan perempuan anarkis sejak dalam pikiran. Menurut Kornegger, ketika feminisme bicara tentang menghapus patriarki, itu juga berarti menghapus segala bentuk otoritas, kepemimpinan, pemerintahan, dan bahkan ide otoritas itu sendiri.
Pemahaman feminisme terhadap dominasi dan penindasan berangkat dari pengalaman personal perempuan, sehingga ide tentang kebebasan individu dan keleluasaan untuk membuat pilihan-pilihan atas diri perempuan itu sendiri merefleksikan aspek individualitas dari gerakan feminisme. Di sisi lain, penguatan sesama perempuan untuk saling berbagi pengalaman dan mengorganisir perjuangan untuk menyuarakan hak-haknya menggambarkan prinisip kolektivitas dan pengorganisasian anarkisme. Kehadiran feminisme memberikan pengaruh dalam membedah dan memahami penindasan oleh bentu-bentuk dominasi yang ada di masyarakat. Oleh karena itu Emma Goldman, salah satu pionir anarko–feminisme, menawarkan jalan keluar bagi ketegangan relasi laki-laki dan perempuan, bukan dengan cara saling menentang dan memaafkan, tetapi memahami satu sama lain.[3]
Maka menjadi anarkis saja tidak cukup, seorang anarkis sudah semestinya menjadi feminis. Seorang anarkis memahami penindasan yang dialami perempuan dan menumbuhkan kesadaran dalam dirinya untuk memperlakukan perempuan dengan setara sebagai manusia seutuhnya. Pada praktiknya, mengamalkan pemahaman tersebut bukan perkara mudah, bahkan di dalam lingkaran gerakan anarkisme itu sendiri.
Dari ranah kehidupan yang personal hingga di tingkat pengelolaan gerakan, para laki-laki dalam gerakan anarkisme sering kali masih belum bisa melepaskan nilai-nilai konvesional yang dominan ketika berhubungan dengan perempuan. Kirsten Anderberg mengungkapkan kritik terhadap laki-laki anarkis yang belum bisa melepaskan dominasinya terhadap perempuan baik secara sadar maupun tidak sadar.[4] Prinsip self-determination dan kemandirian seharusnya diamalkan para anarkis dalam relasi gender. Bagi Anderberg, laki-laki anarkis yang membiarkan perempuan memasak, mencuci piring, dan melayani dirinya tidak patut disebut sebagai anarkis, tetapi manarchist.
Tindakan seksis juga tidak hanya di lingkup domestik, dalam keseharian, seksisme bisa berlangsung secara tidak sadar seperti melalui bahan bercandaan atau komentar terhadap perempuan. Di tingkatan pergerakan, partisipasi perempuan juga disamarkan oleh dominasi suara laki-laki, baik dalam menjaring konsensus maupun pelaksanaan diskusi. Salah satu hal yang diperjuangkan kelompok anarko-feminis di level internal gerakan anarkisme adalah sulitnya mengangkat isu-isu perempuan yang seringkali dipandang sebagai persoalan ‘pribadi’ atau ‘spesial’, bukannya menjadi bagian dari perjuangan utama gerakan. Ketika perempuan menuntut gerakan anarkisme untuk melek terhadap feminisme, tuntutan tersebut kerap diabaikan, dengan anggapan anarkisme sudah mencakup keseluruhan persoalan. Dominasi laki-laki dalam gerakan anarkisme memang terdengar kontradiktif. Namun jika seorang anarkis menyadari bahwa perjuangan untuk membasmi seksisme adalah bagian dari anarkisme, ia berarti mampu membebaskan dirinya dari dominasi nilai-nilai yang menindas.
Feminisme dimanifestasikan dalam berbagai bentuk dan tidak selalu beririsan dengan anarkisme. Sebagian perjuangan feminisme berkerja dalam kerangka sistem negara seperti memperjuangkan keterwakilan perempuan di parlemen dan sistem hukum yang menjamin kesetaraan hak. Sedangkan anarko–feminisme menggarisbawahi kebebasan dan kemandirian perempuan untuk menjalankan hidupnya dan membuat pilihan-pilihan yang dia inginkan tanpa harus dibatasi oleh otoritas moral, agama, maupun negara. Anarko–feminisme juga melihat negara sebagai representasi sistem patriarkal sehingga negara bukanlah bagian dari solusi atas penindasan. Begitu pula dalam lingkup personal seperti seksualitas dan tubuh, perempuan berkuasa penuh atas dirinya dan pilihannya tanpa harus tunduk pada kontrol pihak di luar dirinya.
Feminisme tidak hanya digunakan untuk memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan, tetapi paradigmanya juga manjadi dasar untuk memahami penindasan yang dialami kelompok marjinal lainnya seperti kelompok LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks, dan Queer), masyarakat adat, dll. Dengan mengintegrasikan perspektif feminisme ke dalam gerakan anarkisme, seorang anarkis bisa belajar untuk lebih inklusif dan terbuka pada partisipasi kelompok minoritas. Dan untuk meruntuhkan dominasi patriarki, perjuangan feminisme memerlukan anarkisme sebagai kerangka untuk mengubah keseharian dengan membebaskan diri dari segala bentuk struktur kekuasaan.
Anarko–feminis percaya bahwa seorang anarkis tidak perlu diingatkan kembali untuk tidak melakukan segala bentuk penindasan pada perempuan dan kelompok lainnya. Begitu pula bagi para perempuan dalam gerakan anarkisme, seharusnya tidak perlu selalu mengingatkan laki-laki agar tidak seksis dan meminta ruang yang aman untuk bersuara. Seorang yang anarkis sudah semestinya tidak membiarkan dirinya untuk terus menikmati hak istimewa dari yang dilahirkan dari sistem patriarkal. Ia wajib memiliki kesadaran pribadi untuk memperlakukan perempuan sebagai manusia dengan seluruh hak individunya, mencegah diri untuk tidak berkata dan bertindak seksis, dan tidak mendominasi forum.
Anarkisme dan feminisme saling membutuhkan untuk menghapus segala bentuk struktur kekuasaan dan kontrol. Tentunya dengan menjalankan prinsip-prinsip mendasar dari keduanya mulai dari lingkaran paling personal hingga komunal.[]
Penulis adalah alumni Departemen Komunikasi Universitas Indonesia. Ia pernah bergiat di Yayasan Jurnal Perempuan pada 2007-2011 sebagai penulis dan peneliti. Saat ini sedang menyelesaikan studinya di Eropa. Salah satu pendiri organisasi anak muda, Pamphlet.
Catatan kaki:
[1] Kornegger, Peggy. “Anarchism: The Feminist Connection”. 1975. https://theanarchistlibrary.org/library/peggy-kornegger-anarchism-the-feminist-connection
[2] Leeder, Elaine J. “The Gentle General: Rose Pesotta, Anarchist and Labor Organization. hal. 125
[3] Goldman, Emma. “The Tragedy of Woman’s Emancipation”. 1911. http://dwardmac.pitzer.edu/anarchist_archives/goldman/aando/emancipation.html
[4] Anderberg, Kirsten. “A Man’s Heaven is a Woman’s Hell”. https://libcom.org/library/man’s-heaven-woman’s-hell