“Mereka yang bicara tentang revolusi dan perjuangan kelas dengan merujuk pada hidup sehari-hari, namun tanpa memahami daya subversif cinta dan hal-hal positif yang timbul dari penolakan akan kekangan, sesungguhnya mulut mereka bau bangkai.“
– Raoul Vaneigem, The Revolution of Everyday Life
Negara, bersama kapitalisme, telah menjalankan kontrol yang ketat dan meluas atas segala aspek kehidupan. Ini tentu jadi topik klasik yang sudah bosan untuk kita bicarakan. Ia mengontrol bagaimana kita harus hidup, mencukupi diri, dan berinteraksi dengan sesama. Ia mengontrol apa yang kita pikirkan dan bagaimana kita berpikir. Ia mengatur apa yang tidak dan yang boleh dibicarakan. Apa yang tersisa sekarang adalah tubuh kita. Dan yang terjadi baru-baru ini dalam ruang pertemuan para politikus menunjukan bahwa kekuasaan terakhir atas tubuh kita pun, akan dikontrol pula oleh negara (yang sebenarnya sudah dilakukan sejak lama).
Tentu, kami tidak bermaksud mengaburkan perjuangan kelas dengan mempertarungkan isu-isu seksualitas ini. Yang kami tekankan adalah konsekuensi hubungan yang kompleks antar kelas, serta fakta bahwa isu seksualitas dan perempuan pada umumnya, terkait erat dengan pengejawantahan kekuasaan politik serta masalah otoritas dan kepatuhan.
Memang, revolusi seksual telah terjadi, namun revolusi ini juga disertai oleh alienasi model baru, serangan atas kebebasan seksual telah dikomodifikasi kapitalisme. Reformasi politik “negara” atas perempuan melanggengkan dominasi segelintir laki-laki dan perempuan atas sebagian besar massa laki-laki dan perempuan. “Emansipasi perempuan, sebagaimana ditafsirkan dan praktis diterapkan saat ini telah gagal untuk mencapai akhir yang lebih besar. Sekarang, perempuan dihadapkan dengan keharusan mengemansipasi dirinya dari emansipasi,” ujar Emma Goldman 100 tahun yang lalu, dan pernyataannya terlalu kontekstual sekarang. Pada akhirnya, negara dan kapitalisme, musuh perempuan paling utama setelah patriarki, masih berdiri dengan utuh.
Ini belum mempertimbangkan kembali kebangkitan para polisi moral ala abad pertengahan. Seks bebas adalah omong kosong! Seks harus bebas, dan seks yang tidak bebas berarti pemerkosaan! Tubuhmu adalah otoritasmu, dan kamu layak memperlakukan tubuhmu sekehendak dan senyaman apapun kami inginkan. Otoritas apapun, negara, masyarakat dan moralitas sekalipun, adalah takhayul purba yang harus dihancurkan. Para lelaki bajingan layak mendapatkan pelajaran. Dan kita tidak butuh hukum dan polisi untuk mengatasi ini. Kamu adalah hakim bagi dirimu sendiri, dan kamu dapat menentukan vonis yang kamu anggap layak bagi para pelaku pencabulan dan pelecehan seksual. Persenjatai diri! Dengan otonomi dan solidaritas, kita tentukan nasib sendiri!
Kami tidak percaya dengan jargon-jargon feminis yang sebenarnya justru menghantarkan perempuan pada tragedi emansipasinya sendiri. Kami mengajukan capaian atas pembebasan total dari segala bentuk dominasi apapun. Pandangan kami para laki-laki dan perempuan anarkis adalah langsung dan jelas, bahwasannya menjadi feminis saja tidak cukup! Kami menyerukan gelombang perlawanan atas kondisi penindasan perempuan dan kelompok seksual termarjinal lainnya oleh negara. Kartini zaman sekarang menari dan mengibarkan bendera hitam, dan mereka tidak tertarik dengan proyek reformasimu, karena pembebasan perempuan tidak terletak di dalam kotak suara atau omong kosong politikus di dewan perwakilan.
Pembebasan total!
Laki-laki dan perempuan bersatulah!