Komunisasi, Ketidaksetaraan Gender dan Revolusi Abad 20

oleh Jun Bramantyo

Bukan (hanya) Komunisasi

Saya akan mengatakan di awal, bahwa saya memang enggan untuk berbicara isu-isu gender. Bukan karena saya tidak mempelajari hal tersebut, atau bahkan bukan karena saya tidak mendukung kesetaraan gender. Bukan karena keduanya! Melainkan kita mesti menelaah dengan lebih dalam, bahwa bagaimana mungkin kesetaraan gender bisa terwujud dalam sistem yang secara dasariah memang tidak setara.

Ini tidak akan terjadi dalam sistem kapitalisme. Dan kita mestinya paham ini.

Tapi untuk melangkah lebih jauh dan sedikit meninggalkan delusi para feminis-liberal untuk dikritik, saya akan memalingkan tulisan saya ini pada para feminis di barisan komunis, yang jelas-jelas memasukkan isu-isu gender dalam tulisan atau perjuangan mereka. Di dalam tulisan ini saya akan menyinggung esai “Komunisasi dan Penghapusan Gender” (Communization and the Abolition of Gender) yang masuk dalam bagian ke-10 buku Communization and its Discontents.[1]

Dalam esai itu akan ditemukan bahwa penulisnya, Maya Andrea Gonzalez, berbicara bahwa revolusi selain harus menghapuskan mode produksi kapitalis, juga harus menghapus ketidaksetaraan gender didalamnya. Dan karena revolusi adalah proses yang dilakukan setiap hari (inilah ciri khas gerakan komunisasi), maka ketidaksetaraan gender bisa dihapuskan bersamaan dengan parasit-parasit lain yang menempel dalam mode produksi kapitalis: uang, properti, negara, kerja upahan, dsb.

Tentu saja, secara jujur, saya mempertanyakan apakah gerakan komunisasi serius ketika berbicara mengenai revolusi itu sendiri?

Pertanyaan ini saya lontarkan karena saya tidak menemukan konsensus apapun baik dalam bentuk program, atau serangkaian tindakan yang dapat saya baca dari kaum komunisasi ini yang bisa mengakhiri kerja upahan, uang, negara dan ketidaksetaraan gender sekaligus. Dan dari tulisan Maya ini kita belajar bahwa komunisasi tidak memiliki konsensus mengenai itu semua.

Dalam bentuk pertanyaan: Serangkaian tindakan apakah yang bisa dilakukan untuk menghapuskan kerja upahan sama dengan apa yang bisa dilakukan untuk menghapuskan ketidaksetaraan gender? Faktanya, kita perlu membuat perbedaan-perbedaan mengenai apa yang harus kita lakukan pada masing-masing aspek penghancuran mode produksi kapitalisme ini. Karena memang setiap aspek itu memiliki kekhususan masing-masing. Walau berhubungan dengan aspek lainnya, tetap saja kita mesti memperlakukan hubungan sosial tertentu dengan langkah-langkah tertentu pula.

Kemudian, kaum komunisasi mengumumkan bahwa mereka berbeda dengan revolusi proletar di abad ke-20. Tapi sejujurnya, apa yang dijanjikan oleh komunisasi pada hari ini juga dijanjikan oleh sosialisme abad ke-20 di Rusia. Revolusi di Rusia menjanjikan misalnya penghapusan mode produksi kapitalis, termasuk kerja upahan, negara, pembagian kerja, kepemilikan properti, dan ketidaksetaraan gender. Tentu sama dengan apa yang dikatakan oleh kaum komunisasi bukan? Dimana mode produksi kapitalisme dihapus dan ‘ditambah’ oleh Maya dengan penghapusan ketidaksetaraan gender.

Justru yang saya tangkap perbedaannya bukanlah dari ditambahnya kesetaraan gender dalam isu yang diperjuangkan, melainkan satu-satunya perbedaan adalah bahwa revolusi Rusia mengusulkan penghapusan macam-macam di atas itu setelah perebutan kekuasaan negara selesai, sedangkan komunisasi mengusulkan bahwa penghapusan macam-macam aspek di atas adalah menjadi bagian dari revolusi itu sendiri.

Memang saya tidak sepenuhnya menolak gagasan komunisasi mengenai penghapusan mode produksi kapitalis dan ketidaksetaraan gender dalam tempo secepat-cepatnya. Saya menangkap hal tersebut lebih sebagai bentuk kekecewaan generasi baru atas kurang terakselerasinya sosialisme abad ke-20 untuk menggolkan konsep masyarakat tanpa kelasnya. Tapi ketiadaannya program atau serangkaian rencana untuk bertindak, yang masing-masing dari tindakan itu akan mewujudkan penghapusan hubungan-hubungan kapitalis dalam hidup kita, juga mesti dipertimbangkan.

Bukan Hanya Gagal Menyetarakan Gender

Saat saya membaca lebih lanjut esai Maya Andrea ini dalam bagian ke-10 buku tersebut, keberatan saya menjadi dua kali lipat lebih berat dari sebelumnya setelah menemukan penggalan berikut ini:

…Melalui perjuangan, gerakan pekerja berjanji untuk membawa perempuan keluar dari rumah dan masuk ke dalam dunia kerja, dimana mereka akhirnya dapat menjadi manusia setara yang sejati. Untuk mencapai kesetaraan yang sejati ini, gerakan pekerja akan mensosialiskan kerja-kerja reproduksi perempuan ‘setelah revolusi’. Pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak akan dilakukan secara kolektif oleh lelaki dan perempuan secara bersama-sama. Ketika menjadi jelas bagi elemen paling ekstrem dari gerakan Feminis Radikal di tahun 1970-an, langkah-langkah itu tidak akan pernah cukup untuk benar-benar memastikan kesetaraan sejati akan terjadi. Satu-satunya kemungkinan untuk mencapai kesetaraan pekerja, pada batas yang bersinggungan antar gender, adalah jika bayi dilahirkan dalam reaktor tabung, dan tidak berhubungan dengan perempuan sama sekali.

Keberatan akan saya coba jelaskan…

Pertama, Maya gagal melihat apa yang disebut sebagai kegagalan sosialisme abad ke-20 Rusia, dimana revolusi yang dilakukan tidak mampu menghapuskan kerja upahan. Dan dari kegagalan dalam mengenali masalah yang terjadi di dalam Revolusi Rusia tersebut, Maya malah menggiring kita dan menulis dengan posisi yang rada ambivalen (setengah-setengah) bahwa gagasan kesetaraan gender dapat berdampingan dengan kerja upahan itu sendiri.  Dalam kutipan di atas, seolah-olah Maya menempatkan bahwa kegagalan revolusi Rusia hanya pada kegagalan dalam menghapuskan ketidaksetaraan gender. Ia tidak bicara dengan tegas dan tentunya tidak tersistematis mengenai kegagalan revolusi Rusia menghapuskan aspek-aspek lainnya. Sehingga ia seperti memberikan pesan bahwa revolusi Rusia sudah berhasil menghapuskan aspek-aspek lain kecuali satu: ketidaksetaraan gender.

Saya tidak akan bicara mengenai sistematisasi struktur tulisan di sini. Tetapi saya secara jujur agak bingung dalam membaca bagian-bagian teks menuju kutipan di atas. Bukan permasalahan bahasa yang membuat saya kesulitan membaca teks tersebut, melainkan ada gagasan yang selain itu menunjukkan posisi yang ambivalen, yang juga pada akhirnya mencerminkan kemiskinan berfikir yang ternyata juga melanda kaum komunis di belahan dunia lainnya.

Kita belum cukup berani dalam melakukan kritik terhadap revolusi Rusia, sehingga kita tidak bisa belajar banyak dari kegagalannya. Inilah bentuk ketakutan sejak dalam pikiran.

Padahal faktanya, revolusi Rusia adalah kegagalan yang mempengaruhi kegagalan komunisme lainnya dalam skala global untuk yang pertama kalinya. Revolusi tersebut belum berhasil untuk menghapuskan bukan hanya ketidaksetaraan gender, melainkan juga kerja upahan, negara, uang, pembagian kerja, dan kepemilikan properti.

Dan sejarah, ini akan kembali diulang (bahkan diulang-ulang) jika gerakan komunisasi pada zaman ini terus berbicara dengan gagasan kosongnya dan malah melakukan glorifikasi atas keberbedaannya dalam memandang revolusi, dimana mereka memaknai revolusi terjadi dalam kehidupan harian. Dalam tataran tertentu saya setuju dengan revolusi kehidupan harian, tetapi dalam tataran yang lain saya kecewa dengan ketiadaan rencana, program, atau saran atas serangkaian tindakan apa saja yang bisa dilakukan untuk terus ‘menggelorakan’ revolusi harian itu sendiri.

Ini adalah bentuk kemiskinan gagasan yang berusaha ditutup-tutupi dengan glorifikasi revolusi hariannya. Ini sama pada halnya dengan mereka golongan ‘aktivis’ tua di Indonesia yang menutupi kemandegan berfikirnya dengan glorifikasi ‘prestasi’ mereka atas penumbangan Suharto.

Lepas dari topik tersebut, kegagalan Rusia adalah alasan kenapa saya menyebutnya sebagai kegagalan yang mempengaruhi dalam skala global, karena tidak ada satupun revolusi sosialis di abad ke-20 yang berhasil menghapuskan kerja upahan, bentuk nilai, negara, pembagian kerja, kepemilikan properti sampai ketidaksetaraan gender secara sekaligus. Masalahnya adalah, revolusi tidak bisa mengabaikan aspek-aspek penghapusan hal-hal barusan. Kerena semua hal-hal barusan tidak bisa dipahami secara sepenuhnya terpisah-pisah, atau secara sepenuhnya adalah satu kesatuan, melainkan kesemuaan hal barusan adalah memang suatu aspek-aspek dalam masyarakat kapitalis yang saling berhubungan, tetapi perlu penanganan khususnya masing-masing.

Kesimpulan

Dari paparan di atas kita bisa menarik penyederhaaan sebagai penyimpulan, bahwa revolusi Rusia tidak dilakukan untuk secara segera mengakhiri pembagian kerja, negara, kepemilikan properti dan ketidaksetaraan gender itu sendiri. Mungkin kaum komunis Rusia memiliki alasan tertentu, bahwa penghapusan hubungan-hubungan dalam masyarakat kapitalis tidak segera bisa dilakukan. Sebaliknya revolusi dapat segera dilakukan untuk mengakhiri kerja upahan. Namun kita menemukan tiga puluh tahun selanjutnya berlalu dan kerja upahan terus berlanjut tanpa interupsi meskipun tujuan revolusi telah diakui.

Kegagalan sosialisme abad ke-20 ini seharusnya membuat kita bertanya-tanya apakah kegagalan-kegagalan praktek sosialisme di abad yang sama juga memiliki penjelasan umum. Bukannya malah mengamini secara simpel bahwa sosialisme abada ke-20 berhasil membebaskan masyarakat dari kerja upahan, tetapi hanya gagal dalam mewujudkan kesetaraan gender. Ini adalah analisa yang keliru dan dapat dipandang sebelah mata oleh orang yang membacanya. Kita mesti berani mengakui dan mengkritik praktek kaum kita sendiri bahwa sosialisme abad ke-20, apapun hasilnya, gagal untuk membebasakan masyarakat dari kerja upahan dan ketidaksetaraan gender.

Banyak yang tidak mengakui ini sebagai sebuah kegagalan, dan lebih suka memuja praktek yang faktanya telah gagal lalu berlalu begitu saja.

Jika sosialisme abad ke-20 telah berhasil, kita tidak akan mau mencurahkan waktu kita untuk berdiskusi mengenai hal ini.

Dikirim dengan judul asli “Kritik atas Kritik Komunisasi Mengenai Ketidaksetaraan Gender dalam Revolusi Abad 20”.

Catatan Kaki:

[1] Selengkapnya buku dapat dibaca dan diunduh di: https://libcom.org/files/Communization-and-its-Discontents-Contestation-Critique-and-Contemporary-Struggles.pdf